Jakarta, Rabu 20 Juli 2016 pukul 09.30 WIB. KEMDIKBUD (kementrian pendidikan dan kebudayaan) rupaya sedang melaksanakan kegiatan mingguan yang memang pada dasarnya diselenggarakan secara rutin dengan intensitas waktu sebanyak 2 minggu sekali. Adapun nama kegiatan rutin itu adalah “KOPI DARAT” – Kongkow Pendidikan : Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat, dengan topik – Apa itu sekolah ramah anak dan mengapa itu penting ? topik yang diangkat kali ini memang cukup menarik dan boleh dikatakan sebagai suatu yang baru di Masyarakat. Kegiatan ini dinarasumberi oleh Bpk. Thamrin Kasman selaku sekertaris direktorat jendral pendidikan dasar dan menengah, kementrian pendidikan dan kebudayaan, Dr.Gutama konsultan CDP Indonesia untuk studi pengembangan sistem penjaminan mutu PAUD, Ihsan Gumilar, MA sebagai pakar psikologi dan perkembangan manusia serta bu Eva simanjuntak sebagai salah satu perwakilan orang tua. IMADIKLUS wilayah 3 berkesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut mengingat topik yang diangkat sangat menarik sehingga kami memutuskan untuk menghadiri kegiatan tersebut- adapun universitas yang bisa ikut dalam kegiatan ini terdiri dari kampus UNJ,UNTIRTA dan UIKA.
Kegiatan Kopi Darat berlangsung pukul 9.30 berlokasi di ruang terbuka perpustakaan kemdikbud, lantai 1, Senayan Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh banyak kalangan mulai dari praktisi, komunitas, guru PAUD, trainer, mahasiswa serta orang tua murid. Diskusi dimulai dari penjabaran akan arti pendidikan, ada banyak pandangan tentang tujuan pendidikan. Sebagai pandangan menekankan peran pendidikan dalam hal membentuk kemampuan akademik anak- anak serta ketrampilan teknis yang mereka perlukan demi keberhasilan transisi mereka ke dunia kerja. Mengingat bahwa pendidikan haruslah mengembangkan “anak seutuhnya” dengan ketrampilan yang seimbang, dari segi kognitif, sosial dan emosional, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan abad ke-21 dengan lebih baik menurut Howard Gardner selama ini mungkin kita salah mengartikan kecerdasan, paradigma kecerdasan yang selama ini dianggap sebagai entitas tunggal, dimana ia mengindentifikasi 7 jenis kecerdasan yang berbeda : music – ritmik, visual – spasi , verbal – linguistic, logis – matematis, kinestetik – jasmani, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. Padahal setiap individu memiliki kecerdasan yang unik, maka dari landasan itulah Gardner kemudian mengembangkan gagasan bahwa pendidikan memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi kapasitas unik individu dan mengembangkannya bagi hal – hal yang konstruktif. Batas – batas tersebut melepaskan pendidikan bukan hanya sekedar ketrampilan mengajar, kurikulum dan pengajuan yang dijadikan paradigma tentang bagaimana pendidikan dapat membantu manusia untuk menjalani kehidupan mereka dengan baik. Hal yang terpenting bagaimana kecerdasan dan moralitas dapat bekerja sama.
Dilanjut dengan pemaparan kasus oleh bu Eva Simanjuntak selaku orang tua murid dari salah satu anak yang terkena bully oleh teman satu sekolahnya, awalnya bu Eva memaparkan tentang buah hatinya yang berbeda dengan anak – anak lain, buah hatinya itu memang memilki prawakan yang tinggi, berkulit hitam serta ber-ramput ikal perbedaan itu didapat dari suaminya yang memang berkebangsaan Afrika. Sehingga anaknya berbeda dengan yang lain, ujarnya. Lalu Bu Eva menjelaskan bahwa anaknya bersekolah di sekolah suasta ternama di Jakarta yang memang dari segi fasilitas dan tenaga pengajar terbaik. Namun yang saya tidak fikir saya menyekolahkan anak saya di sekolah bonafit untuk mendapatkan pengajar, murid dan fasilitas yang baik termasuk lingkungan namun itu salah, setelah anak saya mengalami bully oleh teman sekolahnya, bully yang ia rasakan bukan hanya verbal melainkan fisik. Singkat cerita buah hati dari bu Eva telah mengalami bully fisik yang menyebabkan ia terjangkit penyakit hernia. Dokter menjelaskan bahwa anaknya mengalami pukulan keras di bagian perut bagian bawah. Dari situ saya terkejut mendengar pernyataan dokter, setiba dirumah saya menanyakan persoalan tersebut kepada anak saya, dengan beberapa bujukan akhirnya anak saya membicarakan bahwa dirinya di bully oleh teman sekelasnya. Dari kasus tersebut saya tidak habis fikir sekolah high class bisa terjadi tindakan seperti ini. Dan pendidikan itu bukan soal mencetak orang cerdas namun orang terdidik.
Dari kasus tersebut langsung ditegaskan oleh Bapak Ihsan Gumilar, MA selaku pakar psikologi dan perkembangan anak, ia mengatakan bahwa saraf manusia bersifat fleksibel dan otak manusia selalu berubah, beliau juga menganalogikan sifat fleksibel saraf pada otak dapat di ibaratkan seperti plastik kresek yang memang seperti itu sifatnya bisa dilipat, dapat dikembangkan. Psikologi anak yang terganggu emosionalnya dapat terlihat dari susunan saraf yang berubah jika dilihat dari struktur otak yang dimiki, namun hal itu sulit untuk di diteksi hal yang paling mudah ialah melihat tingkah lakunya, perubahan tingkah laku tersebut dapat di akibatkan dari orang terdekat, lingkungan bahkan media. Banyak kasus yang ditemui orang tua sudah benar dalam mendidik anaknya namun ketika anak tersebut berinteraksi dengan lingkungan, pergi kesuatu tempat dan melihat tayangan TV ia melihat suatu yang tidak baik dan ditiru olehnya, maka dari itu semua bertangung jawab untuk menciptakan lingkungan ramah anak. Termasuk lingkungan di sekolah, sekolah jelas memainkan peran penting dalam mengasah kemampuan yang statis dan biasanya ketrampilan terpenting mudah dibentuk. Ini berarti bahwa para pembuat kebijakan, guru dan orang tua dapat menjadi pengaruh kuat untuk melakukan perbaikan pada lingkungan belajar di mana anak – anak berkembang.
Maka dari itulah sekolah ramah anak sangat tepat untuk kita sukseskan bersama, mendidik anak menjadi individu yang beretika atau bermoral, maka seluruh proses dan tujuan pendidikan harus etis dan memiliki integritas. Sekolah ramah anak : sebuah perspektif Neuropsikologi, ihsan Gumilar memperkenalkan konsep Neuroplasticity dan mendefinisikannya sebagai kemampuan pola pikir/ otak manusia untuk berubah sepanjang perjalanan hidupnya. Sekolah dapat menjadi “Ramah Anak” dengan memanfaatkan penelitian ilmiah mengenai Neuroplasticity untuk menciptakan lingkungan sekolah yang membentuk interaksi dengan cara yang berdampak positif pada pembelajaran anak.
Konsep sekolah ramah anak muncul dari sebuah karya oleh sebuah lembaga di Bangkok, termasuk Biro Regional UNICEF untuk pendidikan dan save the children alliance. Inisiatif awal sekolah ramah anak focus pada bagaimana wujud suatu sekolah jika dilandaskan pada konvensi hak anak yang dijalankan sebagai praktik pendidikan yang efektif. Menurut konvensi PBB tentang Hak anak, semua anak memiliki hak untuk
- Dilahirkan, memiliki nama dan kewarganegaraan
- Memiliki keluarga yang mencintai dan peduli kepadanya
- Merasa aman dan dilindungi dari kekerasan, pelecehan dan eksploitasi
- Menerima pendidikan yang berkwalitas dan yang dapat mengembangkan potensi dirinya
- Mengekpresikan pendapat dan dihargai untuk kontribusinya
- Diberikan kesempatan untuk bermain dan rekreasi
- Memiliki tempat tinggal yang memadai dan hidup dalam masyarat yang damai
Sekolah Ramah Anak dapat didefinisikan sebagai sekolah yang bergerak berlandaskan kepentingan yang terbaik untuk anak, menyediakan kondisi sosial, fisik dan emosional yang tepat untuk mempromosikan pembelajaran dan pembaruan identitas. Lingkungan sekolah ini dimaksud untuk melindungi hak anak menuju pada realisasi potensi terbaik mereka di dalam dan di luar sekolah. Pilar – pilar sekolah ramah anak, proaktif inklusif, efektifitas secara akademis dan relavan dengan kebutuhan anak, sehat, aman dan melindungi, responsive gender serta memungkinkan adanya partisipasi keluarga dan komunitas.
Menurut Dr. Gutama pemerintah Indonesia mengakui perlunya pengembangan anak secara holistic dengan memperluas akses ke pendidikan dan pengasuhan anak usia dini/ PPAUD karena dianggap sebagai waktu yang paling baik untuk memperkenalkan prinsip – prinsip pokok sekolah ramah anak. Membangun keterampilan sosial dan emosional yang kuat akan mengambil lebih banyak manfaat dari investasi – investasi dalam pengembangan keterampilan kognitif saat pendidikan dasar dan menengah.
Salah satu pilar utama SRA ialah tersedianya lingkunga yang sehat, aman dan protektif. Sekolah juga berfungsi melindungi hak anak agar anak merasa aman dari kekerasan, penganiayaan dan eksplotasi. Mengingat sekolah ialah “Taman Siswa” yang memang pada dasarnya tepat yang indah serta di idamkan. Ujar Pak Hamid Muhammad. Peraturan mentri pendidikan dan kebudayaan No. 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penaklukan tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, yang menurut mentri akan ditingkatkan menjadi peraturan presiden, mengatur sekolah untuk memasang papan informasi sekolah aman di serambi sekolah serta guru dan kepala sekolah melaporkan tindakan kekerasan di sekolah.
SRA ini dapat berjalan jika semua pihak sama- sama mendukung dan mensukseskan kegiatan ini, hal tersebut meripakan langkah penting dalam memastikan bahwa sekolah berjalan atas kepentingan anak – anak dan menjadi “sekolah yang etis” yang berdedikasi untuk mengembangkan potensi masing – masing anak dengan mengenali perpaduan intelejensia yang unik di setiap individu serta kebutuhan untuk mengembangkan aspek – aspek non – kognitif dari prilaku moral mereka, dan di saat bersamaan menjamin keadilan sosial dan hak – hak setiap anak.
-LPU-