Pendahuluan
Keterbukaan dalam mengelola pemerintah adalah salah satu indikator menuju good governance. Masyarakat sebagai objek dalam pemerintah mempunyai hak konstitusional (UUD 1945 pasal 18 ayat f) untuk mendapatkan Informasi tentang perencanaan, pengelolaan dan hasil dari pelaksanaan kepemerintahan. Hak ini digunakan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial serta untuk ketahanan nasional.
Dengan berlandaskan pada keinginan untuk lebih memperbaiki tata kelola pemerintah yang lebih partisipatif dan demokratis maka di keluarkan uu no. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi publik yang mengatur tentang bagaimana masyarakat mendapatkan Informasi, bagaimana kewajiban badan publik dalam mengumpulkan dan mempublikasikan informasi kepada publik, serta siapa pejabat yang berwenang dalam hal pengumpulan dokumentasi dan informasi serta yang bertugas dalam menyelesaikan sengketa permohonan informasi.
Adapun tujuan yang diinginkan dengan adanya UU Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana tertulis dalam pasal 3 adalah :
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Agar undang undang ini dapat dijalankan secara maksimal maka dibentuklah sebuah lembaga mandiri yang disebut dengan komisi informasi, baik di tingkat pusat, provinsi dan kalau dibutuhkan dibentuk ditingkat kabupaten/ kota (UU No.14 Tahun 2003).
Dengan dalih semangat mendukung UU KIP ini maka DPRD Provinsi Banten mencoba memakai hak inisiatifnya dalam membuat rancangan peraturan daerah tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam kerangka otonomi daerah. Untuk sebuah wacana baru penguatan pelayanan publik, maka hal ini haruslah diapresiasi dengan baik. Namun pembentukan Perda juga harus berdasarkan dari kebutuhan publik dan peraturan perundangan undangan yang berlaku serta berdasarkan asas efisien dan efektifitas.
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (Wikipedia.org)
Pembuatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan penjabaran lebih lanjut tentang UU Keterbukaan Informasi Publik. Secara hirearki hukum Perda berada di bawah UU. Hal ini secara gamblang menjelaskan bahwa Perda digunakan untuk menutupi beberapa hal hal umum yang harus dijabarkan dalam konteks otonomi daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut, jika UU sudah jelas mengatur, maka tidak diperlukan peraturan daerah atau peraturan yang lain untuk mengatur hal yang sama, dan juga berarti bahwa aturan aturan dalam Perda akan dibatalkan apabila bertentangan dengan UU atau peraturan di atasnya sesuai hierarki.
Perlukah Banten Mempunyai Perda Keterbukaan Informasi Publik?
Dalam permasalahan keterbukaan informasi publik, provinsi Banten sudah mempunyai catatan sebagai salah satu provinsi yang menjadi pionir tentang keterbukaan informasi dengan hadirnya komisi transparansi publik (KTP) di kabupaten Lebak. kabupaten ini telah menjadi pusat studi daerah dalam proses membangun daerah yang Transparansi dan Partisipatif dan menjadi salah satu kabupaten yang transparans dari 9 kabupaten/kota (versi tempo).
Pembentukan komisi informasi provinsi juga tidak terlalu telat, pasca ditetapkannya UU KIP provinsi Banten menjadi provinsi ke 5 di Indonesia yang membentuk komisi informasi, dengan melihat prestasi tersebut tanpa menimbang beberapa permasalahan dan kekurangan yang lain, maka dapat dibilang bahwa itikad pemerintah provinsi Banten sudah cukup baik dalam hal tata kelola pemerintah yang transparan.
DPRD Provinsi Banten tidak mau kalah untuk menunjukkan keseriusannya dalam isu ini. Akselerasi dan inovasi baru untuk memperkuat dan memperjelas tentang keterbukaan informasi publik dicoba dilakukan dengan merancang perda tentang keterbukaan informasi publik. Namun ternyata semua ini menjadi semu jika pemahaman anggota legislatif masih terkesan setengah setengah tentang UU Keterbukaan Informasi Publik.
UU Keterbukaan Informasi Publik telah mengatur hak dan kewajiban pemohon serta badan publik, klasifikasi informasi, mekanisme permohonan informasi, penyelesaian sengketa, ketentuan pidana dan mekanisme pembentukan serta tata kerja Komisi Informasi (Pusat, Provinsi, Kabupaten/ kota) sebagai mandataris UU ini.
Adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi Dan Dokumentasi Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintahan Daerah, Peraturan Komisi Informasi (Perki No. 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, dan Perki No. 2 tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa) ditambah dengan Peraturan Gubernur Banten No. 16 tahun 2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi Publik dan Dokumentasi di Lingkungan PemProv Banten, nyaris kebutuhan dan kemungkinan kemungkinan yang terjadi dalam pelaksanaan UU KIP sudah dengan jelas bagaimana aturan mainnya.
Melihat dari fungsi Perda sebagaimana yang telah ditulis di atas, maka Perda tentang Keterbukaan Informasi Publik haruslah berfungsi sebagai penjelas hal hal yang dirasa umum dalam UU KIP dan melihat kebutuhan daerah yang tidak tercantum di dalamnya.
Jika UU KIP dibedah kembali, Perda diperlukan pada pasal pasal yang umum dan perlu penyesuaian seperti pada Pasal 28 tentang Pertanggungjawaban dan Pasal 29 tentang Sekretariat dan Penatakelolaan Komisi Informasi.
UU KIP Pasal 28 ayat 2 berbunyi “komisi informasi provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi yang bersangkutan . Laporan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang tidak dijelaskan secara lebih rinci, hal ini seharusnya dapat lebih dijelaskan oleh Perda dengan merincikan isi dari laporan tersebut, seperti dalam hal administrasi, keuangan dan tata kelola Komisi Informasi. Dalam pasal ini juga tidak dicantumkan bagaimana teknis penyampaian laporan, apakah dengan lisan ataukah hanya berbentuk laporan tulisan, dan bagaimana standar penilaian dari laporan tersebut, serta konsekuensi yang diberikan terhadap pertanggungjawabannya.
Pada pasal 29 ayat 1 berbunyi “Dukungan administratif, keuangan, dan tata kelola Komisi Informasi dilaksanakan oleh sekretariat komisi. sedangkan pada ayat 2 berbunyi “Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah dan pada ayat 4 berbunyi “Sekretariat Komisi Informasi provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informasi di tingkat provinsi yang bersangkutan. Dalam penjelasannya pada ayat 1 disebutkan bahwa, ““Pejabat pelaksana kesekretariatan adalah pejabat struktural instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya di bidang komunikasi dan informatika sesuai dengan peraturan perundang ¬undangan . Titik kurang jelasnya pada pasal dan ayat tersebut adalah tidak adanya penjelasan tentang syarat kepangkatan dan kepegawaian bagi pejabat pelaksana kesekretariatan yang tidak lain merupakan pegawai negeri sipil. Pasal ini memerlukan penjelasan agar tidak terjadinya kesenjangan yang terlalu jauh antara sekretariat dengan termohon serta keseriusan dalam merekrut sekretariat yang memiliki integritas tinggi sehingga pelaksanaan administratif, keuangan dan tata kelola Komisi Informasi dapat berjalan dengan lebih maksimal, dengan efektif dan efisien.
Jika rancangan peraturan daerah yang akan diputuskan menjadi peraturan daerah tidak mencakup bahkan menyinggung masalah ini, maka perlu dipertanyakan darimanakah analisis kebutuhan rancangan peraturan ini? Dan apakah peraturan daerah yang dimaksud sudah mengakomodir kebutuhan publik agar semakin prima pelayanan publik dalam hal keterbukaan informasi.
Tumpang Tindih Serta Bias Dalam Raperda KIP Provinsi Banten
Membaca draft tentang Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang Keterbukaan Informasi Publik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Provinsi Banten yang diusulkan oleh DPRD Provinsi Banten membuat beberapa catatan masukan yang juga menjadikan pertanyaan tentang urgensi kebutuhan dari terbitnya rencana peraturan daerah ini.
Sebuah Perda yang baik setidaknya harus mencakup beberapa asas seperti di bawah ini :
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
(UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5)
Namun sangat disayangkan dalam raperda yang telah disusun oleh DPRD Provinsi Banten terlihat bahwa banyak asas yang dilanggar. Dimulai dari kejelasan tujuan pembentukan Perda yang tidak jauh berbeda dengan tujuan dari UU KIP, materi muatan yang tidak berbeda jauh dengan UU KIP —bahkan terkesan hanya memindahkan pasal pasal dari UU KIP dan merubah sedikit redaksi namun tidak substantif, terlihat dari materi muatan yang persis dengan UU KIP tanpa ada perubahan bahkan dari susunan pasal per pasal—.
Dalam hal redaksi ada perbedaan yang sangat mencolok antara redaksi di UU KIP dengan Raperda KIP Provinsi Banten. Sebutan untuk lembaga pelaksana UU KIP adalah Komisi Informasi, sedangkan dalam Raperda KIP Provinsi Banten tertulis Komisi Informasi Publik. Pertanyaannya adalah, apakah DPRD ingin membuat sebuah lembaga baru namun bertugas sama dalam melayani publik terkait informasi?
Perbedaan selanjutnya adalah pada mandat yang diberikan. UU KIP dengan jelas mengatakan bahwa Komisi Informasi (Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota) adalah lembaga yang menjalankan UU KIP. Namun pada raperda ini tertulis bahwa Komisi Informasi Provinsi (yang tertulis dalam draft adalah Komisi Informasi Publik Provinsi Banten) adalah lembaga mandiri yang menjalankan Peraturan Daerah. Maka dapat terlihat bahwa ada pembiasan serta tidak sesuai dengan UU KIP yang memiliki hierarki di atasnya.
Pembahasan tentang sekretariat dan penatakelolaan terkesan hanya sebagai pelengkap saja. Klasifikasi Eselon II/a bagi sekretaris Komisi Informasi juga tidak diberikan penjelasan dan alasan kenapa golongan Eselon II/a yang dipilih menjadi standar minimal. Kewajiban pertanggungjawaban juga tidak diperjelas dan hanya disesuaikan dengan UU KIP saja.
Penutup
Perda Inisiatif tercederai dengan kurangnya pemahaman serta pengetahuan tentang pembuatan Perda dan kebutuhan muatan materi yang perlu dibahas. Ketidakjelasan Raperda KIP sebagai sebuah peraturan yang menjabarkan lebih lanjut peraturan perundangan di atasnya (UU KIP). Seyogyanya perda yang dibuat bisa menjelaskan aturan yang memang belum dijelaskan secara spesifik oleh peraturan diatasnya. Para pihak yang menyusun Perda ini perlu bertanggungjawab dan seyogyanya banyak mempelajari hal perlu diatur secara teknis oleh UU KIP dan peraturan-peraturan dibawahnya . Sehingga meminimalisir anggapan publik bahwa penyusun regulasi ini hanya proyek semata atau hanya mengejar target membuat regulasi dan publik akan sangat apresiasi jika uang yang telah mereka berikan dipake untuk menyusun regulasi yang berorientasi pada pembangunan Banten dan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Jika Raperda ini dipaksakan untuk menjadi sebuah peraturan daerah, maka tidak menutup kemungkinan, publik melakukan judicial review kepada Mahkamah Agung terkait dengan raperda KIP Provinsi Banten yang “cacat dan bertentangan dengan UU KIP yang dalam hirarki hukum berada di atas perda, sehingga tidak ada lagi wajah otoritarian kebijakan di Bumi Banten yang kita cintai.
Panji Bahari Noor Romadhon
Penggiat Pattiro Banten
[email protected]
4:41, 27032012
Tinggalkan Balasan