aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
(wiji tukul, Tentang Sebuah Gerakan)
Kutipan puisi dari seorang seniman yang aku harap dapat menjadi motivasi dan semangatku dalam membangun Pendidikan Luar Sekolah (jurusan) melalui IMADIKLUS ini. Motivasi dan semangat yang lahir dari olahan rasa pesimis akan masa depan Pendidikan Luar Sekolah (jurusan) dan optimis akan janji Tuhan tentang mengubah nasib suatu kaum.
Sebagian besar mencibir, mencap diriku terjebak pemikiran oportunis dan kapitalis, yang menganggap bahwa pendidikan adalah sarana kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan mapan, serta pemikiranku melecehkan lembaga pendidikan. Mereka anggap aku meminta minta pekerjaan, berpikir bahwa lembaga pendidikan adalah pabrik yang mencetak robot robot pekerja.
Seandainya dapat membela diri, aku tidak pernah meminta minta pekerjaan. Aku hanya melihat bagaimana sangat menyedihkannya pendidikan pada umumnya dan pendidikan nonformal pada khususnya. Ketika ku membanggakan betapa mulianya tujuan dari adanya pendidikan nonformal, serta betapa akan majunya Indonesia ketika masyarakat dapat mengenyam pendidikan melalui jalur ini.
Namun, dalam mimpi tersebut tidak sesuai di dunia nyata, pendidikan nonformal hanyalah sebuah proyek menghabiskan anggaran tanpa dampak yang jelas, mereka boleh metutup mata dalam hal ini, dengan memberikan bukti bukti di atas kertas tentang majunya peserta jalur pendidikan nonformal. Namun aku terjebak dalam realita lain yang suram.
Bolehkah aku berasumsi, tidak majunya pendidikan nonformal karena bukanlah kami (jurusan PLS) yang mengurusnya? Diperkuat dengan perkataan Alm. Djuju Sujana yang menunjukkan kelemahan pendidikan nonformal, seperti kurangnya tenaga pendidik atau sumber belajar yang profesional, masih kurangnya motivasi warga belajar dikarenakan metode yang dilakukan oleh pendidik yang mengambil pendidikan formal dan lain lain. Kalau aku boleh memberikan solusi, tempatkanlah para sarjana PLS di wilayah Pendidikan Nonformal tersebut, niscaya akan ada beberapa permasalahan pendidikan nonformal yang terselesaikan, atau setidaknya satu saja.
Mereka memberikan aku sebuah bukti, bahwa ternyata para sarjana PLS sendiri tidak mau berkecimpung di wilayah pendidikan nonformal, aku mengiyakan hal tersebut, karena ternyata bergelut di bidang pendidikan nonformal sangatlah beresiko, dengan banyaknya peraturan peraturan yang kaku dalam penyelenggaraannya, sehingga para sarjana PLS tersebut lebih mengambil jalur aman dengan menjadi pekerja di tempat yang memberikan kenyamanan. Pak Ebas sendiri pernah berkata “seakan akan dunia selebar daun kelor .
Namun ketika ku memahami, ternyata mereka berpandangan aku menginginkan formasi PNS, walaupun tidak ada salahnya menjadi PNS, tapi secara tegas aku mengatakan bahwa bukanlah PNS yang menjadi target perjuangan ini, akan tetapi kesesuaian kompetensi dengan kebutuhan masyarakat. Dan karena saat ini kami memasuki perahu bernama PLS (jurusan) maka seharusnya kami mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pendidikan nonformal.
Salahkah kami ketika memberikan tanggungjawab kepada jurusan, karena dengan dibukanya jurusan PLS, maka kami menjadi bagian di dalamnya. Terlepas dari alasan alasan yang mendasari kami memasukinya. Tanggungjawab itu kami minta dengan pengarahan bagaimana kami menjadi seorang profesional dalam bidang PNF, dengan bentuk sebuah profesi yang jelas.
Kenapa mereka tidak melihat sisi positif dari pernyataan lebih baik mengenal sedikit dan dalam daripada mengetahui banyak namun dangkal. Masyarakat Indonesia membutuhkan kita yang mampu memberikan manfaat (profesional), daripada kita yang memiliki banyak tujuan (pemimpi).
Jangan menina-bobokan kami dengan janji janji bahwa lahan bagi sarjana PLS sangat banyak. Mengancam kami bahwa anak PLS (mahasiswa dan sarjana) harus bisa apa saja dan siap ditempatkan di mana saja. Mendoktrin kami dengan teori “haram untuk menjadi PNS.
Karena hal tersebutlah yang membuat posisi tawar kami rendah, kami tidak mempunyai Ëœkelaminâ„¢ yang jelas. Hak kami untuk mengabdi kepada negara dan memperbaiki pelaksanaan PNF dengan memasuki sistem seakan terkikis dari awal bahkan akhirnya tidak diperjuangkan.
Kami menjadi mengambang, siap siap bertempur dengan senjata yang terlalu banyak, namun tidak kami ketahui kapan dan bagaimana seharusnya senjata tersebut digunakan. Dan akhirnya kami mengibarkan bendera putih.
Hingga saat ini, aku masih berpikir akan sebuah gerakan, namun bagaimana mungkin jika hanya diam, dan teriakan teriakan sumbang ini masih ku gaungkan kepada generasi bisu.
Panji Bahari Noor Romadhon
05:30 wib 08082011
Sebuah perenungan menjelang akhir