Inilah sepucuk kata dalam bingkai yang dirasa. Pada Tuhan yang memberikan nikmat. Pada bintang yang menyalakan sinar di tengah gelapnya malam. Hari itu, selembar tiket kereta api terpegang di tangan. Sebuah nama terpampang, dan aku masih tidak percaya akan melakukan perjalanan panjang untuk pertama kalinya. Sebuah perjalanan impian walau dalam kesendirian. Kereta api telah datang dan aku masuk, mencari tempat duduk yang sesuai. Sesampainya, aku masih sendirian. Hingga rombongan lelaki yang terlihat seperti mahasiswa duduk di samping juga di depanku. Sambil nafas yang tidak dapat dikontrol dengan baik, muka dengan penuh kekhawatiran, karena ada teman mereka yang tertinggal. Tak lama, bola mata itu menuju pandanganku. Aku melempar senyum, sebagai tanda keramahan karena sejak kecil pun sudah diajarkan oleh ibu tersayang.
“Nak, ramahlah terhadap siapapun. Jangan kau pasang muka masam, atau kau akan menyesal di hari kemudian.”
Duduk termenung di depan jendela kaca yang masih belum terlihat apapun. Hanya kilasan bangunan stasiun yang tampak jelas dan kami lewati. Tuutt…tuuttt…tuutttt… Barat menuju Timur. Suara kereta api dengan kepulan asap terdengar terlihat, dan terbuka mata sang mentari pagi telah menyapa. Menyusuri tanah Sunda di kilau titik cahaya dan tanah Jawa di hangatnya sinar yang lebih besar dari rembulan.
Sinar kuning dari balik pepohonan berusaha mencari celah. Meninggi hingga menampakkan diri seutuhnya. Pancaran kehangatan setelah melalui angin dingin dari dalam maupun bawaan dari luar. Bersyukur diri ini.
Pohon dengan batang kokohnya. Hamparan hijau sawah dan rumput yang begitu sejuk. Kambing-kambing terlihat kecil nan imut. Awan putih halus terlukis. Langit biru nan cerah. Memesona mata. Tak henti bibir ini berucap pada alam raya lukisan Sang Pencipta.
Subhanallah. Alhamdulillah. Allohu Akbar.
Sendiri ternyata tidak menakutkan seperti yang dikira. Sendiri menjadikan kita seseorang yang bermakna. Namun, jika selamanya sendiri… itu patut dipertanyakan, apalagi menginjak usia yang lebih dari kepala dua. Harus segera dibawa ke sebuah altar bernama pelaminan.
***
Kediri, tempat singgah pertama dalam perjalanan panjang ini. Kerudung merah telah menanti sesaatnya aku keluar dari stasiun. Kendaraan roda dua terparkir dan dinyalakan tanda kami bergegas menuju kota tujuan. Udara panas tidak menjadi halangan untuk melanjutkan perjalanan yang baru dimulai. Terik matahari langsung mengena pada kami. Bangunan antik dan modern bersatu padu, guna meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Sepanjang perjalanan, hampir tak ada sampah berserakan di pinggir jalan. Semuanya rapi walau terdapat proses pembangunan. Seketika itu, aku takjub dengan hadirnya tugu megah nan mewah layaknya di tanah Eropa.
Simpang Lima Gumul. Simpang perjalanan di salah satu sudut Kabupaten Kediri.
Kami parkirkan kendaraan di tempat khusus yang tidak jauh dari tugu tersebut. Kemudian berjalan menyusuri lorong bawah tanah, sehingga kami tidak perlu terserempet oleh kendaraan-kendaraan yang melaju kencang.
Lorong bawah tanah yang modern. Tidak gelap apalagi pengap. Sebagian photo-photo tentang Kediri terpampang di tembok. Tanda bahwa kita tidak boleh melupakan sejarah.
Simpang Lima Gumul. Eksotis kemegahan gaya Eropa rasa Nusantara. Entah siapa yang memulai. Sejarah yang berbicara sebagai bukti bahwa semua ini bukan rekayasa. Tetapi hadir karena suatu sebab. Apapun, akhirnya aku menemukanmu tepat di depan mata. Bukan lagi di layar kaca.
Mengantri untuk berphoto….
Aku abadikan bersama sahabat kerudung merah dalam jepretan kamera sederhana. Banyak orang mengincar kata Kediri sebagai tanda bahwa mereka telah menginjak kaki di tanah tersebut.
Simpang Lima Gumul – Kediri Lagi
***
Aku dan sahabatku melanjutkan perjalanan panjang.
Mendaki gunung lewati lembah…
Sungai mengalir indah ke lautan…
Bersama teman bertualang…
Seketika aku bersenandung. Ya. kami melewati hutan yang sangat panjang. Pohon-pohon tinggi berdiri dengan kokohnya walau diterpa angin kencang. Kondisi alam yang masih asri dan hijau. Nampak air terjun kecil dari kejauhan. Inilah ciptaanMu, yang masih terjaga kelestariannya. Kerusakan alam? Seperti tidak terdengar sepanjang jalan. Semoga bukan hanya untuk saat ini namun juga terjaga sampai di akhir penantian kehidupan.
Garis pada jam tangan telah menunjukkan pukul 13.05 WIB. Bukannya lurus sesuai petunjuk arah, tetapi kami berbelok untuk istirahat sejenak melaksanakan ibadah kepada Sang Pencipta di Mesjid Agung An Nuur.
Air membasahi kulit, terasa menyejukkan dan menghilangkan penat setelah perjalanan. Kain hijau dikenakan, berserah diri sujud menghadap Ilahi. Hantaman air kecil nan halus dari langit membasahi bumi. Sesaat berhenti setelah sinar matahari menyapa kembali. Walau awan gelap masih mendampingi.
Kami urungkan niat untuk langsung berjalan. Tetapi, menikmati dahulu tempat di depan yang penuh kicauan dan sejuk pada pandangan. Ya… alunan lagu terdengar sejak kami hendak menyebrang. Di sudut kanan depan terdapat lingkaran kokoh dengan kotak berwarna-warni. Lingkaran yang mungkin saja, aku dan sahabat bisa melihat indahnya kota ini. Namun sayang, lingkaran itu hanya diam manis tidak bisa berputar. Di arah depan, terdapat kumpulan batu putih kecil membentuk lingkaran dan menjadi pijakan. Di sebelah sudut kiri terdapat binatang sapi raksasa. Wah sapi raksasa di taman? Bagaimana mereka sampai kesini? Oh.. oh… oh… Sapi tersebut tersenyum namun tak bergerak. Sapi tersebut bukanlah binatang asli yang bisa mengeluarkan suara dan mengeluarkan susu sebanyak yang dia mau. Sapi tersebut adalah sebuah replika yang dihias sebagai tanda bahwa kota ini penghasil susu sapi yang sangat segar dan dapat dikonsumsi banyak orang. Selain itu, lingkaran-lingkaran pijakan dengan nyalanya air seperti air mancur. Sungguh segar. Terasa dihujani percikan-percikan yang menentramkan. Dan di arah depannya, terdapat lingkaran kolam namun tak terlihat ikan. Entah sedang bersembunyi malu, atau memang tiada penghuni di kolam itu. Tetapi di satu sisi, kami melihat tanda bahwa nama tempat ini adalah Alun-alun Batu.
Sebuah kota yang berdedikasi menjadi Kota Wisata,
Sebuah kota yang berdedikasi menjadi Shining Batu
***
Lebih kurang 4 jam perjalanan sampai tempat tujuan. Ku lihat sebentar lagi, tempat itu kan kulihat. Namun, beban di punggung harus dikondisikan, sehingga aku beristirahat di tempat sahabat. Inginnya aku istirahat sebentar. Tetapi tubuh sepertinya tahu, semuanya ingin adil. Bahwa 4 jam perjalanan membutuhkan waktu 4 jam kembali agar semua menjadi optimal.
Satu jam kemudian,
Bergegas mengajak sahabat untuk menikmati malam pertama di kota impian. Malam yang sangat hangat walau sudah menunjuk pukul 20.39 WIB ketika kami keluar. Malam dimana kemewahan gedung dan jalan terhiasi oleh lampu yang menyala. Malam dimana akhirnya aku bertemu kembali dengan secangkir kopi hangat. Eh, maksudnya bertemu dengan orang-orang hebat. Lama tak berjumpa, simpul senyum tergambar pada muka. Jabat tangan kehangatan dan tanya kabar kesehatan serta bagaimana perjalanan. Kemudian, duduk di kursi berlapiskan kayu dan kain pada lantai atas, lantai dua. Dekorasi masa kini pada dinding yang menjadi tempat favorit untuk mengabadikan diri atau bersama. Semilir angin di malam ini, mengungkap beragam percakapan. Percakapan perkuliahan, percakapan organisasi, percakapan masa kini, dan kadang percakapan masa silam terangkat, sehingga gelak tawa muncul kenapa hal tersebut terjadi. Percakapan kini dan esok pun tidak terlupakan. Ada misi yang harus dilakukan sehingga butuh kerjasama antara hati dan pikiran kita semua. Nyala hanphone menunjukkan waktu 23.36 WIB. Tidak terasa kami berlima betah duduk lama di tempat yang nyaman ini. – Dolor Dewe
***
Sinar terang menyala dari luar rumah, tanda pagi penuh suka cita ……..