Oleh : Inggar Saputra
Disadari atau tidak, pemerintah menciptakan sebuah kastanisasi pendidikan. UN sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan menciptakan potensi itu. Bagaimana tidak, proses belajar mengajar selama empat tahun, ditentukan tiga hari pelaksanaan UN. Tak pelak, kontroversi menghapus UN menjadi isu pokok para penggiat pendidikan.
Masalah UN bagaikan buah simalakama bagi pemerintah. Sebab UN melahirkan banyak dampak negatif sehingga layak dipertanyakan. Repotnya pemerintah tak mau ambil peduli dan tetap jalan terus. Ketika pelajar gagal menjalankan UN, mereka “dipaksa menempuh jalur belakang. Kondisi ini membuat pendidikan non formal sebagai pendidikan kelas dua. Bagi kalangan pendidikan non formal, UN menyisakan dua masalah.
Pertama, pendidikan non formal makin temarginalkan. Pelajar yang gagal mengikuti UN “dipaksa banting setir. Mereka harus mengikuti ujian kesetaraan untuk lulus sekolah. Dampaknya, pendidikan non formal dicitrakan sebagai pendidikan kelas dua. Pendidikan paket tak menjadi pilihan, melainkan sekedar “sarana buangan pelajar gagal UN.
Kedua, UN melahirkan produk manusia cerdas bukan terampil. Orientasi pendidikan formal selama ini hanya menciptakan manusia cerdas. Tapi gagal menghasilkan manusia terampil, persis seperti kritik Ratna Megawangi dalam buku Pendidikan Holistik. Produk manusia cerdas menjadikan kecerdasan sebagai dewa.
Nuansa berbeda ditemukan dalam pendidikan non formal. Hasil akhir pendidikan jenis ini menciptakan manusia cerdas terampil. Herannya pemerintah masih memandang sebelah mata. Citra yang ditampilkan pendidikan kesetaraan untuk mereka yang buta huruf. Pengaburan persepsi terjadi dan manusia cerdas terampil terlupakan.
Akhirnya penulis berharap pemerintah menghentikan kastanisasi pendidikan, perbaikan citra PNF dan tidak terus menerus memproduksi manusia cerdas belaka. Kita perlu belajar dari pengelolaan pendidikan di Jepang. Negeri matahari terbit mencetak 85% manusia terampil dan menyisakan kuota 15% manusia cerdas. Mudah mudahan energi bangsa ini, tidak habis untuk memikirkan dan mencetak manusia cerdas saja.
Jakarta, sehari setelah merdeka.
Semoga Pendidikan Indonesia secepatnya merdeka
pendidkkan LUAR SEKOLAH kan udah di ganti PNFI kalau saya bleh komentar kenapa kok tidak disesuaikan dengan UU No.20/2003 sisdiknas ……… kan enak Pendidikan Nonformal atau Pendidkan Nonformal dan InformalMISALNYA Ikatan Mahasiswa Pendidikan Noformal-Informal ( IKMA PNFI), IKAMA PNFI hanya usul sih biar sesuai dengan undang-undangnmya…….ini hanya komentar lho….
Gapapa pak…Tapi kan kami gak bisa melangkahi Universitas yang masih memakai jurusan pendidikan luar sekolah…Mungkin memang bisa seperti ikatan calon dokter indonesia,,,tapi itu kan sudah profesi.
oke dech… trims
terimakasih yah pak atas masukannya…:-)
usulnya bagus tuh nji…tapi mesti nego ama yang laen deh…apalagi ama pak admin kan gak seru juga kalo fb dan web imadklus ganti2 nama 🙂
bayangan saya agak susah ketika nama jur. jg masih pls..tp memang harus jd prtimbangan wat birokrat kampus..
MAU TIDAK MAU KAMPUS HARUS SEGERA MENGGANTI NAMA JURUSAN TERSEBUT saya pikir tidak sulit untuk merubah nama jurusan itu KARENA DASAR PNF / PNFI itu adal Undang-Undang Sisdiknas….
Ketua Dpd Hisppi Jatim ada sedikit cerita pak dihttp://imadiklus.or.id/pls-dan-pnf/danhttp://imadiklus.or.id/jurusan-pendidikan-luar-sekolah-vs-otonomi-daerah/