Oleh:
Sjafiatul Mardliyah, S.Sos., M.A.
Dosen PLS UNESA
Setiap praktek pendidikan dimanapun adanya, tentu tidak akan terlepas dari paradigma (cara pandang) yang dipakai dalam sistem pembelajarannya. Kaum penjajah misalnya tentu mempunyai paradigma pendidikan yang disesuaikan dengan cita-cita dan tujuan mereka. Sehingga dalam praksis pendidikan mereka sangat tidak menginginkan lahirnya pemahaman kritis, sebab hal itu akan sangat berbahaya bagi eksistensi mereka. Di negara kita pun dapat kita jumpai berbagai macam (paradigma) yang dipakai oleh berbagai macam lembaga pendidikan yang sangat berbeda-beda.
Beberapa Paradigma Dalam Pendidikan
Sebuah penggolongan paradigma secara sederhana oleh Henry Giroux dan Aronowitz yang membaginya pada tiga kelompok yaitu konservatif, liberal & kritis.
Bagi paradigma konservatif ketidak sederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami yang mustahil bisa dihindari. Pendidikan tidak perlu bersusah payah untuk memperjuangkan perubahan social karena mereka yang bodoh, menderita, miskin, dsb adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri, atau mungkin juga sudah takdir Tuhan. Institusi pendidikan adalah sebuah alat untuk melanggengkan hubungan yang tidak sederajat ini. Paradigma ini biasa dipakai kaum penjajah atau kaum feodal yang “kolot”.
Paradigma liberal lebih moderat, menurut mereka memang ada masalah di masyarakat tetapi pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tradisi individualisme dan pengutamaan terhadap prestasi, keunggulan, kemampuan akademik adalah ciri-ciri mereka, dengan penekanan pada aspek kompetitifnya. Mungkin kategori inilah yang saat ini dipraktekan oleh pendidikan nasional kita, dengan fenomena banyaknya sekolah-sekolah unggulan, iming-iming beasiswa, hingga sistem belajar CBSA dll.
Berbeda dengan paradigma diatas adalah paradigma kritis yang baginya pendidikan harus menciptakan sikap kritis terhadap sistem dan dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk menciptakan sebuah sistem social baru yang lebih adil. Termasuk dalam kategori paradigma ketiga inilah konsep-konsep yang diajukan oleh Paulo Freire sebagai bentuk advokasi nyata pada rakyat tertindas dan terdzalimi.
Tinjauan Filosofis Eksistensi Manusia
Manusia hanya akan mengada didalam dunia apabila ia menjadi subyek. Manusia dilahirkan tidak seperti hewan yang hanya ada “di dalam dunia” tenggelam bersama dunia, beradaptasi dan tergantung pada lingkungannya. Manusia ada “bersama dunia”, ia mengada secara aktif dan mampu mengatur dunia, selalu berhubungan dengan dunia secara kritis. Dan hanya dengan demikianlah ia disebut sebagai manusia sebenarnya. Walaupun pemikiran semacam ini juga membawa dampak fatal seperti yang dialami Nietsche yang akhirnya berkesimpulan “God is Dead”, maka kita harus kesampingkan akibat negatif yang terlalu berlebihan ini. Posisi manusia sedemikian adalah sebagai Das Sollen yang seharusnya dimiliki manusia. Ternyata realitas berbicara lain. Murid sebagai manusia seharusnya diposisikan sebagai subyek dalam proses pendidikan dan bukan obyek. Dalam artian murid tidak harus menerima begitu saja kebenaran dari guru yang dipaksakan, dan murid tidak boleh dianggap bodoh secara mutlak.
Sistem Pendidikan Kita
Dunia kampus merupakan harapan besar kita agar tercipta sebuah proses pendidikan kritis yang mampu menciptakan suasana dialogis dalam arti yang sebenarnya tidak dalam situasi hegemonis dan dominatif seperti yang banyak terjadi dalam praktek pendidikan pada umumnya. Sangat menarik dalam hal ini bila kita mengutip pendapat Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa hingga saat ini sistem dan metode yang banyak dipakai di IAIN adalah lebih banyak mengikuti pada pendidikan gaya bank (The Banking Concept of Education) yang kurang memberi kesempatan pada pengembangan kualitas mahasiswa secara maksimal. Pola komunikasinya lebih bersifat satu arah dengan guru sebagai figure sentral.
Ciri-ciri konkret pendidikan gaya bank adalah :
1. Guru mengajar, murid diajar,
2. Guru mengetahui sesuatu dan murid tidak mengetahui apa-apa,
3. Guru berpikir dan murid dipikirkan,
4. Guru bercerita dan murid patuh mendengarkan,
5. Guru menentukan peraturan dan murid diatur,
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui,
7. Guru berbuat,murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya,
8. Guru memilih bahan pelajaran, murid tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan diri dengan pelajaran itu,
9.guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatannya yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid,
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar dan mengajar, murid hanya obyek belaka.
Penempatan murid seperti ini jelas tidak sesuai dengan kodrat manusia yang terlahir sebagai subyek yang harus mengada ke dunia secara bebas. Sebagai solusi dalam mengatasi penindasan yang telah masuk dalam lapangan pendidikan ini Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah (Problem Possing) sebagai jalan keluar. Konsep ini menempatkan guru dan murid sebagai subyek dalam sebuah proses pendidikan. Dan realitas dunialah yang dijadikan obyek. Tujuan pendidikan sebagai tabungan harus diganti dengan penghadapan pada masalah-masalah manusia dalam hubungannya dengan dunia. Kini pendidikan bukanlah lagi sebuah proses transfer ilmu dari guru dan murid, sebab keduanya kini bersamasama dalam suasana dialogis membuka cakrawala realita dunia. Dialog merupakan sarana yang harus ada dalam proses ini. Sehingga pendidikan menjadi tanggung jawab bersama guru dan murid. Proses dialog inipun tidak boleh menjadi proses yang hegemonis dan dominatif yang berpihak pada http://www.duniaguru.com – www.duniaguru.com Powered by Mambo Generated:11 March, 2007, 14:17
guru, namun haruslah menjadi sebuah motivasi munculnya kesadaran-kesadaran kritis baik dari guru ataupun murid khususnya. Sehingga proses ini akan senantiasa merefleksikan antara pengalaman murid dan guru. Di sini guru menyajikan pelajarannya kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka dan menguji kembali pemikirannya terdahulu ketika murid mengemukakan hasil pemikirannya sendiri. Peran pendidik disini adalah bersama-sama dengan murid menciptakan pengetahuan sejati yang tidak bersifat dogmatis. Murid disini diusahakan dapat mengungkapkan segala sesuatu dengan bahasa mereka, pendapat mereka, sebagai sebuah proses yang selalu menjadi dan belum selesai. Karena manusia adalah makhluk yang terus manjawab tantangan realitas dunia agar ia dapat mengada dengan sejati, dan bukan diatur, ditentukan atau didikte orang lain. Konsep yang kedua ini tentu akan menghasilkan murid yang mampu memandang dengan kritis terhadap dunia, mampu berpikir bebas yang dengan demikian akan berpandangan optimis terhadap dunianya. Sebaliknya pendidikan gaya bank akan menghasilkan murid-murid yang berpandangan fatalis terhadap dunianya. Ia akan menjadi orang bentukan yang harus tunduk pada aturan-aturan yang sesungguhnya bisa jadi diciptakan segelintir manusia demi kepentingan mereka.
Belajar efektif
Idealnya para mahasiswa (murid) harus dilibatkan secara aktif dalam proses pendidikan dalam arti yang komprehensif. Sejak penyusunan kurikulum, penentuan proses pengajaran, bahkan guru yang yang tidak disenangi seharusnya tidak bisa dipaksakan untuk mengajar. Dengan demikian proses pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan bukan monopoli para “penguasa” pendidikan. Karena boleh jadi apa yang disampaikan kepada murid tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Para siswa di kampung nelayan misalnya mereka tidak lagi perlu belajar cara penanaman padi yang baik, sistem irigasi dsb. Mereka lebih butuh pada bagaimana cara menangkap ikan yang efektif. Kalaulah demikian paradigma yang kita pakai maka murid juga harus secara aktif mengada dalam kapasitasnya sebagai subyek dalam pendidikan. Maka diperlukan cara belajar yang tidak lagi menghafal, mengulang apa saja yang dikatakan dosen, seperti robot yang diisi informasi. Sebaliknya mahasiswa harus secara aktif mencari apa yang akan dijadikan kajian, bagaimana pendapat saya, dan saya tidak harus mengekor pendapat orang, termasuk guru.Walaupun tidak berarti kita menolak kebenaran.
Diakui atau tidak, bentuk pendidikan kritis cenderung untuk disalah artikan pada tataran negatif. Demi alasan demokratis, kebebasan intelektual dan seribu alasan lain, ada yang lalu seolah menghalalkan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang masuk dalam lingkungan akademis kita. Sungguh amat disayangkan jika dengan alasan yang suci mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas. Pola berpikir kritis tidak harus meninggalkan kehormatan kita pada kaum intelektual (guru), almamater, atau siapa saja yang seharusnya pantas untuk dihormati.
Sumber:sekolahindonesia.com
artikel yang bagus. ijin untuk dipergunakan sebagai sumber.
artikel yang bagus. ijin untuk dipergunakan sebagai sumber