Bahan Pustaka
Oleh : Guntur Tri Cahyo
PLS/UM 2008
Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga. Lembaga Kajian Agama dan Jender: Jakarta
Kekerasan terhadap perempuan didalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Merebaknya tindak kekerasan sejenis ini di Indonesia telah mendorong berbagai kalangan mengembangkan strategi penanganan untuk mengatasinya. Dasawarsa 90-an telah mencatat lahirnya berbagai lembaga yang member perhatian kepada masalah ini. Salah satu bentuk perhatian itu adalah dengan mendirikan berbagai pusat pelayanan perempuan korban kekerasan. Lembaga yang tumbuh di beberapa kota besar ini telah memberikan beragam jenis layanan. Para korban dapat memanfaatkan sesuai kebutuhan mereka. Diantara layanan yang diberikan adalah memberikan konsultasi melalui telepon, mengupayakan pendampingan psikologi serta memeberikan bantuan medis dan pendampingan hukum.
Salah satu komponen penting dalam upaya membantu korban KDRT adalah bantuan hukum. Bantuan hukum sangat dibutuhkan mengingat sampai sekarang hukum di Indonesia belum memenuhi rasa keadilan para korban kekerasan ini. Belum dijumpai ketentuan yang secara tegas mengatur masalah KDRT. Diharapkan kehadiran UU ini akan semakin memenuhi rasa keadilan bagi para korban. Langkah penanganan KDRT semakin lengkap setelah beberapa polisi perempuan dan purnawirawan polisi berinisiatif untuk merintis terwujudnya women’s desk (bagian pelayanan masalah perempuan) di kantor polisi. Langkah ini didasari keprihatinan atas pelayanan pihak kepolisian yang diberikan selama ini. Sejalan dengan usaha peningkatan pelayanan dalam rangka mengatasi kekerasan, sebuah cacatan khususu harus dibubuhkan disini. Berkat desakan masyarakat, pemerintah Indonesia telah mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan). Badan ini bertugas menciptakan berbagai terobosan untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT.
Muhammad, Husein. 2004. Islam Agama Ramah Perempuan. LKiS: Yogyakarta
Kekerasan terhadap perempuan kini telah terbuka sebagai fakta-fakta nyata, baik dalam skala nasional, regional maupun internasional. Fenomena social tentang kekerasan terhadap perempuan ini dapat kit abaca dari banyak media massa local maupun nasional, setiap hari. Kita juga dapat membaca kenyataan ini dari data-data lapangan yang dilaporkan lembaga-lembaga social yang memfokuskan kerjanya pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ternyata telah memasuki ruang privat dan ruang public dalam bentuknya yang beraneka ragam dan melibatkan banyak pihak, Pribadi-pribadi, lembaga social maupun Negara. Realitas ini tentu saja meresahkan dan sekaligus mengancam eksistensi kaum perempuan secara khusus dan moralitas kemanusiaan.
Kekerasan apapun bentuknya dan terhadap siapapun adalah bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Mengapa kekerasan terhadap perempuan demikian merebak dimana-mana? Mengacu pada deklarasi CEDAW tahun 1993 ditemukan jawaban bahwa “ Kekerasan terhadap perempuan merupakan perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan bagi kemajuan bagi mereka.” Pernyataan ini sangat jelas memperlihatkan adanya ketimpangan gender yang telah melembaga dalam ruang-ruang kehidupann masyarakat melalui penempatan posisi laki-laki sebagai pemegang kekuasaan otoritatif dalam segala relasi antarmanusia baik pada ruang prifat maupun domestik. Konstruksi kebudayaan yang bias gender tersebut, merupakan banyak analisis dipengaruhi oleh banyak factor, disamping oleh sejumlah ideology sosial, politik dan ekonomi juga oleh penafsiran para ahli agama atas teks-teks suci mereka.
Adinda, Titiana. 2008. Kekerasan itu Berulang Padaku. Elex Media: Jakarta
Kisah kekerasan terhadap perempuan sering terjadi di sekitar kita. Dampaknya, selain menimbulkan luka fisik, juga luka psikologis. Para korban enggan melapor karena takut pada ancaman pelaku, atau menganggap kekerasan itu sebagai aib keluarga. Fenomena ini bukan semata masalah pribadi, tapi juga merupakan tanggung jawab negara dan masyarakat. Masyarakat maupun penegak hukum harus terlibat untuk mengatasi dan menyelamatkan perempuan dari segala bentuk kekerasan.
Pranowo, Naning. 2010. Her Stroy, Sejarah Perjalanan Payudara; Mengungkap Sisi Terang Sisi
Gelap Permata Perempuan. Kanisius: Yogyakarta
Diakui ataupun tidak, hingga saat ini, perempuan selalu diposisikan sebagai subordinat dan dinomorduakan. Banyak fakta menunjukkan perempuan acap kali menjadi objek kekerasan dan diskriminasi. Secara historis, kekerasan terhadap perempuan merupakan perwujudan ketimpangan historis dari sistem masyarakat antara laki-laki dan perempuan yang pada muaranya mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam sejarah peradaban Hindu, misalnya, hingga abad ke-6 Masehi, perempuan dianggap sesajen bagi para Dewa. Begitu pula dalam sejarah peradaban Yahudi sebelum abad ke-6, perempuan dianggap sebagai sumber laknat dan malapetaka karena menyebabkan Adam terusir dari surga. Kenyataan serupa terjadi dalam sejarah peradaban Barat, Arab, dan China, perempuan dianggap sebagai makhluk tidak berguna, remeh, bahkan boleh dibunuh. Ironisnya, potret buram kekerasan terhadap perempuan ternyata berlaku hingga zaman modern ini.
Candra, Nita & Ibung, Dian. 2008. Dari Balik Dinding (Bernama) Luka. PT Lingkar Pena Kreativa: Surabaya
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terjadi pada siapa saja, tidak mengenal jenis kelamin, usia, pendidikan atau latar belakang sosial. KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera pada korbannya, tetapi bisa juga berupa kekerasan psikis yang meninggalkan luka batin yang bisa sangat sulit disembuhkan pada korbannya.
http://lindungiguedong.blogspot.com/
Pelatihan Hakim Peradilan Umum tentang KDRT
Tujuan dari diadakannya pelatihan bagi para Hakim Peradilan Umum ini adalah untuk membangun pemahaman bersama tentang prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan bagi korban KDRT, khususnya yang sesuai dengan ketentuan dari UU PKDRT; membangun pemahaman bersama tentang bentuk-bentuk kekerasan, prosedur penanganan dan sanksi untuk kasus-kasus KDRT; dan penerapan UU PKDRT.
Output atau hasil yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah: hakim dapat menjelaskan tentang prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan bagi korban KDRT; Hakim dapat menjelaskan tentang bentuk-bentuk kekerasan, prosedur penanganan dan sanksi dari kasus-kasus KDRT; Hakim dapat berbagi pengalaman dalam menangani kasus-kasus KDRT, dan dapat menerapkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT.
Workshop Family Court (Pengadilan Agama) Terhadap Kasus-Kasus KDRT
Kegiatan workshop atau lokakarya ini adalah sebagai salah satu bentuk dari upaya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perempuan sebagai korban KDRT.
Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk membangun pemahaman
bersama tentang bentuk-bentuk kekerasan, prosedur penanganan dan sanksi terhadap kasus-kasus KDRT; memetakan masalah kewenangan dari Peradilan Umum dan Peradilan Agama mengenai kasus-kasus KDRT; serta untuk menyusun konsep awal pengadilan keluarga demi perlindungan korban KDRT.
Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah, perempuan sebagai korban KDRT dapat lebih mudah mengakses pengadilan keluarga dalam menyelesaikan kasusnya, dan penegakan hukum di ndonesia lebih kondusif lagi bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Target peserta dari kegiatan workshop ini adalah para hakim, baik hakim yang ada di Pengadilan Umum/Negeri ataupun para hakim yang ada di Pengadilan Agama, beserta dari beberapa perwakilan kelompok Akademisi ataupun para pengamat hukum, yang memang terkait dengan isu ini.
Kegiatan lainnya yang juga akan dilakukan oleh Div. RHK adalah:
1. Monitoring terhadap hasil sosialisasi atau pelatihan terhadap Buku Referensi tentang KDRT bagi para Hakim Peradilan Agama;
2. Pelaksanaan pelatihan tahap ke-3 dan ke-4 tentang Sosialisasi terhadap Buku Referensi di kalangan para Hakim Pengadilan Agama;
3. Advokasi kebijakan penting yang terkait dengan isu tentang KTP dan Ketidakadilan Gender, spt: Amandemen UU Kesehatan, Amandemen UU Perkawinan (termasuk KHI), dan RUU tentang PRT;
4. Penerbitan dan pendistribusian buku tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban.
Pelatihan untuk Instruktur Pelatihan Hakim Peradilan Agama tentang KDRT
Mengenai tujuan dari pelaksanaan pelatihan terhadap para instruktur pelatihan Hakim Peradilan Agama, adalah untuk membangun pemahaman bersama-sama mengenai bentuk-bentuk kekerasan, prosedur penanganan dan sanksi kasus-kasus KDRT; memetakan masalah kewenangan dari Peradilan Umum dan Peradilan Agama mengenai kasus-kasus KDRT; dan, menyusun konsep awal pengadilan keluarga demi perlindungan korban KDRT.
Output yang diharapkan dari kegiatan ini, adalah bahwa pihak perempuan sebagai korban KDRT lebih mudah mengakses pengadilan keluarga dalam menyelesaikan kasusnya, dan adanya penegakan hukum di ndonesia yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan. Sasaran dari kegiatan ini, bahwa perempuan sebagai korban KDRT lebih mudah dalam mengakses pengadilan keluarga dalam menyelesaikan kasusnya. Dan adanya penegakan hukum di Indonesia yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Shinta Agustina (2003).Kekerasan dalam Keluarga:Suatu Kajian Yuridis Kriminologis tentang Penganiayaan dalam Keluarga.Laporan Penelitian Kajian Wanita,Padang:Lembaga Penelitian-Unand,hal 22.
Sebab perceraian pada suatu pasangan perkawinan dengan pasangan lainnya tidaklah sama. Namun tidak jarang berbagai faktor tadi bertemu dan berakumulasi sebagai penyebab berakhirnya suatu perkawinan. Salah satu penyebab perceraian,yaitu kekerasan satu pihak kepada pihak lain,cukup banyak kita temui dalam lingkungan sekitar kita
At-Thasyah, Adnan. 2001. hal 23 cetakan I , Serba-Serbi Wanita: Panduan Mengenal Wanita. Al-Mahira: Jakarta
Prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita yang tertuang dalam pasal 27 UUD 1945. Di samping itu, pemerintah telah meratifikasi berbagai konvensi internasional seperti konvensi ILO No. 100 tentang upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya, konvensi tentang hak-hak politik perempuan dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah pun juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan lain, seperti : diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya ditulis UU P-KDRT). Latar belakang diberlakukannya undang-undang ini adalah sebagaimana dapat dibaca dalam bagian menimbang,yang antara lain menyatakan:
“bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus ”.
Dalam peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya jika dikaji lebih lanjut, peraturan itu justru bias gender. Sebab dalam putusannya, di satu sisi menjamin hak yang sama dalam hukum dan masyarakat antara perempuan dan laki-laki, di sisi lain dinyatakan bahwa laki-laki berperan di sektor publik dan perempuan berperan di sektor privat ( di rumah saja ). Malah UU ini memberi peluang bagi seorang suami untuk beristri lebih dari satu.