Bagaimana proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal ? Proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal merupakan upaya yang harus menjamin masayarakat agar dalam setiap aktivitas kehidupannya dapat memberdayakan dirinya sendiri. Proses pemberdayaan dapat dilakukan dengan memusatkan aktivitas yang ada pada masyarakat itu sediri dengan berlandaskan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat atau dapat dipahami sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat.
Dalam proses pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan kepedulian terhadap masalah, kebutuhan dan potensi yang ada pada masyarakat, kepercayaan dan feedback dari program yang dilaksanakan, pemenuhan fasilitasi dari pemerintah dalam membantu kelancaran proses kegiatan, adanya partisipatif dari seluruh komponen dan mengayomi peranan masyarakat dalam mencapai tujuan (Mahardhani, A. J, 2018).
Bagi masyarakat menerima peran dan posisi yang demikian ideal di bidang kepemerintahan dan pembangunan bukanlah pekerjaan sederhana. Posisi sebagai mitra yang berimbang hanya dapat terwujud dengan melalui proses pembenahan di segala segi, termasuk konsekuensi untuk memberdayakan masyarakat sipil. Oleh karena itu langkah yang harus dilakukan adalah melakukan pemberdayaan yang tepat kepada masyarakat dan meningkatkan kapasitas organisasi pemerintah dan lembaga yang menjadi pendukung atas penyelenggaraan Pembangunan. Sebelumnya perlu ditelusuri terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat.
Hubungan antara pemberdayaan masyarakat dan pendidikan nonformal
Hubungan pemberdayaan masyarakat dengan pendidikan nonformal disini adalah suatu cara yang dilaksanakan untuk mengali setiap proses belajar yang ada pada kelompok masyarakat dan melatih masyarakat agar mereka dapat meningkatkan kompetensi dan kinerjanya, sebagai trobosan untuk menyiapkan diri dalam memegang peranan dan tanggungjawabnya di masa yang akan datang, dengan memaknai belajar untuk mengetahui, belajar untuk berbuat, belajar untuk hidup bersama, dan belajar secara berkesinambungan (Budi, D.S, 2018).
Pendidikan nonformal bergerak secara mandiri diluar dari sistem sekolah formal. Sehingga situasi ini, membuat pendidikan nonformal harus mampu menyesuaikan keberadaanya dengan kelompok masyarakat agar tujuan memberdayakan masyarakat dapat tercapai.
Mengembangkan dan mengadakan inovasi-inovasi baru yang kreatif dalam masyarakat merupakan hal yang perlu dilakukan oleh pendidikan nonformal untuk membuat masyarakat menjadi berdaya dan mecapai pembangunan di negeri ini.
Kebijakan tentang pendidikan nonformal dan program-program pemberdayaan yang dibuat untuk masyarakat adalah bentuk dari aktifitas pendidikan yang diselenggarakan ditengah-tegah masyarakat. Pemeberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pendidikan nonformal ini, merupakan wujud nyata upaya memajukan dan mengembangkan masyarakat agar siap bersaing dengan kelompok masyarakat lainnya maupun pekembangan zaman yang terus maju.
Dengan langkah pemberdayaan masyarakat malalui pendidikan nonformal ini diharapkan akan menimbulkan kesadaran bagi kita untuk dapat membantu masyarakat yang karena keterbatasannya baik secara ekonomi, kesempatan, geografis maupun hal lainnya dapat megembangkan dan membangun dirinya sendiri sehingga mampu menjadi masyarakat yang lebih berdaya sebagaimana yang dicita-citakan.
Arah Kebijakan
Program pendididikan non formal (PNF) ditujukan untuk menyediakan pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal dan putus sekolah untuk dapat mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan ketrampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selain itu program PLS diarahkan pula untuk memberikan pengetahuan dasar dan keterampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan anggota keluarganya.
Sasaran yang direncanakan untuk dicapai Program pendidikan non formal adalah
- menurunkan angka buta aksara latin, angka buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar pada penduduk usia 10-44 tahun, (2) menyediakan pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal termasuk anak usia dini, serta (3) pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan.
- Hasil yang Dicapai Peningkatan partisipasi pendidikan melalui pendidikan luar sekolah telah meningkatkan proporsi penduduk melek aksara. Data Susenas tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk usia 15 tahun keatas yang melek aksara sudah mencapai 89,79 persen. Lebih lanjut terungkap bahwa angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas terjadi keragaman antarperdesaan dan perkotaan, dan antarkelompok laki dan perempuan. Angka melek aksara di perdesaan mencapai 86,20 persen atau masih jauh lebih rendah dari perkotaan yang sudah mencapai 94,51 persen.
Upaya untuk meningkatkan mutu tenaga pengelola pendidikan luar sekolah juga telah dilakukan. Hal ini mengingat bahwa berdasarkan hasil identifikasi hampir 70 persen tenaga pengelola PLS di tingkat kabupaten/kota dan provinsi adalah pegawai baru yang sebagian besar belum memahami tentang substansi PLS. Untuk menunjang keberhasilan program PLS dan untuk menyatukan persepsi tentang pentingnya PLS dalam mencerdaskan bangsa, para pengelola tersebut akan diberikan orientasi yang berkaitan dengan substansi program PLS yakni dalam hal merencanakan, memprogramkan dan mengevaluasi program-program PLS di wilayah kerjanya.
Untuk mendukung kegiatan tersebut, pada tahun 2001, 2002 dan 2003 telah dilakukan peningkatkan kemampuan fungsional bagi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) masing-masing sebanyak 1.157 orang, 2.298 orang dan 2.148 orang. Pada tahun 2004 kegiatan serupa dilakukan melalui 30 lembaga PKBM. Sementara itu untuk kelancaran pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan masyarakat juga dilakukan rekruitmen Tenaga Lapangan Dikmas (TLD). Pada tahun 2001 telah direkrut sebanyak 2.874 orang, tahun 2002 sebanyak 2.379 orang, dan tahun 2003 sebanyak 4.725 orang. Di samping itu dilakukan pula pembinaan tutor dan pelatihan bagi penilik PLS
Melalui Program Pendidikan Luar Sekolah dilakukan pula pengembangan anak usia dini (PAUD) dan telah berhasil merumuskan berbagai kebijakan awal serta mensosialisasikannya kepada pihak-pihak yang terkait. Program ini telah menjangkau 12 kabupaten/kota pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 16 kabupaten/kota pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 telah
diperluas menjadi 85 kabupaten/kota. Pendidikan bagi anak dini usia telah mendapat perhatian besar karena peranannya dalam mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah yang lebih lanjut berdampak pada meningkatkan kinerja pembangunan pendidikan secara keseluruhan.
Untuk mendukung kegiatan tersebut, dilakukan pembangunan fasilitas PAUD 681 unit, sertifikasi lokasi pembangunan fasilitas PAUD 135 dokumen, pengadaan bahan belajar 681 set, guru TK kontrak 1.122 orang, bantuan kerja sama peningkatan kelembagaan 5.462 lembaga, peningkatan tenaga kependidikan PAUD 19.806 kegiatan, mutu petugas dan pembina 4.200 orang, sosialisasi dan pemasyarakatan PAUD 893 kegiatan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Program PNF
Faktor-faktor yang paling mempengaruhi kinerja Program PNF adalah faktor sosial budaya, kemampuan ekonomi masyarakat, demografi dan geografi, ketersediaan pelayanan pendidikan keaksaraan, dan jenis pendidikan luar sekolah lainnya. Selain itu jumlah dan mutu tenaga kependidikan luar sekolah merupakan faktor yang cukup berpengaruh jika dibandingkan dengan jumlah sasaran dan modul pembelajaran yang akan dikembangkan.
Faktor sosial budaya menyebabkan rendahnya laju penurunan angka buta aksara khususnya pada penduduk usia tua dan penduduk perempuan. Penurunan jumlah penduduk buta aksara lebih cepat pada kelompok usia muda dibandingkan kelompok usia tua. Keadaan tersebut terjadi mengingat kelompok usia tua atau yang sudah tidak produktif kemampuan keaksaraan kurang berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan hidupnya. Berbeda dengan kelompok usia produktif yang lebih mampu melihat manfaat dari kemampuan keaksaraan sebagai nilai tambah terutama dalam meningkatkan pendapatan mereka.
Pada saat yang sama laju penurunan angka buta aksara lebih cepat terjadi pada penduduk laki-laki dibanding penduduk perempuan. Hal ini diduga terjadi karena faktor sosial budaya juga masih dominan yang meletakkan perempuan untuk lebih banyak berperan dalam urusan domestik atau yang berkaitan dengan rumah tangga. Oleh karena itu mereka menjadi tidak dapat melihat manfaat kemampuan keaksaraan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keharusan mereka untuk keluar rumah untuk mengikuti pendidikan keaksaraan yang lokasinya tidak selalu dekat dengan tempat tinggalnya dan waktu yang juga tidak selalu sesuai dengan pekerjaan mereka di rumah. Faktor tersebut berpengaruh juga pada kinerja pendidikan berkelanjutan karena keengganan penduduk perempuan untuk mengikuti pendidikan luar sekolah.
Faktor internal lain yang berpengaruh adalah kondisi ekonomi penduduk. Meskipun sebagian besar pendidikan luar sekolah diberikan secara cuma-cuma, tetapi dalam pelaksanaannya peserta mungkin perlu mengeluarkan biaya yang bukan hanya biaya tidak langsung misalnya untuk transportasi tetapi juga forgone earning atau pendapatan yang hilang karena mereka harus meninggalkan pekerjaannya.
Sementara itu faktor eksternal adalah hal-hal yang berasal dari luar individu antara lain adalah (a) efisiensi pendidikan persekolahan terutama angka putus sekolah yang masih tinggi khususnya pada kelas I – III SD/MI yang menyebabkan anak menjadi buta aksara kembali dan (b) efisiensi pendidikan keaksaraan yang dipengaruhi secara langsung oleh terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana belajar termasuk tenaga kependidikan baik jumlah maupun kualitasnya.
Dengan jumlah sasaran PLS sebesar 75 juta orang dengan berbagai program dan kegiatan yang tersebar di lokasi pembelajaran yang sangat bervariasi, termasuk di daerah terpencil, daerah tertinggal/miskin, pada saat ini hanya didukung oleh 20 ribu tenaga kependidikan luar sekolah. Selain itu, mutu tenaga kependidikan PLS yang juga dituntut untuk mampu mengembangkan model pembelajaran secara kualitatif.
Dengan semakin kecilnya presentase penduduk buta aksara, sebaran tempat tinggal penduduk buta aksara sangat besar. Hal ini menyebabkan sulitnya pencarian sasaran untuk pelaksanaan program serta evaluasi dan monitoring hasil pendidikan keaksaraan fungsional.
MODEL PEMBERDAYAAN YANG DITAWARKAN
Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam mengatasi berbagai permasalahan pada Program PNFakan dilakukan berbagai kegiatan pemberdayaan seperti antara lain
- memperluas jangkauan layanan PAUD bekerjasama dengan instansi terkait dan masyarakat
- melaksanakan penghapusan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional untuk mengurangi buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan pengetahuan dasar, serta keterampilan
- menyelenggarakan program Paket A setara SD dan Paket B setara SMP dalam rangka mendukung Wajar Dikdas 9 Tahun dan pendidikan dasar untuk orang dewasa serta Paket C setara SMA secara berkualitas
- meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS (penilik, tenaga lapangan dikmas, pamong belajar, tutor dan penyelenggara kelompok belajar, PAUD dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
- melanjutkan pembinaan dan perluasan pendidikan masyarakat yang diarahkan pada perluasan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan melalui Kelompok Belajar Usaha (KBU), pemberian beasiswa/magang dan pelatihan keterampilan dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender
- memberikan dukungan terhadap lembaga PAUD melalui sosialisasi dan pelaksanaan program
- meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap program dan lembaga UPT PLS seperti Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), BPLSP, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), kursus-kursus dan lembaga PLS lainnya
- melaksanakan kerjasama dengan berbagai instansi/lembaga terkait dalam pelaksanaan program PLS; dan
- melaksanakan supervisi, evaluasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan program serta pemetaan sasaran dan potensi PLS secara akurat, tepat waktu dan terkini untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan program PLS
Pemaknaan pemberdayaan selanjutnya seiring dengan konsep good governance. Konsep ini mengetengahkan ada tiga pilar yang harus dipertemukan dalam proses pemberdayaän masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, swasta dan masyarakat..Akibat dari pemahaman hakikat pemberdayaan yang berbeda-beda, maka lahirlah dua sudut pandang yang bersifat kontradiktif. Kedua sudut pandang tersebut memberikan implikasi atas pendekatan yang berbeda pula di dalam melakukan langkah pemberdayaan masyarakat. Pendekatan yang pertama memahami pemberdayaan sebagai suatu sudut pandang konfliktual. Pandangan kedua bertentangan dengan pandangan pertama. Jika pada pandangan pertama proses pemberdayaan mengakibatkan berkurangnya daya pada pihak yang berkuasa, maka sudut pandang kedua berpegang pada prinsip sebaliknya. Manakala terjadi proses pemberdayaan dari pihak yang berkuasa/berdaya kepada pihak yang lemah justru akan memperkuat daya pihak pertama. Di samping itu keyakinan yang dimiliki oleh sudut pandang ini adalah adanya penekanan aspek generatif., sudut pandang demikian ini popular dengan nama positive-sum.
Dalam perjalanan historis pembangunan bangsa Indonesia tampaknya sudut pandang pertama cukup dominan. Jika diamati dan hasil-hasil pembangunan yang sesungguhnya memiliki tujuan pemberdayaan masyarakat miskin/lemah telah memunculkan fakta dikotomis. Fenomena ketergantungan daerah-pusat, ketimpangan dan jurang pemisah antara kaya dan miskin, kesenjangan struktural, dominasi peran publik dan sosial antara laki-laki perempuan, merupakan pola-pola sub-ordinasi yang memberikan bukti bahwa adanya pandangan bahwa pemberdayaan dalam konteks pembangunan nasional selama ini berkiblat pada zero-sum. Itulah mengapa selama ini juga terjadi tarik ulur antara pusat dan daerah, penguasa dan pihak yang dikuasai, sehinga kedepan pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan pendekatan dari sudut pandang positive-sum sangat penting untuk dipertimbangkan. Mengingat model pemberdayaan pada pendidikan luar sekolah banyak ragam dan sasaranya sehingga model kerja sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dengan pendekatan positive-sum sangat cocok untuk program-program pemberdayan PLS dimasa yang akan datang.
Tinggalkan Balasan