Pendidikan Luar Sekolah ku Sayang, PLS-ku Malang Oleh : Riky Syaily
Suatu ketika seorang pencuri sandal tertangkap basah oleh warga sedang mencuri beberapa pasang sandal milik warga yang sedang beribadah di mesjid, seketika semua warga beramai-ramai menghakimi pencuri tersebut hingga sang pencuri babak belur, sampai akhirnya seorang diantara warga memberanikan diri untuk membela pencuri tersebut, hingga warga sepakat untuk membawa pelaku pencurian tersebut ke pihak berwenang, tanpa adanya sidang aparat mem-vonis pelaku tersebut selama 1 tahun di dalam penjara, di lain tempat seorang pejabat tertangkap basah oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menggelapkan uang pemerintah sebesar 2 triliun, dan tentunya sudah sewajarnya pula pelaku tersebut di proses dengan jalur hukum, hasil sidang menetapkan pelaku korupsi tersebut di vonis dengan hukuman 10 tahun penjara dengan denda sesuai yang ditetapkan, wajar bukan?
Namun yang sangat mengherankan, berselang 1 minggu pelaku korupsi sudah berada di lingkungan luar dan bisa menghirup udara bebas, padahal sudah terbukti dia di vonis dengan hukuman 10 tahun penjara, aneh kan!? tentu saja aneh, nah untuk masalah seperti ini siapa sih sebenarnya patut disalahkan!? System perhukuman di Indonesia atau pelaku system itu sendiri atau mungkin kebudayaan di negri kita ini yang sudah menganggap bahwa korupsi adalah budaya turun temurun dan sudah menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi..alahhhhh terserahlah…itu kan permasalahan orang-orang hukum bukan kita…lantas apa hubungannya dengan kita selaku orang pendidikan…!? Nah sebelum saya masuk kedalam pembahasan ada sebuah cerita lagi, tapi kali ini cerita tentang dunia pendidikan..
Suatu ketika saya sedang observasi di salah satu PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk mendapatkan data guna mengerjakan salah satu tugas yang diberikan oleh dosen, singkat kata, data terkumpul dan sayapun sudah bergegas untuk pulang, sesampainya di rumah ketika hasil dari observasi tersebut mau saya ketik ulang, dengan tidak sadar saya merasa aneh dengan struktur organisasi di PKBM tersebut, keanehannya terletak pada pimpinan PKBM tersebut dan para tutornya, mengapa pimpinannya bertitel Insinyur sedangkan beberapa tutornya bertitel Sarjana Pendidikan Luar Sekolah….bukannya terbalik saya pikir…lebih-lebih tutor bertitel Sarjana Pendidikan Luar Sekolah kok mengajar Matematika, bukannya di kurikulum PLS belum pernah ada mata kuliah Matematika…aneh juga kan…
Untuk apa kuliah di PLS kalo ujung-ujungnya mengajar Matematika, bukannya lebih tepat kuliah di jurusan Pendidikan Matematika…
Sudahlah…cerita pengalaman tersebut hanyalah sebuah prolog dari permasalahan yang akan saya bahas tentang ketimpangan-ketimpangan yang terjadi antara system perkuliahan di PLS dengan realita-realita yang banyak terjadi di lapangan…
Jika kita cermati tujuan dari kurikulum PLS salah satunya adalah menjadikan mahasiswa PLS sebagai manajer dari pendidikan luar sekolah, tepatnya seseorang yang memegang kendali atas manajemen Pendidikan Luar Sekolah, lalu jika kita hubungkan kembali dengan beberapa kasus yang terjadi pada masa sekarang (salah satu contoh permasalahan PKBM yang saya angkat sebelumnya) akan menimbulkan beberapa pertanyaan…(maaf…pertanyaannya cukup di jawab dalam hati pembaca saja, bukan kuis koq…hehehe ^_^)….
Apakah output menjadikan seorang manajer Pendidikan Luar Sekolah tersebut sudah tersentuh secara nyata?
Jika belum, mengapa hal ini bisa terjadi?
Apakah kurikulum Pendidikan Luar Sekolah sudah tidak relevan?
Solusi konkrit apa yang seharusnya bisa kita ambil?
Emang saya pikir permasalahan relevansi ini ga pernah akan muncul bila output dari kurikulum PLS itu sendiri berusaha untuk idealis dan professional dalam mencari lapangan pekerjaan yang sesuai, namun jalan untuk idealis serta professional itulah yang membutuhkan kompetensi yang menunjang, kita bisa ambil satu contoh, dalam mata kuliah kita mempelajari bagaimana merancang suatu program Pendidikan Luar Sekolah dari mulai Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring, Evaluasi sampai Tindak Lanjut, tapi apakah ada mata kuliah yang membahas tentang bagaimana cara kita untuk meminta bantuan baik fisik maupun pesak (maksudnya materi maupun sarana atau prasarana) ga ada kan…bukankah produk yang bisa dihasilkan dari lulusan PLS adalah ide/gagasan yang kemudian akan dijual, lalu bagaimana cara menjual ide/gagasan tersebut kalau kita tidak di belajarkan cara untuk menjualnya.
Percuma saja jika kita merancang suatu program hingga berbentuk proposal tanpa tau mesti dikemanakan proposal tersebut harus dijual, sia-sia saja bukan….
Membahas relevansi kurikulum PLS saya sempat mendengar kabar tentang mata kuliah PLP khususnya untuk tahun akademik 2007-2008, ternyata untuk praktisnya di lapangan semua mahasiswa disebar diseluruh SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) di seluruh pelosok Kota Bandung dan Kab.Bandung bahkan sampai ke luar kota seperti cianjur, sukabumi dan garut..menurut saya meskipun seluruh mahasiswa disebar di seluruh SKB di pelosok Indonesia mungkin pengalaman yang didapat semua mahasiswa tetap saja sama, toh semua SKB di Indonesia juga pada esensinya sama, jadi menurut saya gak ada warna baru dari pengalaman yang didapat mahasiswa yang ber-PLP jika semuanya ber-PLP di tempat yang ber-tupoksi sama dan seolah-olah SKB adalah satu-satunya garapan PLS bukankan garapan PLS luas sekali (beberapa orang berkata PLS= Pendidikan Luas Sekali), yang lebih mengejutkan lagi mahasiswa yang ber-PLP tersebut mengajar pada program pendidikan kesetaraan di SKB-SKB yang menjadi tempat prakteknya, bukankah sudah jelas-jelas PLS tidak mempunyai kompetensi untuk mengajar (Akta IV-nya saja sudah dihilangkan….bener kan????)
Saya jadi teringat perkataan salah satu Dosen saya, dia mengatakan “Kebanyakan orang-orang PLS mengecilkan diri sendiri, jika kita pahami PLS bisa masuk kemana saja kesemua aspek kehidupan, dimana saja, kapan saja, apa saja bisa menjadi garapan PLS tergantung bagaimana cara kita mengemasnya sehingga menjadi suatu bentuk kegiatan PLS yang mempunyai ciri khas ke-PLS-annya”, Satu hikmah yang bisa saya ambil dari perkataan dosen saya tersebut “Sesuatu yang besar berasal dari impian yang besar, jangan pernah mengecilkan diri sendiri jika ingin sesuatu yang besar”.
Walaupun berat sekali tantangan bagi saya (saya sebagai lulusan PLS) dalam mengamalkan ilmu yang saya peroleh selama perkuliahan agar idealis dan relevan dengan pekerjaan yang suatu saat Tuhan berikan kepada saya, namun saya akan berusaha sekuat mungkin agar pekerjaan saya memang berada pada garis idealis pada kompetensi yang saya dapat di PLS, walaupun jika pada akhirnya saya keluar dari batas garis idealis tersebut saya mohon maaf, saya hanya individu yang tidak cukup besar untuk menghacurkan batu berukuran sebesar gunung.
Mungkin tulisan saya ini tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan tulisan lain dari rekan-rekan PLS yang lainnya, namun tulisan ini adalah suatu tanda bahwa saya benar-benar mencintai PLS dan mengharapkan kemajuan PLS…
Bangkitlah PLS-ku….
Majulah PLS-ku….
Gunakan Panca indramu…
Matamu untuk melihat orang yang membutuhkanmu..
Hidungmu untuk mencium penderitaan orang yang membutuhkanmu…
Telingamu untuk mendengar keluhan orang yang membutuhkanmu..
Lidahmu untuk merasakan penderitaan orang yang membutuhkanmu…
Kulitmu untuk merasakan penderitaan orang yang membutuhkanmu…
Gunakan tanganmu untuk menolong orang yang membutuhkanmu…
Gunakan kakimu untuk berjalan menolong orang yang membutuhkanmu…
Beribu anak Indonesia Membutuhkanmu…
Beribu pengangguran di Indonesia mengharapkan pertolonganmu…
Beribu masyarakat termajinalkan membutuhkanmu…
Pertolonganmu adalah secercah cahaya bagi mereka…
Halo kak , saya juga mahasiswa pls yang sekarang menenpuh pendidikan di semester 3 , jujur saja saya setuju dengan pendapat penulis bahwasannya lulusan pls masih kurang arah dalam segi keilmuan , saya kadang mikir satu ilmu apa yang bisa saya terapkan untuk menggerakkan masyarakat.