Jati Diri Pendidikan non-Formal Dalam menghadapi tantangan pendidikan, jalu pendidikan non formal tidak sebatas sebagai pelengkap, pengganti dan penambah pendidikan formal. Jakur ini memiliki jati diri sendiri dilihat dari strategi dan metode untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam menghadapi tantangan pendidikan, pendidikan non formal tidak sebatas sebagai pelengkap, pengganti dan penambah pendidikan formal. Pendidikan non formal memiliki jati diri sendiri yang dapat dilihat dari strategi/pendekatan/metode untuk mencapai tujuan pendidikan.
Penting untuk diingat bahwa pendidikan nonformal bukan hanya alternatif atau pelengkap, penambah dan pengganti dari pendidikan formal, melainkan memiliki jati diri sendiri yang didefinisikan oleh prinsip-prinsip inklusivitas, fleksibilitas, dan relevansi lokal. Dengan memahami karakteristik ini, pendidikan nonformal dapat lebih efektif dalam menjawab tantangan saat ini dan memenuhi kebutuhan pesertanya yang beragam.
Sebelum membahas apa saja yang menjadi tantangan pendidikan nonformal saat ini, saya ingin menjabarkan jati diri pendidikan nonformal dengan menguraikan apa tujuan dari pendidikan nonformal dan bagaimana strategi/pendekatan/metode untuk mencapai tujuan tersebut. Pendidikan nonformal memiliki tujuan yang lebih fleksibel, dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu atau kelompok sasaran tertentu. Tidak terbatas pada pemerolehan gelar atau sertifikat formal, tujuannya melibatkan pengembangan keterampilan, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan individu.
Inklusivitas juga menjadi aspek kunci, memberikan akses pendidikan kepada mereka yang mungkin terbatas dalam mengikuti pendidikan formal, seperti orang dewasa yang telah keluar dari sekolah atau kelompok masyarakat yang kurang terlayani. Selain tujuan akademis, pendidikan nonformal juga bertujuan untuk meningkatkan keterampilan hidup sehari-hari, keterampilan pekerjaan, dan kemampuan adaptasi dalam menghadapi perubahan sosial dan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan pendidikan nonformal mencakup aspek kontekstual yang mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi lokal.
Program-program ini merespons tantangan dan peluang yang unik di dalam masyarakat tempat mereka diterapkan. Pembelajaran berbasis pengalaman menjadi metode yang umum, melibatkan peserta aktif dalam proses belajar melalui magang, proyek praktis, atau simulasi situasi dunia nyata. Fleksibilitas dalam waktu dan tempat adalah ciri khas pendidikan nonformal. Program-program ini memungkinkan peserta untuk belajar di luar jam kerja atau di tempat yang sesuai bagi mereka, mengakomodasi kebutuhan individu yang memiliki keterbatasan waktu atau mobilitas.
Pengakuan hasil belajar diberikan melalui penilaian formatif, proyek, atau portofolio kerja, bukan hanya melalui ujian formal atau pengukuran akademis yang kaku. Partisipasi masyarakat juga menjadi elemen penting, dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Ini menciptakan ikatan yang lebih kuat antara pendidikan nonformal dan kebutuhan masyarakat lokal.
Terakhir, pemanfaatan teknologi semakin mendukung efektivitas pendidikan nonformal, dengan adopsi platform online, aplikasi, dan sumber daya digital untuk mendukung pembelajaran jarak jauh dan memberikan akses ke informasi lebih banyak. Dengan demikian, pendidikan nonformal bukan sekadar pelengkap atau alternatif dari pendidikan formal, tetapi memiliki jati diri sendiri yang didefinisikan oleh prinsip-prinsip inklusivitas, fleksibilitas, dan relevansi lokal.
Dari yang saya alami, saya lihat dan saya rasakan, yang menjadi tantangan terbesar pendidikan nonformal saat ini adalah rendahnya kesadaran, kurangnya pemahaman dan rendahnya partisipasi masyarakat mengenai keberadaan dan peran pendidikan nonformal di tengah masyarakat. Masih sangat banyak yang mempertanyakan apa itu pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah/pendidikan masyarakat?
Bahkan ada kekeliruan bahwa pendidikan nonformal adalah pendidikan untuk orang-orang berkebutuhan khusus (SLB). Yang diketahui oleh masyarakat adalah pendidikan berlangsung di sekolah dan mendapatkan sertifikat/ijazah sebagai bukti telah menyelesaikan pendidikan. Lalu kita sebagai kaum yang melek pendidikan terkadang juga masih kesulitan memberikan pemahaman tentang keberadaan, fungsi dan tujuan pendidikan nonformal kepada masyarakat.
Seringkali kita mempersempit bahwa pendidikan nonformal hanya terbatas pada kesetaraan dan keaksaraan, bahkan kita spesifikkan mengacu pada sebuah lembaga nonformal seperti PKBM sehingga masyarakat tidak tertarik karena pendidikan formal dianggap jauh lebih baik dan menguntungkan. Di Indonesia sudah banyak lembaga-lembaga nonformal tetapi tidak mampu mempertahankan eksistensi dan profesionalitasnya karena baik masyarakat maupun tenaga pendidik di lembaga nonformal tersebut tidak memahami mengapa, untuk apa dan untuk siapa lembaga tersebut hadir. Banyak problematika kehidupan yang bisa diselesaikan oleh pendidikan nonformal tetapi tidak disadari oleh masyarakat, seperti dengan adanya pemberdayaan, life skill education, dan kursus bahasa, seni dan industri kreatif berbasis kearifan lokal.
Faktor rendahnya kesadaran, pemahaman, kepedulian dan pasrtisipasi masyarakat maupun orang-orang yang sudah melek pendidikan terhadap pentingnya pendidikan nonformal menjadi tantangan yang harus segera diatasi. Masyarakat begitu mendewakan pendidikan formal dan telah menjadi standard penilaian sukses tidaknya seseorang di dalam lapisan masyarakat adalah seberapa tinggi seseorang menempuh pendidikan formal.
Ketika muncul permasalahan negatif seperti anak tidak bisa membaca, anak meninggalkan sekolah, anak gagal dalam akademik, anak tidak bisa bersaing di dunia kerja, anak kalah saing dengan lulusan sekolah internasional atau perguruan tinggi dari luar negeri dan permasalahan lainnya maka yang disalahkan adalah si anak bukan mencari solusi pendidikan yang bagaimana lebih tepat unntuk si anak. Di perkotaan, masyarakat bersaing untuk mencari, menemukan, mendaftarkan dan mengikuti sekolah-sekolah terbaik sebagai bentuk pemberian fasilitas dan akses pendidikan terbaik untuk anak-anaknya.
Bagi mereka, pendidikan di sekolah merupakan pendidikan utama, pendidikan di luar sekolah seperti kursus menjadi pendidikan pelengkap dan pendidikan di keluarga tergantung seberapa sibuk tidaknya orangtua. Semua bentuk pendidikan bisa mereka dapatkan sesuai kemampuan ekonomi mereka. Lalu bagaimana dengan warga belajar dari masyarakat terdiskriminasi, masyarakat yang kurang beruntung, anak jalanan, daerah konflik, traffiking, pengangguran, masyarakat pedalaman, dan daerah perbatasan tentu memiliki kebutuhan belajar yang berbeda sesuai sumber daya manusia dan potensi lokal di lingkungan mereka.
Keberagaman latar belakang ini lah yang bisa dijangkau oleh pendidikan nonformal dalam satu wadah, tentu berbeda dengan tujuan pendidikan formal yang sudah jelas ditentukan oleh batasan tertentu seperti pengelompokan usia, latar belakang sosial ekonomi dan jarak.
Bagi sebagian banyak orang, ketika seseorang gagal atau tidak mampu menempuh pendidikan formal yang lebih tinggi maka dianggap tidak berpendidikan dan telah gagal untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak karena masih banyak yang beranggapan bahwa pendidikan formal menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang mampu membuat manusia berdaya dan terampil.
Sementara kehadiran pendidikan nonformal dinilai sebagai penambah, pelengkap atau pengganti untuk mereka yang putus sekolah dan untuk mereka yang membutuhkan pelatihan keterampilan di luar sekolah. Hal ini tentu membuat pendidikan nonformal semakin tertantang untuk menunjukkan jati dirinya sebagai pendidikan yang terpisah dari pendidikan formal karena perbedaan tujuan dan sifatnya yang inklusif serta adaftif. Pendidikan nonformal merupakan sebuah jawaban kebutuhan pendidikan untuk membuat manusia sadar bahwa mereka berpotensi, berdaya dan mampu memberdayakan sekelilingnya.
Tidak hanya sekedar untuk kesejahteraan hidup mereka tetapi untuk keberlangsungan semua makhluk yang hidup bersama-sama dengan mereka. Tidak ad akelas khusus, tidak ada usia khusus dan tidak ada administrasi yang menghomegenkan suatu kelompok khusus dalam pembelajaran nonformal. Masyarakat bisa belajar sesuai kebutuhan dan keinginan mereka.
Bagaimana agar masyarakat menyadari, memahami, mengakui, mengikuti bahkan mempertahankan eksistensi pendidikan nonformal itu? Pertama, kita sebagai orang yang melek pendidikan tentunya harus memiliki kesadaran kritis yang menghadirkan diri sebagai pelaku pendidikan nonformal membaurkan diri dan melebur ke masyarakat untuk mempromosikan apa itu pendidikan nonformal baik lisan maupun tulisan. Kita tidak bisa hanya sebagai pengikut apa yang sudah disepakati selama ini bahwa pendidikan nonformal adalah pelengkap, penambah dan pengganti pendidikan nonformal.
Kalau kita adalah pengikut regulasi tersebut maka sampai kapanpun eksistensi pendidikan nonformal tidak akan bisa professional sebagai pendidikan nonformal itu senndiri dan sampai kapanpun masyarakat tidak akan menyadari dan memahamim apalagi mengikuti. Sebuah gerakan baru harus direalisasikan sesuai fakta dan kebutuhan pendidikan masyarakat saat ini. Kedua, pembuktian. Teori sosial tanpa pembuktian hanya akan menyenangkan telinga tetapi teori dengan pembuktian atau aksi akan menyenangkan kehidupan mereka yang merasakan. Masyarakat akan lebih mudah menyadari, memahami, menerima, mengakui dan mengikuti keberadaan dan peranan pendidikan nonformal jika sudah ada pembuktian.
Karena yang selama ini dilihat oleh masyarakat adalah satu-satunya pendidikan ditempuh melalui pendidikan formal. Pembuktian tersebut dapat terwujud dimulai dengan dialog bersama masyarakat. Terakhir, professional. Untuk mempertahakan eksistensi pendidikan nonformal, perlu adanya pengelola, pendidik, tenaga pendidik yang professional dalam bidang ini. Yang memahami dan bisa menjelaskan kembali pada orang lain mengapa harus ada pendidikan nonformal dan mutu seperti apa yang harus dijamin dalam pengaplikasiannya. Dari teori, aksi dan profesionalitas yang dibangun maka Masyarakat dapat melihat dan menentukan sendiri pendidikan formal atau pendidikan nonformal kah yang cocok untuk kebutuhan mereka, masyarakat dapat membedakan setelah memahami dan menyadari.
Berikut saya mencoba menguraikan perbedaan antara pendidikan formal dengan pendidikan informal sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan formal memiliki jati diri sendiri yang bukan sekedar pelengkap, penambah atau pengganti pendidikan formal. Pendidikan nonformal memiliki ciri khas yang unik dan tujuan yang berbeda.
Pertama, pendidikan nonformal menekankan fleksibilitas dalam mencapai tujuan pembelajaran. Program-program ini tidak terbatas pada pencapaian gelar formal, melainkan memberikan ruang bagi peserta untuk mengembangkan keterampilan spesifik sesuai kebutuhan mereka sedangkan pendidikan formal mengajarkan semua mata pelajaran yang sudah terstruktur dalam kurikulum satuan pendidikan untuk menamatkan suatu jenjang agar bisa ke jenjang berikutnya.
Kedua, pendidikan nonformal mengakui konsep pembelajaran seumur hidup, memungkinkan individu untuk terus-menerus memperoleh pengetahuan dan keterampilan sepanjang hidup mereka tanpa mengikuti struktur waktu dan kurikulum formal sedangkan pendidikan formal dalam tiap jenjang sudah dibatasi oleh usia tertentu dalam tiap jenjang yang sedang ditempuh.
Selain itu, pendidikan nonformal memberikan aksesibilitas yang lebih luas dan inklusif. Program-program ini mampu mencakup kelompok masyarakat yang mungkin tidak dapat mengakses pendidikan formal, seperti orang dewasa yang telah keluar dari sekolah, kelompok etnis minoritas, atau masyarakat pedesaan yang terisolasi sedangkan pendidikan formal hanya dapat diakses oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan administrasi untuk masuk pada sebuah jenjang, dalam suatu kelas tidak ada ketimpangan atau perbedaan signifikann dari segi umur dan latar belakang sosial ekonomi.
Selain itu, pendidikan nonformal menunjukkan respons yang lebih cepat terhadap kebutuhan lokal dan global. Program-program ini dapat dirancang untuk secara langsung menanggapi tantangan dan peluang yang ada di masyarakat, tanpa harus terikat pada struktur kurikulum formal yang mungkin tidak sesuai dengan konteks setempat. Pendidikan nonformal berfokus pada kebutuhan masyarakat dengan tujuan pemberdayaan sedangkan pendidikan formal berfokus pada nilai, pencapaian tinggi sesuai standard kurikulum yang disusun satuan pendidikan. Pendidikan formal bisa ada dan hadir di semua wilayah tetapi belum tentu bisa menjangkau dan merangkul semua usia, golongan dan tanggap pada kearifan lokal seperti yang dilakukan oleh pendidikan nonformal.
Dari penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal terpisah dari pendidikan nonformal. Keduanya berdiri dengan tujuan dan sifat yang berbeda. Tanpa pendidikan formal, pendidikan informal mampu mencapai tujuannya. Saya beri contoh di Kecamatan Siberut Selaran, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, angka buta aksara dan angka putus sekolah sangat tinggi tetapi lembaga pendidikan formal dan nonformal di sana cukup banyak.
Untuk pendidikan nonformal sudah disediakan oleh pemerintah PKBM dan Lembaga Pelatihan Keterampilan dan Kursus oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Faktanya keberadaan Lembaga nonformal tersebut tidak berfungsi sama sekali karena Masyarakat tidak menyadari dan tidak disadarkan bahwa Lembaga tersebut juga merupakan Lembaga pendidikan. Justru yang lebih menjawab kebutuhan masyarakat di sana adalah kehadiran NGO atau LSM dengan program-program pemberdayaan untuk pertanian, pendampingan nelayan, kepemudaan, dan pendidikan yang mengadopsi bahasa daerah, sumber daya alam di sana dan memanfaatkan potensi lokal sehingga masyarakat bahagia melaksanakan pembelajaran/pelatihan keterampilan dan kedepannya mampu memberdayakan yang lainnya.
Apa yang dilakukan oleh NGO atau LSM tersebut merupakan pendidikan nonformal. Bukan soal berapa Lembaga pendidikan nonformal oleh pemerintah yang sudah ada, tetapi siapa saja bisa menjadi pelaku pendidikan nonformal untuk tujuan inklusifitas pendidikan. Maka jelas bahwa tantangan pertama yang harus dieksekusi oleh pendidikan nonformal adalah penyadaran dengan meleburkan diri supaya kita paham apa yang dirasakan, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lalu membuat suatu tindakan atau program.
Teori Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan nonformal yang melebihi peran sebagai pelengkap, penambah, atau pengganti pendidikan formal. Freire mengembangkan konsep pendidikan pembebasan (education for liberation) yang menekankan pentingnya memberdayakan individu yang tertindas untuk memahami dan mengatasi realitas sosial mereka.
Pertama, teori Freire menekankan pemberdayaan dan kesadaran kritis sebagai elemen utama pendidikan pembebasan. Dalam konteks pendidikan nonformal, ini berarti memberdayakan individu dari kelompok tertindas dengan memberikan akses untuk mengembangkan pemahaman kritis terhadap realitas sosial dan ekonomi yang mereka hadapi. Kedua, partisipasi aktif dan dialog dianggap sebagai elemen kunci oleh Freire.
Proses pendidikan nonformal, sejalan dengan teori ini, mendorong partisipasi aktif dan pembelajaran berbasis dialog, di mana peserta dapat berkontribusi pada proses pembelajaran dan membahas isu-isu yang relevan dengan pengalaman mereka. Selanjutnya, teori Freire mengkritik struktur hierarki dalam pendidikan dan mendorong terbentuknya hubungan yang lebih demokratis antara pendidik dan peserta didik.
Dalam pendidikan nonformal, hal ini tercermin dalam upaya menciptakan hubungan yang lebih horizontal dan kolaboratif antara fasilitator dan peserta, di mana pengetahuan dan pengalaman bersifat saling menguntungkan. Freire juga menyoroti pentingnya memahami dan merespons konteks lokal dan realitas hidup peserta didik. Pendekatan ini sesuai dengan pendidikan nonformal, yang dapat merespons kebutuhan lokal dan mengakomodasi realitas hidup peserta dengan menyediakan program yang relevan dan bermakna sesuai dengan kebutuhan dan tantangan masyarakat tertentu.
Terakhir, teori Freire menekankan bahwa pendidikan seharusnya mendorong tindakan konkret untuk perubahan sosial dan keadilan. Pendekatan ini diterjemahkan ke dalam pendidikan nonformal dengan memberikan kesempatan untuk pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang dapat membantu individu dari kelompok tertindas untuk berkontribusi pada perubahan sosial, seperti melalui program pelatihan keterampilan atau proyek pengembangan masyarakat.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip teori Freire dalam konteks pendidikan nonformal, menciptakan lingkungan pendidikan yang memberdayakan individu, meningkatkan kesadaran kritis mereka terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan, serta merangsang partisipasi aktif dalam perubahan sosial. Dengan demikian, pendidikan nonformal menjadi lebih dari sekadar pelengkap, penambah, atau pengganti pendidikan formal, melainkan alat untuk membebaskan dan memberdayakan mereka yang tertindas.
sumber https://www.indonesiana.id/read/170624/jati-diri-pendidikan-non-formal#