Sebuah Coretan Kecil Mahasiswa PLS Tentang Jurusan PLS (Part 1)
Beberapa waktu yang lalu di web imadiklus.or.id muncul sebuah postingan yang cukup mencengangkan dan mengejutkan bagi saya pribadi,di postingan tersubut berjudul “Tutup saja jurusan PLS, Kasihan adik2 yang lain”. Postingan tersebut telah menjadi(lagi) trending topic PLS dalam beberapa minggu ini di dunia maya. Kita semua tahu dan kita semua paham betul apa yang menjadi kekhawatiran kita terkait jurusan ini. Memang, sampai ini belum ada salah satu frasa ataupun kalimat yang bisa membuat kita lega akan jadi apa lulusan PLS ini.
Beberapa pertanyaan yang kerap muncul dalam komentar-komentar dan umpatan-umpatan kecil dalam sepak terjang jurusan ini adalah : Mau jadi apa lulusan PLS?Tutor? Pamong? Penilik? Guru? Pengelola PKBM? Dan yang perlu digaris bawahi dalam pertanyaan tersebut adalah bagaimana kompetensi lulusan PLS?Ironisnya tidak ada jawaban yang pasti untuk dapat direnungkan dengan hati dan pikiran yang hakiki. Jangankan mahasiswa, dosen serta lembaga terkait dengan PLS sendiri pun tidak bisa memberikan jawaban yang pasti tentang lulusan PLS. Seolah olah lulusan PLS adalah momok yang paling menakutkan dalam perkembangan karir di dunia pendidikan.
Tidak ada yang perlu menjadi kambing hitam dalam realita lulusan ini. Karena pada hakikatnya kita semua harus bertanggungjawab kepada jurusan yang sudah membuat kita seperti ini. Masih segar dalam ingatan saya perkataan dosen bahwa pendidikan luar sekolah sebagai subsistem pendidikan nasional, mencakup pula bentuk-bentuk pendidikan lainnya sepanjang pendidikan tersebut diselenggarakan di luar jalur (subsistem) pendidikan sekolah yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat diperoleh dalam jalur pendidikan sekolah. Selain itu dalam ceramah dosen saya tersebut menerangkan bahwa tenaga PLS yang profesional memiliki ciri-ciri: dapat mendidik, membentuk, mengelola dan mengembangkan satuan pendidikan, mengenal kebutuhan belajar calon peserta didik, dapat mempertemukan peserta didik dengan sumber belajar, berkepribadian, dan memiliki komitmen dan perhatian terhadap perkembangan peserta didik. Seketika moral kita sebagai mahasiswa kian terangkat dengan ceramah tersebut, namun apa yang terjadi ketika idealisme tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan?Sebagian besar lulusan PLS tidak bangga akan almamaternya dan merasa sakit hati dengan pilihan yang dia pilih. Sampai-sampai memprovokasi adik-adik tingkatnya untuk singgah ke jurusan lain daripada menghuni jurusan yang belum bisa menjamin masa depan yang akan ditempuhnya. Disisi lain banyak sekali lahan PLS yang diembat oleh orang2 yang bukan berasal dari jurusan PLS namun kita sebagai orang PLS terus menuntut kesejahteraan dan pekerjaan yang layak demi masa depan.
Sahabat,perlu kita pahami bahwa banyak mitra kerja pendidikan luar sekolah namun tidak banyak orang yang tahu persis bahwa cara kerjanya sama dengan pendidikan luar sekolah. Berdasarkan pengalaman para pendahulu dan senior PLS, selama periode orde baru sarjana pendidikan luar sekolah diterima dan diangkat sebagai pekerja pada berbagai Kantor Dinas/Badan seperti: Dinas Pendidikan (Bidang PAUDNI, BPPNFI, SKB), Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian, BKKBN, Badan Diklat dan berbagai instansi pemerintah lainnya. Sedangkan guru sarjana PLS disiapkan mengajar mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi untuk jurusan IPS. Tidak ada yang namanya ekpresi dan emosi yang berupa keluhan dan kegalauan para sarjana tersebut seolah olah sarjana PLS sudah mendapatkan ”rumah” dalam jenjang karier mereka. Berbeda dengan masa sekarang, betapa sulitnya para sarjana PLS menyambung hidup untuk berkarier di instansi pemerintahan dan tidak sedikit keluhan para sarjana terhadap relevansi jurusan PLS ini.
Kehadiran nama yang berubah-ubah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, disertai lajunya reformasi yang kebablasan, membuat lapangan kerja sarjana PLS jadi sedikit terhambat. Hal ini tidak lain, pihak pemerintah dalam perencanaan pegawainya tidak terlalu banyak melihat tupoksi kesarjanaan yang ingin diterima. Sehingga membuat lapangan kerja sarjana yang berdasarkan tupoksinya jadi tidak muncul ke permukaan. Dengan lajunya era reformasi dewasa ini, membuat perencanaan PNS kita sering tidak melihat tupoksi sarjana. Akibatnya sarjana yang dipekerjakan seakan-akan asal-asalan.
Sungguh menyedihkan, jikalau bidang pendidikan nonformal dan informal, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menjauhi terhadap jurusan PLS, tentu akan menjadikan ketidakharmonisan. Karena program dari pusat yakni: Dirjen PAUDNI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berkali-kali berubah. Sepertinya tidak ada pendirian. Perubahan nama sekarang sudah pertanda PLS bakal ditinggalkan. Karena kelompok yang kurang setuju dengan PLS lebih mudah melepas profesi PLS dari Dirjen ini. Ini sebuah wahana buruk bagi masa depan PLS. Apa lagi kalau Dirjen PLS diberi nama Dirjen PAUDNI. Jelas tidak ada hubungan antara Jurusan PLS dengan PAUDNI, Yang ada hanyalah kepentingan birokrasi yang telah menodai makna dan filosofi dari pendidikan luar sekolah. Apabila hal ini tetap terjadi mau tidak mau PLS harus berputar haluan agar tidak menjadi virus yang menggerogoti sistem pendidikan di Indonesia.
Ada cemoohan mahasiswa, kenapa bidang PLS tidak diduki oleh orang yang sarjana PLS. Anggapan mereka jika orang-orang yang bekerja dibidang PAUDNI ditempatkan mereka yang cocok kesarjaannya (PLS), dan bukan asal pasang kesarjanaan itu, maka perkembangan PAUDNI di Provinsi dan Kabupaten/Kota tentu jauh lebih baik dari masa sekarang. PAUDNI sebenarnya adalah pekerjaan teknis, dan beda sekali dengan bidang lain. Namun pada kenyataan pada bidang PAUDNI ini, tidak semua orang tahu apa onderdil PLS itu. Jika di tempatkan orang-orang yang bukan ahlinya, dan semata-mata mencari jabatan belaka, maka tunggu kehancurannya. (yab)
Tinggalkan Balasan