Kategori: Kebudayaan

  • Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Berbasis Komunitas Secara Konseptual

    Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Berbasis Komunitas Secara Konseptual

    Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Berbasis Komunitas Secara Konseptual Melihat konsep pemberdayaan masyarakat di desa ini semakin luas, maka diperlukan adanya pembahasan mendalam mengenai pemberdayaan masyarakat di desa berbasis komunitas ini dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana implementasi pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas ini diselenggarakan dan bagaimana hasilnya.

    Metode Penelitian

    Pada kajian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode atau jenis penelitian studi kepustakaan (Library Research). Sarwono menyampaikan studi Pustaka adalah sebuah kegiatan mempelajari berbagai buku referensi serta hasil dari penelitian terdahulu. Secara sederhananya ini merupakan kegiatan membaca sejumlah referensi atau buku yang memiliki tujuan agar mengetahui inti/topik yang dikaji. Sedangkan menurut Nasir studi kepustakaan ni merupakan sebuah Teknik untuk memperoleh data dengan menelaah buku, literatur, atau referensi dari sejumlah laporan tentang suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Prosesnya ini dilihat sebagai kegiatan mengumpulkan sejumlah data yang diperlukan. Kemudian data tersebut dimasukkan ke dalam tulisan seorang penulis untuk memberikan validasi data dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Sugiyono berpendapat bahwa studi Pustaka ini adalah kajian teoritis yang memiliki kaitan dengan kebudayaan serta norma yang berkembang pada suatu situasi sosial yang akan diteliti. (Abdhul, 2021).

    Studi kepustakaan merupakan segala sesuatu yang dikerjakan penulis untuk mengumpulkan data informasi yang relevan terhadap tem atau permasalahan yang diangkat penulis. Data informasi diperoleh dari berbagai sumber referensi seperti buku, jurnal penelitian, laporan penelitian, karangan ilmiah, tesis dan disertasi, ketetapan-ketetapan, peraturan-peraturan, buku tahunan, dan sumber tertulis yang tercetak maupun dalam bentuk elektronik lainnya. (STUDI KEPUSTAKAAN.pdf, n.d.).

    Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Berbasis Komunitas Secara Konseptual

    Pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam pasal 1 ayat (12) telah diatur mengenai pemberdayaan masyarakat desa. Yang mana mengartikan pemberdayaan masyarakat desa sebagai sebuah upaya mengembangkan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, sikap, perilaku, dan pendampingan yang sesuai dengan adanya esensi masalah serta prioritas kebutuhan dari masyarakat Desa.

    Dengan adanya peraturan tersebut menandakan adanya pemberdayaan merupakan sebuah proses berdasarkan dari peningkatan kualitas seseorang yang tergabung dalam masyarakat desa. Selain itu, UU tersebut akan memberikan space bagi pengimplementasian pemberdayaan masyarakat desa di Indonesia secara menyeluruh. Tentunya akan membuka peluang yang seluas-luasnya bagi desa-desa dalam optimalisasi potensi yang ada sehingga mampu mewujudkan pembangunan menuju desa yang maju.   (Firman, 2021)

    Pada buku Pengembangan Masyarakat karya Zubaedi (2013 : 21-22) telah dijelaskan adanya 4 perspektif dari konsep pemberdayaan menurut Jim Ife. Pertama, perspektif pluralis yang memandang pemberdayaan ini sebagai sebuah proses membantu seserang ataupun sekelompok orang kurang beruntung agar kedepannya dapat bersaing dengan efektif. Kedua, perspektif elitis yaitu upaya dalam mempengaruhi kalangan elite misalnya tokoh masyarakat, orang kaya, pejabat dan lain lain yang membentuk kalangan elit, konrontasi, dan memberikan upaya perubahan ada kalangan elite. Hal ini dilakukan dikarenakan adanya power serta control dari kalangan elite tersebut yang kuat terhadap Pendidikan, media, kebijakan public, partai politik, parlemen, dan birokrasi. Ketiga perspektif strukturalis merupakan kegiatan berjuang yang menantang karena tercapainya tujuan bergantung pada pengurangan bentuk-bebntuk ketimpangan structural. Dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat yaitu proses pembebasan, berubahnya struktur secara fundamental dan upaya untuk mengeliminasi adanya penindasan structural. Keempat, perspektif post-strukturalis yaitu proses mengubah diskursus. Ini berarti pemberdayaan ditekankan kepada aspek intelektualitas daripada aktivitas atau aksi. Jadi, pemberdayaan ditekankan lebih kepada Pendidikan bukan aksi. (Zubaedi, 2013).

    Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Berbasis Komunitas Secara Konseptual

    Implementasi Pemberdayaan Di Desa Berbasis Komunitas di Indonesia

    Pembangunan masyarakat akan lebih optimal jika dilakukan bersamaan dengan adanya peran pihak pemerintah dan masyarakatnya itu sendiri. Studi kepustakaan yang digunakan sebagai referensi ini menampilkan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di desa yang berbasis komunitas.  Studi pemberdayaan yang dilakukan oleh Nur Kumilasari (2019) memperoleh hasil adanya peningkatan pe ndapatan dan peningkatan SDM masyarakat setempat yaitu memiliki sikap percaya diri, kreatif, dan mandiri. Dari sisi keagamaan, masyarakat sudah mampu untuk menunaikan ibadah zakat serta mampu melaksanakan pengajian rutinan sebaga bentuk untuk meningkatkan keimanan. (Kumilasari, 2019)

    Selanjutnya, dalam studi pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Yusus Adam Hilman (2018) 4 beberapa program kegiatan pemberdayaan berbasis komunitas yang direncanakan telah berhasil memberikan dampak yang positif pada masyarakat sasaran yaitu para wanita janda di Desa Dadapan Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. (Hilman & Nimasari, 2018). Dampak yang dimaksud yaitu meningkatnya pendapatan masyarakat, menumbuhkan kesetiakawanan sosial, dan menumbuhkan jiwa kemandirian. Tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada kegiatan program pemberdayaan yang dilakukan oleh Siti Yumnah tepatnya di Dusun Sentono Kelurahan Glanggang pada kegiatan pengabdian di Posyandu Delima juga memperoleh keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Masyarakat sekitar daerah tersebut pada awalnya tidak menerapkan PHBS di lingkungan tempat tinggal, akan tetapi setelah adanya kegiatan ini masyarakat mngalami peningkatan pengetahuan dan kesadaran untuk melakukan PHBS. Karena masyarakat juga telah menerima manfaat nyata yang dirasakan setelah mereka menerapkan program tersebut sehingga hal tersebut menumbuhkan komitmen masyarakat untuk selalu menerapkan dimanapun mereka berada. (Yumnah, 2021)

    Berbeda kasus dengan penelitian tersebut diatas, penelitian yang dilakukan oleh Tiara Ramadhani yaitu pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas satu ini dilakukan melalui UMKM pada kelompok pembuat kritcu Bangka Belitung ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan produksi sehingga menyebabkan peningkatan penghasilan para  ibu rumah tangga pelaku UMKM. (Ramadhani, 2020). Berlanjut pada penelitian selanjutnya tentang pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas yaitu mengolah limbah menjadi berkah di daerah Kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat. Penelitian ini dilakukan oleh Nazarudin, dkk yang memberikan kesimpulan bahwa adanya keberhasilan program yang dilakukan. Program tersebut memberikan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dan mampu mengubah pola piker masyaraakat terhadap tumbuhan gulma dan limbah dimana awalnya tidak bernilai dan tidak berpotensi untuk memberikan sumbangsih pendapatan baru bagi masyarakat. (Nazaruddin et al., 2020).

    Kesimpulan Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Berbasis Komunitas Secara Konseptual

    Pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas ini merupakan sebuah pendekatan pembangunan yang memiliki penyesuaian atau beradaptasi kepada kebutuhan atau kepentingan sasaran masyarakatnya yang kemudian diberikan fasilitas yang sesuai oleh agen of change atau pelaksana program kegiatan pemberdayaan. Dalam prosesnya, pelaksana program kegiatan pemberdayaan memerlukan adanya penggalian informasi serta pemahaman terlebih dahulu atas daerah yang berpotensi untuk dikembangkan secara optimal. Pemberdayaan masyarakat berbasis masyarakat menggunakan pendekatan yang sesuai yaitu dengan pola partisipasi.

    Hasil penelitian terdahulu yang telah disebutkan diatas, menunjukkan adanya keberhasilan dari masing-masing program pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas yang telah dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat  yang dilakukan berbasis komunitas ini cukup efektif untuk diimplementasikan di desa yang ada di Indonesia secara menyeluruh. Keberhasilan ini juga dipengaruhi karena adanya partisipasi aktif dari masyarakat terhadap pelaksanaan program kegiatan pemberdayaan masyarakat desa berbasis komunitas.

    Daftar Pustaka

    Abdhul, Y. (2021, 11 25). Studi Pustaka : Pengertian, Tujuan, dan Metode. Retrieved from deepublish store: https://deepublishstore.com/studi-pustaka/

    Admin. (2017, 1 22). Pengertian dan Jenis-jenis Komunitas Menurut Ahli. Retrieved from https://comdev.binus.ac.id/blog/2017/01/pengertian-dan-jenis-jenis-komunitas-menurut-ahli/#:~:text=Menurut%20McMillan%20dan%20Chavis%20(1986,berkomitmen%20untuk%20terus%20bersama%2Dsama.

    Admin. (2022, Februari 10). Pengertian Komunitas, Jenis, dan Manfaatnya. Retrieved from https://www.sampoernauniversity.ac.id/id/pengertian-komunitas-jenis-dan-manfaatnya/#:~:text=Menurut%20KBBI,kelompok%20masyarakat%20atau%20sebuah%20paguyuban.

    Admin. (2022, 3 9). Pengertian Masyarakat Menurut Para Ahli. Retrieved from Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2022/03/09/01150061/pengertian-masyarakat-menurut-para-ahli#:~:text=Menurut%20Soerjono%20Soekanto%2C%20masyarakat%20adalah,kesatuan%20manusia%20dan%20bersifat%20berkelanjutan.

    Bender, D. (2016). DESA – Optimization of variable structure Modelica models using custom annotations. ACM International Conference Proceeding Series, 18-April-2016(1), 45–54. https://doi.org/10.1145/2904081.2904088

    Fahmy, I. A. (2022, 10 27). 6 Pengertian Pemberdayaan Menurut Para Ahli dan Aspeknya. Retrieved from Pinhome Blog: https://www.pinhome.id/blog/pengertian-pemberdayaan-menurut-para-ahli/#Daulay_2006

    Firman, A. A. (2021). pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas. Jurnal Tata Sejuta, 132-146.

    Haris, A. (2014). Memahami Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemanfaatan Media. Journal Universitas Hassanudin, 50-62.

    Hilman, Y. A., & Nimasari, E. P. (2018). Model Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Komunitas. Aristo, 6(1), 45. https://doi.org/10.24269/ars.v6i1.778

    KBBI. (n.d.). Retrieved from https://kbbi.web.id/masyarakat

    Kumilasari, N. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas; Studi Terhadap BumDes . UIN Walisongo.

    Nazaruddin, N., Ruhamah, R., Inayatillah, I., & Fitri, C. D. (2020). Mengolah Limbah Menjadi Berkah: Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Komunitas di Kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat. Intervensi Komunitas, 1(2), 94–102. https://doi.org/10.32546/ik.v1i2.639

    Ramadhani, T. (2020). Community-Based Community Empowerment Through Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) (Case Study of Kritcu BaBe Making Group in Batu Belubang Village). RECIPROCAL: Journal of Actual Progressive Sociology Research, 2(2), 200–210. https://doi.org/10.29303/resiprokal.v2i2.31

    Reza, N. F. (2021). Community Empowerment through Potato Chips Home Industry Business in Penanggungan Village, Wanayasa District, Banjarnegara Regency.

    LITERATURE STUDIES.pdf. (n.d.).

    Wikipedia. (2022, 11 18). Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat

    Yumnah, S. (2021). Assistance in the Community Health Empowerment Program against Covid-19 through the Pomegranate Posyandu Cadre Community in Glanggang Village. ABDI KAMI: Journal of Community Service, 4(1), 037. https://doi.org/10.29062/abdi_kami.v4i1.443

    Zubaedi. (2013). COMMUNITY DEVELOPMENT BOOKS (1).pdf (p. 270).s

    Azka Nafiurrohmah, Dadang Yunus Lutfiansyach, Abdul Malik, Amin Yusuf
    [email protected], [email protected],
    [email protected][email protected]

  • Cara Dzakira Dancer Untuk Meraih Kesuksesan Dengan Belajar Rugi

    Cara Dzakira Dancer Untuk Meraih Kesuksesan Dengan Belajar Rugi

    Dzakira Dancer merupakan sanggar tari dimana tempat tersebut adalah sarana yang digunakan masyarakat sekitar untuk mempelajari kesenian tari. Dzakira Dancer ini berlokasi di Talang Jawa, Tanjung Enim, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sanggar Meribang telah didirikan sejak tahun 2013 oleh Sinta Mandasari yang juga adalah seorang pelatih di sanggar tari ini. Sinta Mandasari adalah pelatih yang berpengalaman, dimana ia sudah belajar menari sejak SMP. Didirikan sanggar ini diawali kerena ada anak-anak sekolah yang minta tolong diajarkan menari untuk tampil di pentas seni, kemudian banyak yang berminat dan datang kerumah beliau untuk diajarkan. Dari sanalah akhirnya beliau memutuskan untuk mendirikan Dzakira Dancer ini.

    Awal didirikan sanggar ini tentunya belum banyak orang yang tahu akan keberadaan sanggar ini, oleh karena itu untuk mengenalkan kepada masyarakat Sinta Mandasari selaku pendiri menggunakan strategi yang disebut “belajar rugi”, maksudnya ia menawarkan secara gratis  kepada orang-orang terdekat, saudara-saudara untuk tampil di acara resepsi dan juga event tersebut tanpa di bayar. Barulah ketika Dzakira Dancer telah banyak tampil di berbagai acara dan dikenal masyarakat akhirnya Dzakira Dancer mendapatkan kesuksesannya.

    Saat mengajarkan anak-anak tentunya memiliki tantangan, terutama saat mengajarkan anak yang baru bergabung, susah menguasai sebuah tarian adalah hal yang wajar, oleh karena itu metode yang dilakukan sanggar ini terhadap anak baru yaitu dengan mengajarkan satu per satu gerakan, dengan metode ini paling lama agar anak dapat menguasainya yaitu sampai 3 hari pelatihan.

    Tak hanya tarian tradisional di sanggar ini juga dapat mempelajari tarian modern karena berdirinya sanggar ini bertujuan agar anak-anak dapat belajar menari sesuai yang diminati baik itu tarian tradisional, modern maupun keduannya. Dengan harapan dapat membantu lebih banyak lagi masyarakat yang berminat mempelajari seni tari agar dapat melestarikan budaya-budaya yang ada, sehingga budaya ini tidak tenggelam yang berujung terlupakan seiring perkembangan zaman.

    Berbeda dari sanggar lainnya Dzakira Dancer juga merupakan sarana bagi anak-anak yang berminat untuk mengikuti kegiatan cheerleader di sekolahnya, tentunya waktu yg di berikan di sekolah untuk mempelajarinya sangat terbatas, oleh karena itu anak-anak yang berminat untuk mengembangkan serta meningkatkan lagi kemampuan cheerleadernya bisa bergabung di sanggar ini sebagai bentuk pendidikan non-formal.

    Namun sedikit disayangkan dari sanggar ini yaitu tidak memiliki alat musik untuk mengiringi suatu tarian agar dapat lebih memeriahkan penampilan yang ditampilkan, tetapi tidak perlu khawatir karena tarian yang mereka tampilkan tetap tak kalah indahnya meskipun hanya menggunakan audio pada speaker. Hal ini dibuktikan dari seluruh penghargaan yang didapatkan melalui perlombaan-perlombaan yang telah diikuti.

    Jadwal latihan disini yaitu setiap hari sabtu dan minggu. Bagi yang berminat untuk bergabung di Dzakira Dancer anda dapat datang ke lokasi pada hari sabtu dan menemui pelatih disana kemudian anda dapat langsung mengikuti latihan dengan anak-anak yang lain.

    Tulisan ini dibuat oleh : Nama : Ranti Zahirah Mahasiswa Jurusan : Pendidikan Masyarakat Universitas : Universitas Sriwijaya

    Dikirim melalui Kirim tulisan

  • Pelatihan Tari Jatilan Sugriwa-Subali serta Pembinaan Guiding

    Pelatihan Tari Jatilan Sugriwa-Subali serta Pembinaan Guiding

    Pelatihan Tari Jatilan Sugriwa-Subali serta Pembinaan Guiding Bahasa Inggris pada Pokdarwis Jatimulyo, Goa Kiskendha, Kulon Progo Perbukitan Menoreh yang ada di sisi barat Jogja menyuguhkan panorama alam yang luar biasa. Mulai dari sejuknya perbukitan yang senantiasa dirundung kabut di pagi dan sore hari, berpadu apik dengan berbagai air terjun yang mengalir dari sumber mata air alami. Ada juga hutan hijau, goa-goa, pedesaan dengan bangunan rendah khas pegunungan hingga kesenian tradisional yang sangat eksotis. Tak heran bila banyak wisatawan yang sedang berlibur di Kulon Progo menjatuhkan pilihan destinasi wisatanya pada salah satu wisata yang ada di perbukitan menoreh. Salah satu wisata di perbukitan Menoreh yang menyuguhkan berbagai suasana alam yang menarik adalah Goa Kiskendha.

    Goa Kiskendha terletak di Desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo adalah wisata budaya yang merupakan situs arkeologi sekaligus religi. Dengan lahan seluas 6 Ha Goa Kiskendha memiliki berbagai keindahan alam yang dapat dinikmati, diantaranya adalah sungai yang mengalir di luar hingga masuk kedalam Goa, Taman yang membentang dan tentu saja wisata susur goa yang dihiasi stalagnit-stalagnit di dalamnya. Selain itu pada bagian luar dinding goa terdapat ukiran relief yang indah menceritakan potongan dari epos Ramayana yaitu kisah Sugriwa – Subali, sebuah kisah pertempuran yang pernah terjadi pada kerajaan Kiskendha yang juga dilengkapi dengan sebuah tarian kolosal pada hari-hari tertentu untuk memvisualisasikan kisah tersebut.

    Sayangnya saat ini potensi yang dimiliki Goa Kiskendha kurang terkelola dengan baik. Tarian Kolosal yang seharusnya dipentaskan untuk menarik pengunjung dan melestarikan kisah serta budaya yang ada di Goa Kiskendha telah vakum selama kurang lebih satu tahun, hal ini dikarenakan untuk mementaskannya diperlukan persiapan yang panjang dan memakan biaya yang cukup mahal sehingga kelompok penari Jatimulyo menjadi tidak produktif.

    Melihat permasalahan yang dihadapi oleh Wisata Goa Kiskendha tersebut mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yaitu Indah Nur Aini (Sastra Inggris), Alberic Kencana Adhi Pradana (Pendidikan Luar Sekolah) dan Irma Oktaviani (Sastra Inggris) yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M) menyelenggarakan pelatihan tari berdasarkan kisah Sugriwa – Subali pada kelompok masyarakat sadar wisata Jatimulyo dan pelatihan bahasa Inggris serta pembuatan buku kisah Sugriwa Subali sebagai upaya pengembangan wisata Goa Kiskendha, Kulon Progo.

    Indah Nur Aini selaku ketua Tim menjelaskan “Harapan kami, dengan diselenggarakannya pelatihan ini kelompok masyarakat sadar wisata Jatimulyo menadi lebih produktif. Rencananya Tari Jatilan Sugriwa-Subali ini akan dipentaskan per 3 bulan sekali pada acara Menoreh Tourism Festival Kulon Progo yang dilaksanakan secara bergilir pada lokasi wisata yang ada di perbukitan Menoreh selain itu tari ini juga akan rutin dipentaskan pada event Safaran yang ada di desa Jatimulyo itu sendiri. Sejauh ini tarian Sugriwa-Subali versi mini ini telah dipentaskan satu kali pada tanggal 21 Juni 2018 di Goa Kiskendha bersama dengan kesenian kesenian lainnya dalam acara Menoreh Tourism Festival 2018 yang dihadiri kurang lebih 3000 pengunjung. Sementara pelatihan bahasa Inggris dan pembuatan buku kisah Sugriwa-Subali bertujuan sebagai pendukung upaya pengembangan Wisata Goa Kiskendha”

  • Penanaman Sistem Tanam Paksa

    Penanaman Sistem Tanam Paksa

    PENGARUH SISTEM TANAM PAKSA

                Tanaman dagang terbagi menjadi dua, yaitu tanaman musiman seperti gula, nila, dan tembakau dan tanaman tahunan seperti, lada, kopi, teh, dan karet. Karena gula memiliki nilai ekspor yang tinggi para pemiliki sawah diharuskan menyerahkan sebagai dari sawahnya untuk penanaman tebu menurut suatu skema rotasi tertentu dengan penanaman padi. Unutk tiap desa ditentukan bagian dari luas tanah yang harus diserahkan untuk penanman tebu. Pekerjaan-pekerjaan ini wajib dilakukan oleh seluruh penduduk desa yang dikerahkan bekerja untuk kepentingan pemerintah colonial unutk melakukan perkerjaan wajib seperti menanam, memotong, mengangkut tebu ke pabrik-pabrik gula, dan bekerja di pabrik-pabrik itu sendiri.

                Pekerjaan rodi yang dilakukan oleh pemerintahan colonial meliputi pembangunan dan pemeliharan umum, seperti jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, terusan-terusan, waduk-waduk, rumah-rumah pegngkut surat-surat, benteng-benteng untuk colonial. Pekerjaan rodi yang sangat berat dan perawatan kesehatan pekerja-pekerja sangatlah kurang, tidak mengherakan bahwa banyak ribuan pekerja meninggal karena penyakit, kekurangan makan.

                Tanam paksa menyebabkan kenaikan produksi hasil-hasil tanaman perdagangan. Tahun 1830 ekspor kopi 288 ribu pikul dan gula berjumlah 108 ribu pikul, dan ekspor nila 42 ribu puond, pada tahun 1840 ekspor kopi di Jawa kopi dan meningkat pesat seperti kopi 132 pikul, ekdpor 1.032 ribu pikul dan nila 2.132 ribu pikul. Peningkatan padi di Jawa timur tidak dihiraukan oleh pegawai colonial karena mereka lebih focus tanaman dagangan yang laku dunia.

                Tahun 1843 pemerintahan colonial berusaha mengekspor beras yang diambil dari daerah Cirebon. Hal tersebut menjadi parah sekali sewaktu panen di beberapa daerah pantai utara Jawa gagal. Kegagalan menyebabkan kesengsaraan rakyat sehingga banyak rakyat yang mengungsi, kelaparan hingga mati kelaparan pinggir jalan. Tahun 1848 di Demak juga mengalami kegagalan panen hingga tahun-tahun berikut sehingga adanya kelapran berkepanjangan sehingga akibat pengungsian dan kematian. Dampak jumlah penduduk mengalami penurunan sangat dratis dari 336.000 sampai 120.000.

                Mekanisme mengeksploitasi yang dilakukan oleh pememerintahan colonial Belanda, Sistem Tanam Paksa memperlihatkan keunggulannya selama jangka waktu 1830 dan 1840. Namun, kejadian-kejadian 1840 rakyat jawa tidak diperas habis-habisan tidak dapat diterapkan karena tidak sesuai dengan perkembangan politik dan ekonomi. Umumnya rakyat Belanda tidak menghiraukan kemelaratan dan penderitaan rakyat Jawa yang sangat besar. Hal ini juga didukung oleh kurangnya pengetahuan rakyat Jawa tentang social ekonomi sehingga rakyat Jawa mengikuti perintah dari pemerintahan Belanda. Tahun 1850 berita tentang rakyat Jawa yang diperlakukan sewenang-wenangnya oleh pemerintahan Belanda, adapun berita-berita mengenaii malapetakan di Cirebon, Demak, dan Grobogan didengar oleh rakyat Belanda sehingga menguncang hati rakyat Belanda.

                Perdebatan yang terjadi di Belanda tentang Sistem Tanam Paksa, sehingga pekembangnya aliran liberal yang sudah menjalar ke suluruh Eropa Barat termasuk Belanda. Paham liberal menghendaki segala kegiatan diserahkan kepada usaha swasta tanpa melalui pemerintah. Pemerintah dalam teori ini hanya memperhatikan kepentingan umum dan penciptakan sarana-sarana hokum dan admitrasi. Penganut teori ini menolah Sistem Tanah yang di kelola oleh pemerintah. Tokoh Belnda yang menentang Sistem Tanam Paksa dan membuka Indonesia untuk usaha swasta. Tahun 1860 tokoh penentang Sistem TAnam paksa mendapat angina segar karena penyelewengan-penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dibawah Sistem Tanam Paksa. Sehingga tahun 1872 aliran liberal telah mencapai kemenangan politik yang menentukan di negeri Belanda.

                Di jawa, penanaman paksa tentang beberapa tanaman dagang setelah tahun 1860 mulai dihapus. Penanaman lada mulai dihapuskan, teh, dan nila juga mulai dihapuskan pada tahun 1860-1865. Gerakan liberalism di negeri BElanda yang semakin kuay juga memegang peran pokok dalam usaha menghapuskan Sistem Tanam Paksa sekitar tahun 1870. Namun tanaman dagang kopi masih dilakukan sampai akhir abad ke-19. Menjelang 1920, sisa-sisa penanaman paksa lainnya sama sekali dihapuskan di Indonesia.

  • Pekik Salamku, A Luta Continua!!! 1964 PLS

    Pekik Salamku, A Luta Continua!!! 1964 PLS

    Pekik Salamku, A Luta Continua 1964 PLS

    (Untuk Hari Ini dan Selamnya)

    Atas Nama Mahasiswa PLS UM

                 Adalah sebuah karya yang menjadi representasi semangat mahasiswa PLS UM.

                “Pekik salamku, A Luta Continua” berasal dari bahasa Portugis yang artinya “perjuangan terus berlanjut”. Banyak cerita yang telah melekat dalam kalimat A Luta Continua, salah satunya digunakan untuk membakar semangat rakyat Mozambik dalam melawan imperialisme yang menindas mereka. Di samping itu, kalimat ini juga dituliskan dalam puisi Wiji Thukul yang berjudul “Tujuan Kita Satu Ibu”.

                “1964” adalah embrio PLS UM berawal. Di mana saat pertama kali dirintis oleh Pak Soedomo PLS UM masih bernama PenSos (Pendidikan Sosial) hingga sampai berganti nama menjadi PLS. Banyak orang-orang besar lahir dari rahim PLS UM, tapi perjuangan tidak berhenti kepada orang-orang PLS yang sudah mapan. Kitalah masa depan PLS UM, oleh karena itulah dimasukkanlah “Pekik Salamku, A Luta Continua” ke dalam jargon ini, agar semangat perjuangan mahasiswa PLS UM dalam belajar demi kemerdekaan individu dan golongan.

                Alasan dimasukkannya tahun kelahiran PLS UM yaitu, “1964” adalah agar mahasiswa PLS UM tidak seperti pepatah kacang lupa pada kulitnya, kita lupa akan sejarah jurusan kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Soekarno, “JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah”, maka kita juga harus seperti itu, jangan sampai kita sebagai mahasiswa PLS UM tidak mengerti akan sejarah jurusan kita sendiri. Sejarah akan membuat kita mempunyai karakter jurusan yang kuat saat menjadi mahasiswa aktif maupun saat menjadi alumni nanti. Sehingga akan timbul rasa bangga dan cinta akan jurusan tempat kita belajar ini. Oleh karena itulah, “1964”  tidak hanya sekedar untuk mengingat sejarah saja, tapi juga sebagai penyemangat dan refleksi bagi kita agar dapat membanggakan nama PLS UM.

                “1964”  dikomunikasikan dengan cara berbeda, yaitu dengan bahasa sandi berupa tepuk tangan. Sandi ini biasa dipakai oleh Gerakan Pramuka dalam kegiatannya, dan Gerakan Pramuka adalah salah satu contoh bentuk  implementasi PLS di masyarakat. Penjelasan tepuk “1964” sebagai berikut, angka “1”  disandikan dengan satu tepukan lalu untuk setiap  pergantian angka, dilanjutkan dengan menepuk dada kiri. Setelah jeda dilanjutkan dengan “9” disandikan dengan 3 rangkaian tepukan yang setiap rangkainnya berisi 3 tepukan dan setiap rangkaian diberikan jeda, setalah itu dilanjutkan dengan tepuk tanda pergantian angka, yaitu menepuk dada kiri. Selanjutnya angka “6” disandikan dengan 2 rangkaian tepukan yang setiap rangkaiannya berisi 3 tepukan dan disetiap rangkaian diberi jeda, setelah itu tepuk pergantian. Terakhir adalah angka “4” yang disandikan dengan 2 rangakaian tepukan yang setiap rangkaian berisi 2 tepukan.

                Terakhir, sebagai legitimasi bahwa ini adalah jargon untuk jurusan kita, PLS. Maka kata terakhir yang digunakan sebagai penutup yaitu PLS dan diucapkan dengan mengepalkan tangan kiri ke atas. Ini adalah simbol bahwa mahasiswa PLS harus benar-benar menjadi agent of change dan catalyst bagi perubahan sosial ke arah yang lebih baik di mana pun kita berada. Kita tidak boleh menikmati ilmu kita sendiri, masih banyak orang-orang di luar tembok kampus yang membutuhkan tenaga dan pikiran kita untuk merubah keadaan hidup. Mahasiswa PLS harus memperjuangkan juga hak-hak kaum tertindas untuk mencapai kemerdekaannya dengan ilmu ke-PLS-an yang kita punya.

                 Oleh karena itu, sebagai rasa cinta terhadap jurusan, demi semangat perjuangan dalam belajar dan mencapai cita, dan demi terciptanya perubahan yang lebih baik. Mari kita kobarkan semangat PLS UM kita dengan meriakkan,

    PEKIK SALAMKU!!!

    “A LUTA CONTINUA! 1964 PLS”

    13892253_1151908444832220_1618827334736314639_n

    Penulis: Ardiansyah Prainhantanto

    Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah Angkatan 2014

    Universitas Negeri Malang

  • KENAKALAN REMAJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN DIAGNOSIS SOSIAL

    KENAKALAN REMAJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN DIAGNOSIS SOSIAL

    Diagnosis sosial adalah proses penentuan persepsi masyarakat terhadap kebutuhannya atau kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat untuk meingkatkan kualitas hidupnya melalui partisipasi dan penerapan berbagai informasi yang dirancang sebelumnya. Untuk mengetahui masalah social, digunakan indicator social seperti kemakmuran , estetika, prestasi, kejahatan, indexkepadatan penduduk, kebagiaan diskriminasi, kegiatan ilegal, system pembuangan limbah, pengaguran dan lain – lain. Penilaian dapat dilakuakan atas dasar datasensus, vital sitematik yang ada, atau pengumpulan data secara langsung dari masyarakat,cara mengumpulan data dengan cara wawancara, forum yang ada di masyarakat, Focus Groups Discussion ( FGD ),nominal group process,dan survei.

    Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Masalah sosial menemui pengertiaannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang telah disepakati. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.

    artikel selengkapnya [download id=”324″]

  • PERBEDAAN STRATA SOSIAL DAN KEBUDAYAAN

    PERBEDAAN STRATA SOSIAL DAN KEBUDAYAAN

    PERBEDAAN STRATA SOSIAL DAN KEBUDAYAAN ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN MASYARAKAT PRIBUMI DI KAMPUNG PECINAN SEMARANG

    Oleh:

    Akhmad Aqil Aziz                                                       1201407026

    JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

    FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

    2010

    ABSTRAKSI

    Sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia dianugrahi berbagai macam kekayaan alam maupun budaya. Kekayaan budaya yang terdapat di Indonesia salah satunya ialah kebudayaan sosial masyarakat keturunan cina yang telah berlangsung lama sebelum bangsa ini berdiri tegak. Indonesia yang multikultur memiliki kewajiban untuk   menjaga tetap   bersatunya berbagai etnis yang hidup di tanah air kita tercinta ini. Di dalam masyarakat yang majemuk terdapat berbagai interaksi social yang berbeda tiap masing-masing daerah.

    Begitu pula yang terjadi pada masyarakat yang bertempat tinggal di area atau kawasan Pecinan Semarang. Interaksi sosial masyarakat yang majemuk dan berbeda adat istiadat mengharuskan mereka untuk mampu beradaptasi dengan baik agar dapat hidup berdampingan secara serasi dan bertenggang rasa dengan ras lain yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Dalam kawasan Pecinan Semarang, terdapat berbagai ras yang menempatinya, antara lain ialah etnis Tiong hoa, warga keturunan arab, serta masyarakat asli pribumi.

    Sebagai kawasan yang cukup eksklusif di daerah Semarang, Pecinan menjadi sebuah bagian penting dalam pelestarian budaya serta penggerak ekonomi kota Semarang.

    I

    PENDAHULUAN

    1. A. LATAR BELAKANG

    Keberadaan masyarakat Tionghoa di tengah-tengah kehidupan masyarakat pribumi adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Kenyataan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Keberadaan  mereka baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi  kehidupan sosial dan ekonomi  masyarakat pribumi yang berada di sekitar mereka. Secara kuantitatif, masyarakat Tionghoa merupakan minoritas di tengah masyarakat Indonesia. Hal itu juga berlaku di Semarang. Masyarakat tionghoa di semarang tersebar hampir di seluruh wilayah kota Semarang. Tapi sebagian dari mereka tinggal dan mencari nafkah di kawasan Pecinan. Data BPS provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa jumlah penduduk Tionghoa di daerah Pecinan kecamatan Semarang Tengah berjumlah 5.401 jiwa. Jumlah penduduk di daerah Pecinan berdasarkan data BPS pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

    Masyarakat Tionghoa adalah warga pendatang yang bertempat tinggal, menetap atau menjalankan usaha dalam suatu wilayah berdasarkan etnisitas yang dikenal sebagai Pecinan. Sebutan masyarakat Tionghoa adalah sebutan untuk warga keturunan Cina yang sudah lama menetap di Indonesia. Masyarakat pribumi adalah penduduk asli yang bertempat tinggal dan sudah berada di suatu wilayah secara turun-temurun. Karena mereka hidup dalam suatu lingkungan yang berdekatan maka mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain.

    Kawasan Pecinan Semarang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Cina yang telah datang secara berangsur-angsur ke Semarang sejak bebrapa abad yang lalu. Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang dan bermukim di Indonesia,  beberapa ahli sejarah   seperti Lombard (1996) dan Reid (1999)   menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini adalah kerajaan Majapahit.

    Diperkirakan pada sekitar tahun 1412   sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedong Batu atau Simongan dan di tepi sungai Semarang (Yoe, 1933 : 13). Pemukiman masyarakat Cina dipilih daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa   teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Letaknya yang strategis ini menjadi kunci utama dari bandar Semarang. Daerah   yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk dihuni (Budiman. 1978: 11)

    Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu. Pada tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw   Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun orang-orang   Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri   ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini , pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan   pemukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke kawasan yang dilingkari oleh kali Semarang yang kita kenal dengan Pecinan. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap   komunitas Cina di Semarang.

    Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu. Pada tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw   Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun orang-orang   Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri   ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini , pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan   pemukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke kawasan yang dilingkari oleh kali Semarang yang kita kenal dengan Pecinan. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap   komunitas Cina di Semarang.

    Kawasan Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi (etnis Jawa). Warga Pecinan, baik dari etnis Cina maupun Jawa telah berinteraksi dalam dalam waktu yang lama. Interaksi sosial antara warga etnis Cina dengan pribumi tidak selalu  berjalan harmonis. Ketidakharmonisan interaksi sosial ini tercipta oleh berbagai kebijakan pemerintah dari sejak masa kolonial sampai saat ini.

    Kebijakan pemerintah kolonial yang memberikan status pada warga Cina sebagai warga   Timur Asing , telah menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Status   sebagai warga Timur Asing menempatkan status warga etnis Cina lebih tinggi dari warga pribumi, tidak terkecuali di lingkungan masyarakat Pecinan Semarang

    1. B. RUMUSAN  MASALAH

    Masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi memiliki karakteristik yang berbeda dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan sejarah perkembangan masyarakatnya, telah menimbulkan jarak yang menjurus pada konflik dan sentimen sosial. Hal tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan, antara lain :

    1. Bagaimana bentuk  stratifikasi dan interaksi sosial antara etnis Cina dan Orang Jawa di Kampung Pecinan Semarang?
    1. C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

    Penelitian ini bertujuan untuk :

    1. Menyingkap fenomena mengenai kesenjangan yang terjadi antara etnis Cina dan masyarakat Jawa.
    2. Merubah paradigma negatif masyarakat Tionghoa dimata masyarakat Jawa.
    3. Mengintegrasikan masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
    4. Mengembangkan budaya   meneliti di kalangan mahasiswa.
    1. D. KEGUNAAN PENELITIAN

    Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mempublikasikan dan menceritakan kembali tentang sejarah masa lalu kebudayaan Tionghoa. Selain itu, untuk lebih mengetahui apa sebenarnya yang mengakibatkan adanya jarak yang memisahkan antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi sehingga terjadi konflik dan sentimen negatif dari masing-masing pihak. Dan diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian berikutnya.

    1. E. RUANG LINGKUP PENELITIAN

    1.1   Lingkup   Tempat

    Penelitian dilakukan   di kawasan Pecinan Semarang yang terlatak di Kelurahan Kranggan dan Kauman  Kecamatan Semarang Tengah. Pengamatan dilakukan dengan melihat obyek fisik yang ada meliputi   kawasan   Gang Beteng, gang pinggir, gang tengah, gang Lombok( tempat rongsokan),lebon dalam, gang besen, kali koping, gang buntu , klenteng Tay Keik Sie, Gedung Rasa Darma.

    1.2   Ruang Lingkup Materi

    Studi ini bersifat deskriptif analitis, dimana data-data lapangan akan dibaca, dianalisis, dan diklasifikasikan sehingga didapat suatu deskripsi yang komprehensif. Pembahasan menekankan pada proses pembentukan Pecinan Semarang , serta menganalisis karakter dari pemukinan China ini berdasarkan obyek fisik yang tersisa sekarang.

    1. F. LUARAN

    Luaran yang diharapkan pada pengajuan proposal ini yaitu artikel ilmiah tentang perbedaan strata dan kebudayaan antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi di kampung Pecinan Semarang.

    II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Kebudayaan atau cultuur kebudayaan sebagai segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Joko Widagdo, 1994).

    Dinamika kebudayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras, tidak dipungkiri menimbulkan stratifikasi dan diferensiasi sosial. Stratifikasi sosial adalah sistem perbedaan status yang berlaku di dalam suatu masyarakat.( Paul B.Horton, 2004 ).

    Dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah mencolok karena golongan buruh tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini di sebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dengan si majikan.

    (Koentjoroningrat, 1987)

    Di Indonesia, proses integrasi antara suku-suku bangsa memang sudah dimulai, tetapi masih terlampau lambat karena kurang pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan dari suku bangsa atau golongan yang lain. (Koentjoroningrat, 1987)

    Dalam masyarakat orang Tionghoa di Semarang terdapat banyak perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan orang kaya. Namun perbedaan itu tidsak sangat mencolok karena golongan buruh tidak menyadari kedudukannya dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.

    III

    METODE PENELITIAN

    Pembahasan dan analisis dari studi ini dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data fisik. Metode pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:

    –                   Berdasarkan hasil studi literatur

    –                   Pengamatan dan survey lapangan di kawasan Pecinan Semarang

    –                   Menganalisis data-data   yang didapat dari studi literatur dan pengamatan serta menarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut

    1.1.1               Metode Pengumpulan Data

    –                   Studi literature dari buku cetak, jurnal dan skripsi yang membahas tentang kebudayaan Tionghoa, kawasan Pecinan, serta studi serupa yang berkaitan.

    –                   Pengumpulan data dengan metoda wawancara

    –                   Pengumpulan data dengan survey langsung di kawasan Pecinan Semarang

    1.1.2               Metode Analisa Data

    –                   Dari hasil studi literatur dan pengamatan lapangan di kawasan Pecinan Semarang   dibandingkan antara Etnis Tionghoa dan kaum pribumi

    –                   Dilakukan analisa terhadap kawasan Pecinan Semarang

    –                   Dari hasil pengamatan, dapat diketahui perbedaan strata antara Etnis Tionghoa dengan kaum pribumi terkait dengan kehidupan sosial dan ekonomi mereka.

    1.1.3               Metode Penarikan Kesimpulan

    –                   Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan studi literature,non literaturan hasil pengamatan

    IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    GAMBARAN UMUM DAERAH PECINAN SEMARANG

    Gambaran Umum Kawasan Pecinan Semarang Pada Saat Ini

    2.1 Kawasan Pecinan Semarang Sebagai Kawasan Penelitian

    Pecinan Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah periphery yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan.

    Daerah core (inti) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Daerah ini dibatasi:

    • Batas Utara         : Jalan gang Warung, Pekojan
    • Batas Selatan   : Kali Semarang
    • Batas Timur         : Kali Semarang
    • Batas Barat         : Jalan Beteng dan Pedamaran

    Dengan jalan utamanya sekarang adalah :

    • Jalan Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari jalan Pekojan
    • Jalan Gang warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
      • Dan Jalan Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti                           Pecinan sejak dulu.

    Jalan-jalan lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan gang Cilik berada di kawasan ini. (lihat gambar) Di daerah inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun untuk melindungi penduduk di dalamnya dari serangan pasukan   musuh. Masyarakat di daerah ini 99% merupakan WNI keturunan. Peruntukan lahan di kawasan ini adalah sebagai pusat perdagangan dan jasa. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok tersendiri.

    Daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti namun masih dapat diidentifikasi sebagai daerah Pecinan meliputi : Pekojan, Kranggan, Gang Lombok, Petolongan, Petudungan, Gabahan, dan sebagian Jagalan.

    • Pekojan menghubungkan kawasan Pecinan dengan daerah kota Lama (dahulu kawasan pemerintahan Belanda)
    • Petudungan dengan kawasan Timur kawasan Pecinan
      • Kranggan yang merupakan pusat perdagangan emas menghubungkan Pecinan dengan Jalaln Gajah Mada.
      • Wotgandul dengan kawasan Brumbungan dan Jagalan.

    Masyarakat yang bermukim di kawasan Pecinan Semarang ini 75% merupakan WNI keturunan, sisanya merupakan warga pribumi dan WNA. Klenteng masih dapat ditemukan di beberapa tempat. Peruntukan lahan pula sebagai pusat perdagangan dan jasa.

    2.2. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di  Kawasan Pecinan Semarang

    2.2.1. Kependudukan

    Penduduk yang tinggal di kawasan Pecinan Semarang ini adalah warga keturunan Cina yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :

    • Masyarakat Cina totok yang masih berorientasi pada kebudayaan aslinya, dan mempunyai keterkaitan dengan leluhur serta  adat-istiadat dari negara asalnya.
    • Masyarakat Cina  peranakan, yang sudah melebur dalam budaya lokal, dan sudah kehilangan identitas aslinya serta mengalami pergeseran dalam budaya dan tata nilainya.

    Secara umum penduduk di kawasan pecinan ini terbagi menjadi sebagai berikut :

    • Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir dan memiliki kapling di kawasan tersebut dari warisan leluhurnya.
    • Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir, namun hanya menggunakan kaplingnya sebagai tempatberdagang atau toko, sedang tempat tinggalnya berada di luar Pecinan.
    • Penduduk yang tidak tetap, mereka tidak tinggal menetap di kawasan Pecinan ini. Hanya karena pekerjaannya mereka berada di kawasan Pecinan ini, misalnya buruh kerja atau pedagang non permanen di pasar.

    2.2.2. Kepercayaan dan Religi

    Religi masyarakat etnis Tiong hoa selalu dipengaruhi oleh pemujaan terhadap arwah leluhur dan tiga ajaran utama, yaitu ; Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhism. Sebagian besar masyarakat asli kawasan Pecinan Semarang masih menganut kepercayaan Tri Dharma (Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhism). Ketiga ajaran tersebut terkait erat dan saling melengkapi. Dan, bagi etnis Tiong hoa pada umumnya, religi mencakup kepercayaan terhadap dewa-dewa local dan roh-roh; hal tersebut mempengaruhi keseharian mereka.

    1. Ajaran   Konfusianisme

    Pokok ajaran Konfusius atau Kong Hu Chu adalah untuk menyelamatkan dunia melalui pengajaran moral etika terhadap manusianya. Mereka diarahkan agar berusaha menyempurnakan serta menyucikan hati serta pikirannnya menuju keseimbangan yang harmonis, ajaran konfusius mewajibkan :

    Adanya pemujaan terhadap Tâ„¢ian

    Tâ„¢ian atau Tuhan menjadi awal atas sumber segala kesadaran alam semesta. Konsep Konfisius terhadap Tâ„¢ian bersifat ke Tuhanan dan alam.

    Pemujaan terhadap arwah leluhur

    Bagi etnis Tiong hoa, pemujaan terhadap leluhur mengingatkan mereka akan asal-usulnya. Dengan menghormati arwah leluhur mereka percaya bahwa anggota keluarga yang masih hidup akan senantiasa dilindungi, oleh sebab itu sangat penting bagi merekauntuk tetap menjalin hubungan baik dengan arwah leluhur. Pemujaan terhadap arwah   leluhur di pandang sebagai bakti anak terhadap leluhur.

    Penghormatan terhadap Konfusius

    Konfisius dihormati sebagai guru besar yang telah berjasa menempatkan ajaran moral dan spiritual bagi etnis Tiong hoa.

    1. Ajaran Taoisme

    Taoisme merupakan dasar pikiran budaya orang Cina. Tokohnya adalah Lao Tze yang menulis kitab Dao De Jing yang menjadi inti ajaran Taoisme. Taoisme menekankan ajarannya pada hidup mengikuti kehendak alam, hakekat keharmonisan antara kehidupan langit (alam gaib) dengan kehidupan di bumi dan manusia (alam, dunia nyata). Taoisme mengajarkan upacara untuk mencapai kesempurnaan hidup yang bertemapt di Klenteng. Inti ajaran Taoisme adalah selalu berusaha untuk mengikuti kehendak alam, ajaran Tao mengatur secara hierarkis arah-arah mata angin yang penting:

    • Arah Timur sama dengan musim panas bersimbol warna merah
    • Arah Barat sama dengan musim gugur berrsimbol warna putih
    • Arah Utara sama dengan musim dingin bersimbol warna hitam
    • Arah Selatan sama dengan musim semi bersimbol warna biru
    1. Ajaran Buddhism

    Ajaran Buddhism yang paling menonjol adalah kepercayaan adanya hidup setelah mati (reinkarnasi). Alam semesta memiliki tingkatan hirearkis, yaitu pemutasian kekuatan Yin (wanita/kegelapan) dan Yang (pria/terang) dan kombinasi lima elemen alam, yaitu: logam, kayu, api, air, dan tanah/bumi.

    2.2.3         Mata Pencaharian

    Mata pencaharian yang paling mencolok dari masyarakat etnis Tiong hoa yang hidup di kawasan Pecinan Semarang adalah berdagang. Hal ini terlihat dari motivasi awal orang Cina datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Pada masa pemerintahan kolonial   Belanda di Indonesia khususnya di Semarang mereka sangat berperan penting dalam bidang perdagangan dan industri.

    • Pertokoan tekstil di Jalan Gang Warung
    • Toko obat-obatan Cina dan apotek di Jalan Gang Warung
    • Jalan Gang Pinggir sebagai pusat perdagangan emas dan perhiasan
      • Jalan Gang Pinggir, Wot Gandhul Timur dan Gang Warung amat terkenal sebagai pusat makanan/ rumah makan. Mulai sore dan malam   hari terdapat banyak PKL yang membuka tenda untuk berjualan makanan di sepanjang Jalan Gang Pinggir ini.
      • Jalan Gang Besen dulunya terkenal sebagai pusat perdagangan peralatan besi sekarang berkembang menjadi area pemukiman dan perkantoran.
      • Jalan Gang Tengah sebagai pusat perkantoran Bank.
        • Jalan Gang Baru, sebagai Shopping street, berfungsi sebagai pasar tradisional . Jalan Gang Baru dan Gang Beteng merupakan tempat penjualan hasil bumi.
        • Jalan Gang Belakang serta Gang Gambiran sebagai area pemukiman.
          • Toko Cinderamata Khas Cina dan perlengkapan sembahyang di Jalan Gang Pinggir dan Gang Baru.
          • Pertokoan baik toko grosir, toko kelontong, dan toko emas di Gang Beteng, Gang Warung, dan Gang Pinggir yang memulai kegiatan pada pukul 06.00 hingga pukul 16.00.
          • Rumah yang sekaligus   berfungsi untuk tempat usaha (ruko), baik berupa pertokoan maupun pelayannan jasa terletak di Jalan Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir, Wotgandul, dan Gang Baru. Memulai kegiatan pada pukul 06.00 hingga pukul 16.00.
          • Warung/ PKL yang banyak terdapat di sepanjang Gang Pinggir   dan Gang Warung, kebanyakan warung ini buka pada sore/ malam hari, setelah toko-toko tutup, mulai pukul 18.00 sampai 22.00
          • Pasar tradisional yang terletak di sepanjang Jalan Gang Baru merupakan pusat aktifitas perdagangan hasil bumi dan kelontong di kawasan Pecinan yang mulai aktif sejak pukul 04.30 sampai dengan pukul 14.00

    2.2.4       Tempat Perkumpulan Sosial

    Untuk menampung kegiatan bersama masyarakat biasanya menggunakan balai RT/RW yang ada atau halaman sekolah maupun halaman depan beberapa klenteng yang luas, serta halaman komplek bangunan yayasan. Terdapat juga beberapa fasilitas social yang dikelola oleh perkumppulan/ yayasan social budaya, seperti :

    • Rumah abu Kong Tik Soe yang terletak di sebelah klenteng Tay Kak Sie di Jalan Gang Lombok. Menurut sejarahnya pada tahun 1845 diadakan renovasi klenteng Tay Kak Sie dan pendirian rumah Abu Kong Tik Soe di sebeleh klenteng tersebut. Rumah abu ini dahulu berfungsi sebagai Kongkoan (kantor administrasi masyarakat etnis keturunan China), sekolah anak miskin, dan rumah abu. Sekarang hanya berfungsi sebagai rumah abu dan beberapa fungsi social seperti balai pengobatan umum.
    • Perkumpulan Rasa Dharma (Boen Hian Tong) terletak di Jalan Gang Pinggir. Menurut sejarahnya, tanggal 9 Februarui 1876 didirikan perkumpulan Boen Hian Tong di Gang Gambiran. Perkumpulan ini bertujuan untuk memupuk kerukunan dan hubungan antar anggota dengan jalan mempelajari dan mengembangkan seni music Lam Kwan tiap tanggal 1 dan 15 Imlek dalam pertemuan kekeluargaan. Sekarang gedung ini berfungsi sebagai aula serba guna untuk mengadakan kegiatan social para penduduk kawasan Pecinan.
    • Kompleks Biara dan Sekolah Kebon Dalem yang dikelola Tarekat Para suster Penyelenggara Ilahi (PI), terletak di Jalan Gang Pinggir. Biara dan komplek ini dahulu merupakan rumah abu dan tempat tinggal Mayor Cina Be Biauw Tjoan. Ketika keluarga tersebut mengalami kemunduran dalam usahanya, komplek bangunan ini kemudian dilelang tahun 1936.

    Walaupun terdapat ruang public yang biasa digunakan untuk kegiatan bersama masyarakat Pecinan, tapi sebenarnya proses interaksi justru terjadi paling banyak di jalan muka rumah. Halaman rumah yang hampir tidak ada, masa bangunan   yang saling berderet dan berdempetan serta ruang jalan yang sempit mempunyai fungsi sebagai ruang komunal untuk bersosialisasi.

    2.2.5       SKEMA STRATIFIKASI SOSIAL

    Kebijakan pemerintah kolonial yang memberikan status pada warga Cina sebagai warga   Timur Asing , telah menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Status   sebagai warga Timur Asing menempatkan status warga etnis Cina lebih tinggi dari warga pribumi, tidak terkecuali di lingkungan masyarakat Pecinan Semarang.

    . Berikut bagan stratifikasi yang terjadi pada zaman kolonial Belanda :

    Stratifikasi sosial yang terjadi   pada jaman kolonial Belanda.

    Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda telah terdapat etnis Tiong hoa yang hidup di Indonesia. Etnis Tiong hoa pada saat itu datang ke Indonesia untuk berdagang. Dengan mempertimbangkan pengaruh merreka yang besar dalam perekonomian, kemudian pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memisahkan kebersamaan antara etnis Tiong hoa dengan masyarakat pribumi karena takut apabila masyarakat pribumi dan etnis Tiong hoa bersatu akan membahayakan posisi pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda juga memberikan keistimewaan kepada etnis Tiong hoa untuk berdagang secara bebas sedangkan membatasi masyarakat pribumi untuk berdagang bahkan bertani ataupun dalam hal mengenyam pendidikan.

    Stratifikasi sosial masyarakat di pecinan semarang pada saat ini.

    Tidak dapat dipungkiri, stratifikasi sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat akan menimbulkan sebuah perubahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.   Meskipun kita telah tahu banyak tentang perubahan sosial yang ada di Pecinan semarang, kita juga di sisi lain belum mengetahui tentang perubahan itu sendiri.

    Paul B.Hoton, Chester L. Hunt, : ( Sosiologi Edisi ke-VI)

    1.1   teori perubahan sosial

    1. teori evolusioner

    teori perubahan sosial menyebuktkan bahwa perubahan sosial memiliki arah yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat

    dari tahap perkembangan bawal sampai tahap perkembangan teraklhir. Teori-teori ini juga menyebutkan bahwa, manakala tahap teraklhir dicapai, maka saat itu perubahan evolusioner pun, berakhir. Auguste comte ( 1798-1857) melihat adanya 3 tahapan perkemmbangan yang dilakukan oleh masyarakat :

    1. tahap Theologis, (theological stage) yang diarahkan oleh nilai-nilai yang dialami

    ( supranatural)

    1. tahap metafisik (   metaphysical stage) peralihan dimana kepercayaan terhadap unsure adikodrati digeser oleh prinsip-prinsip abstrak yang berkembang sebagai dasar perkembangan budaya.
    2. Tahap positif atau tahap ilmiah ( positive and scientific stage) masyarakat diarahkan oleh kenyataan yang didukung oleh prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
    1. Teori siklus

    Menurut Pitirin Sorokin (1889-1968)

    Berpandangan bahwa peradapan besar berada dalam siklus tiga system kebudayaan yang berputar tanpa akhir.

    1. Kebudayaan Ideasional (ideational cultural) yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap adikodrati ( supernatural)
    2. Kebudayaan idealistis (idealistic cultural) dimana kepercayaan terhadap adikodrati dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal
    3. Kebudayaan sensasi (sensate cultural) . dimana sensasi merupakan tolak ukur dari kenyataan dan tujuan hidup
    4. Teori fungsional dan Konflik

    –                   Para penganut teori fungsional menerima poerubahan sebagai sesuatu yang konstan dan   tidak memerlukan   penjelasan . Perubahan dianggap mengacaukan keadaan   masyarakat, pengacauan itu berhenti pada saat perubahan tersebut diintegrasikan ke dalam kebudayaan. Perubahan yang bermanfaat ( fungsional) diterima dan perubahan yang lainnya yang terbukjti tidak berguna atau disfungsional ditolak.

    –                   Teori konflik menilai bahwa yang konstan adalah konflik social bukan perubahan. Perubahan hanya merupakan akibat adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung secara terus menerus, maka terjadilah perubahan. Perubahan menciptakan kelompok baru dan kelas social yang baru.

    Struktur sosial pada setiap masyarakat, pada dasarnya berbebda beda, masyarakat Cina Klasik bersifat cenderung konservatif dan stabil. Struktur masyarakat, akan mempengaruhi kadar masyarakat secara halus dan tidak terlihat secara langsung. Inkeles dan Smith (1974) pernah melakukan bwawncara mendalam di enam Negara untuk mengetahui penyebab kesediaan orang dalam menerima perubahan.

    Menurut seorang warga di daerah pecinan   menuturkan   masyarakat pecinan saat ini sudah tidak begitu mengenal stratifikasi. Mereka menganggap semua sama. Sehingga tidak ada stratifikasi dalam   mereka berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi tanpa memandang kasta juga berlaku saat mereka berinteraksi dengan masyarakat pribumi. Karena rata-rata masyarakat yang ada di daerah pecinan saat ini merupakan tionghoa keturunan dan mereka meruipakan keturunan yang ke-4, ke-5, ke-6.

    Dalam penstratifikasian ada berbagai aspek untuk menentukan kelompok mana sebagai kelompok teratas dalam komunitas tionghoa.

    1. Berdasarkan ekonomi
    2. Berdasarkan pendidikan

    Tingkat pendidikan   juga merupakan bagian permasalahan social yang akan kita kaji dan kita cari solusinya. Mengapa demikian? Sebagian besar yang menjadi permasalahan adalah salah satunya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tidak merata, mengakibatkan sentiment dari kaum pribumi terhadap orang Tionghoa.

    1. Berdasarkan ras sosial

    Berbicara tentang ras sosial, sesungguhnya memiliki kaitan yang sangat erat dengan system   sosial yang berlaku di dalam masyarakat Pecinan. Sistem sosial yang banyak dibicarakan   adalah   terkait keberadaan   mereka ditengah tengah kaum pribumi, kepekaan mereka nterhadap kehidupan social dan perbandingan mereka secara fisik dengan kaum pribumi. Pada awalnya, ada kecemburuan yang ditimbulkan oleh kaum pribumi, mengingat kehidupan social kaum Tionghoa yang lebih terkesan mewah, rata-rata termasuk kalangan ekonomi menengah keatas, dan menempati kawasan kawasan yang eliite di kawasaan Pecinan. Sampai-sampai, sector-sektor penting pun dikuasai secara besar-besaran oleh kaum Tionghoa di sekitar kawasan Pecinan. Kehidupan sosial yang nyata sesungguhnya tidak pernah kita ketahui secara langsung, kesaksian dari masyarakat Tionghoa di kampong Pecinan. Karena kebanyakan argument, datang berasal dari kaum   pribumi yang berpendapat tentang segala macamnya, termasuk ras social. Kalau kita menelisik lebih jauh, ada bebebrapa kawasan kumuh yang juga ternyata dihuni oleh kaum Tionghoa, yang kehidupannya relatif kumuh, masyarakat Tinghoa yang berpenvdapaktan minim, kdan taraf hidupnya tidak meningkat. Namun, tetap saja dibandingkan dengan   ras-ras yang lain, masyarakat Cina yang tinggal di Negara manapun adalah termasuk dalam katagori manusia-manusia yang rajin dalam hal mencari, atau meningkatkan peningkatan hidup yang lebih baik. Sejarah masa lalu, juga sebenanrnya sangat mempengaruhi , yang paling kentara adalah sentimen rasial di Tionghoa pada tahun 1980 yang secara garis besar bersumber pada masalah ekonomi yang tidak merata. Etnis Tionghoa yang memiliki jiwa dagang yang ulet, pekerja keras, pola pikir yang memiliki harapan ke depan, itu juga yang membuat isentimen-sentimen itu muncul. Pada dasarnya, prinsip yang dianut kaum Tionghoa, bisa   diterapkan oleh orang Indonesia, dan tidak seharusnya menim,bulkan sentiment rasial. Kehidupan orang dari segi sosiaal   kaum manapun sebenarnya bias diubah ldengan menerapkan prinsip-prinsip yang baik, dan jangan menjadi penganut semboyan “ nriman ing pandum .

    1.1 Awal Mula Stratifikasi Sosial di Pecinan Semarang

    Interaksi di kampung pecinan yang   mayoritas adalah etnis   tionghoa mengakibatkan munculnya beberapa   masalah dengan   kaum   pribumi yang bertempat tinggal di sekitarnya. Salah satu masalah yang ada adalah stratifikasi social antara masyarakat etnis tionghoa dengan masyarakat pribumi.   Stratifikasi social adalah sistem perbedaan status yang berlaku di masyarakat. Perbedaan status ini biasanya dilihat dari sisi ekonomi ataupun dari keturunan. Stratifikasi   juga berlaku di kawasan pecinan. Berikut awal mula terjadinya stratifikasi social di Daerah Pecinan Semarang:

    • Stratifikasi social yang ada di daerah ini muncul pertama kali pada masa Zaman Penjajahan Belanda. Stratifikasi social ini muncul karena latar belakang kepentingan politik pada masa itu. Pemerintah Belanda pada saat itu membeda-bedakan antara etnis China dengan Kaum Pribumi. Mereka membuat hubungan kaum pribumi dengan etnis Tionghoa yang pada saat itu baik menjadi ada jarak di antara mereka. Pemerintahan belanda khawatir jika kaum pribumi dan etnis tionghoa bersatu akan membahayakan keberadaan mereka di kota Semarang . Pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda mengkotak-kotakkan kaum pribumi dengan etnis Cina, serta mengistimewakan masyarakat etnis Cina sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antara masyarakat pribumi dengan etnis Cina.
    • Stratifikasi sosial pada masa Penjajahan Belanda berlanjut pada masa Orde Lama. Pada masa orde lama motif stratifikasi   hampir sama dengan pada masa penjajahan Kolonial Belanda yaitu kepentingan politik. Politik ini dibuat seakan-akan stratifikasi muncul dari dalam etnis tionghoa. Pada saat itu presiden Soekarno mencetuskan Nasakom yang mengakibatkan Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok nasionalis, agamis, dan komunis. Karena Indonesia punya hubungan diplomatic dengan Cina yang Notabena ialah Negara komunis maka banyak golongan nasionalis dan agamis membenci Cina sampai kepada etnis  Cina yang telah berada di Indonesia.
    • Stratifikasi sosial pada masa orde baru juga hampir sama dengan masa-masa pemerintahan sebelumnya, bahkan jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan pada masa ini etnis tionghoa sama sekali tidak   bebas dalam menjalankan aktifitasnya sebagai seorang warga negara, bahkan saat beribadah   pun mereka harus sembunyi-sembunyi. Dan mereka harus memeluk agama yang diakui di Indonesia seperti Kristen ataupun Khatolik hal itu dikarenakan kepercayaan Kong Hu Chu dianggap sebagai komunis oleh pemerintah Indonesia.
    • Stratifikasi Sosial pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mulai dihapuskan. Masyarakat Pecinan mulai terbuka kembali untuk beraktifitas kembali seperti sedia kala. Mereka diijinkan untuk melakukan interaksi dengan kehidupan luar tanpa hauru takut untuk dicekal sebagai kaum komunis. Mereka juga diperbolehkan untuk menunjukkan kebudayaan mereka. Mereka juga diperbolehkan untuk menganut agama sesuai dengan ajaran leluhurnya, menyelenggarakan upacara-upacara peribadatan dengan tata cara China. Walaupun pada awal dijinkannya Kebudayaan Tionghoa untuk hadir di masyarakat, masyarakat Etnis tionghoa masih merasa takut. Mereka takut untuk memunculkan kembalikebudayaan mereka karena trauma dengan peristiwa anti etnis china yang terjadi pada masa orde lama.

    1.2 Stratifikasi Sosial Di Pecinan Pada Masa Sekarang

    Stratifikasi social yang ada di pecinan saat ini tidak seradikal pada masa zaman penjajahan belanda, masa orde lama, ataupun masa orde baru. Stratifikasi social saat ini yang terjadi di pecinan lebih kepada perbedaan status ekonomi yang terlihat sangat mencolok. Di satu daerah berjejer toko emas yang begitu ramai tapi di daerah lain di pecinan ada warga yang hidup dibawah garis kemiskinan.

    Stratifikasi yang ada di pecinan mulai terlihat saat memasuki kawasan ini. Di daerah kranggan (Jl. K. H. wahid hasyim) berjejer   toko-toko emas, seperti toko emas Bali, Serimpi, yang setiap harinya tidak pernah sepi pembeli. FOTO.Bahkan menurut Lurah Kranggan, kawasan Kranggan ini menjadi acuan untuk harga emas kota semarang. Selain berjajar toko emas, kawasan kranggan juga banyak toko-toko tekstil besar, yang juga menjadi tujuan para pedagang tekstil partai besar, semisal toko tekstil jangkrik. Toko yang sangat terkenal di kalangan ibu-ibu kota Semarang jika ingin membeli kain-kain untuk keperluan rumah tangga ataupun kantor. Berbeda dengan kawasan kranggan yang begitu mentereng, semakin kita masuk ke dalam gang-gang kawasan pecinan akan terasa ada stratifikas disana. Walaupun tidak begitu mencolok karena tertutupi oleh model-model bangunan yang hampir sama.

    Dari hasil kutipan wawancara yang dilakukan oleh wartawan Koran Radar Semarang terbitan tanggal 8 september 2009 kepada   lurah kelurahan Kranggan ( Ali Sofyan) kecamatan Semarang utara menyebutkan bahwa masyarakat kelurahan Kranggan yang mayoritas etnis Cina sangat sulit membaur dengan warga pribumi. Padahal dari 5401 penduduk yang ada di kelurahan   kranggan yang tersebar di 5RW hanya ada satu RW saja yang warganya adalah warga pribumi, yaitu RW 1. Hal ini menjadi satu permaslahan bagi lurah karena apabila mengadakan kegiatan kemasyarakatan hanya warga dari RW 1 saja yang berperan aktif. Masyarakat tionghoa lebih berperan aktif   pada pengadaan dana untuk pembangunan fasilitas umum, seperti pembangunan jalan.

    Mayarakat pribumi yang ada di kawasan pecinan Semarang   hanya 15% dari total penduduk yang ada di Pecinan. Masyarakat pribumi yang ada di kawasan ini berada di RW 1. Rata-rata dari mereka bermata pencaharian sebagai pekerja di toko-toko yang ada di kawasan pecinan. Sebagian dari mereka juga ada yang memiliki toko-toko tetapi hanya sebagian kecil dari mereka walaupun tidak sebesar toko-toko yang dipunyai oleh orang tionghoa.

    Masyarakat tionghoa di kawasan pecinan ini tidak semua sebagai kaum mentereng, ada juga sebagian dari mereka yang hidup jauh dari kecukupan. Mereka tinggal di gubuk-gubuk di pinggir kali koping. Mata pencaharian dari mereka ada yang sebagai buruh, pengemis, penjual makanan. Selain itu, jika diamati secara langsung, keadan mereka yang sesungguhnya adalah msuk dalam katagori miskin. Namun, tidak semua orang mau mengerti dengan keadaan tersebut, apalagi, warga etnis Cina yang terkesan hidup mentereng sudah menutup mata mereka, dan terbentuklah sebuah anggapan bahwa memang warga Cina itu , dimanapaun dia berada adalah warga yang kaya, yang status sosialnya lebih tinggi, dan penguasa 60% lebih aset-aset negara.   Lain halnya dengan orang jawa yang ada di daerah Pecinan Semarang, mereka seringkali tidak memberikan tanggapan yang berarti menginai etnis Cina di daerah Pecinan, karena pada dasarnya mereka sudah mengeri kondisi riil etnis Cina, di kawasan Pecinan semarang. Kawasan tinggal mereka ( orang Jawa) rata- rata di area gang buntu dan gang lombok. Sementara area gang lombok, dari 90 Kepala Keluarga, yang tercatat sebagai keturunan Cina hanya berkisar 5  Kepala Keluarga, atau sebesar 5,56% saja.

    Stratifikasi sosial yang terjadi   pada jaman kolonial Belanda.

    Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda telah terdapat etnis Tiong hoa yang hidup di Indonesia. Etnis Tiong hoa pada saat itu datang ke Indonesia untuk berdagang. Dengan mempertimbangkan pengaruh merreka yang besar dalam perekonomian, kemudian pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memisahkan kebersamaan antara etnis Tiong hoa dengan masyarakat pribumi karena takut apabila masyarakat pribumi dan etnis Tiong hoa bersatu akan membahayakan posisi pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda juga memberikan keistimewaan kepada etnis Tiong hoa untuk berdagang secara bebas sedangkan membatasi masyarakat pribumi untuk berdagang bahkan bertani ataupun dalam hal mengenyam pendidikan.

    Stratifikasi sosial masyarakat di pecinan semarang pada saat ini.

    Tidak dapat dipungkiri, stratifikasi sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat akan menimbulkan sebuah perubahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.   Meskipun kita telah tahu banyak tentang perubahan sosial yang ada di Pecinan semarang, kita juga di sisi lain belum mengetahui tentang perubahan itu sendiri.

    KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KAMPUNG PECINAN

    SEMARANG

    4.1 Kebijakan Tionghoa

    Membahas mengenai kebudayaan Tionghoa, pada dasarnya tidak terlepas dari sejarah masa lampau, terlebih lagi mengenai sejarah Orde Baru Soeharto dan masa-masa Belanda. Keturunan Tionghoa  di seluruh Indonesia pada umumnya tidak berasal dari satu kelompok yang sama, mereka memiliki kebiasaan dan kehidupan yang berbeda beda. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa kebanyakan dari mereka menyetujui seharusnya adanya pembauran antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi. Namun arti dari Ëœmembaurâ„¢ atau Ëœpembauranâ„¢ bagi mereka sangatlah berbeda dengan apa yang digunakan oleh pemerintah di masa lalu. Kebijakan pun sebenarnya merupakan hal yang sangat krusial jika berkaitan dengan Orde Baru. Banyak dari kebijakan dan undang-undang yang mengenai keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa.

    Bahkan sebelum penjajah Belanda menciptakan tiga kelompok etnik sosial yang memiliki peraturan peraturan yang berbeda sama satu lainnya, imigran Tionghoa yang sudah tiba di Indonesia dan memiliki derajat yang berbeda-beda, masih mencoba mempertahankan identitas etnis aslinya. Beberapa dari keturunan Tionghoa ini memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan   karena di masa dinasti Ming (Qing) di Tiongkok, keturunan Tionghoa yang meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok (Suryadinata; 2002; hal 70). Oleh karena itu mereka berusaha untuk menciptakan dan membangun keluarga baru di Indonesia. Kelompok tersebut menggunakan bahasa daerah di tempat tinggalnya sebagai bahasa sehari-hari, di lain pihak mereka masih menganut adat istiadat Tionghoa seperti berdoa menurut kepercayaan Tionghoa tradisional (Greif; 1991; hal 1-3) atau memperingati tahun Tionghoa baru (Imlek). Kelompok ini disebut ËœPeranakanâ„¢ Tionghoa

    4.2           Identitas Kebudayaan Tionghoa

    Sudah banyak kebudayaan  Tionghoa yang terpisah dengan kebudayaan masyarakat   pribumi. Jadi tidak mengherankan kalau ada identitas kebudayaan atau etnis Tionghoa yang masih kuat tanpa adanya percampuran dari manapun, selain itu juga masih lestari sampai dengan saat ini. Mengingat sejarah orang-orang Tionghoa dan keberadaan mereka di Indonesia usaha yang mencapai pembauran  dulu, relatif baru dan tidak lama. Namun, walaupun mereka terkesan membaur, tapi pada dasarnya mereka tetap menjaga dan tidak mencampurkan antara kebudayaan pribumi dengan kebudayaan yang asli mereka bawa sendiri. Justru, pada masa yang lalu, ada beberapa pemikiran dari kaum pribumi untuk menghapuskan kebudayaan tionghoa dan menggantikannya secara murni milik pribumi, atau yang kita kenal dengan “pembauran lengkap .namun, sampai saat ini hal itu tidak terjadi.   Faktor ini dan identitas terpisah yang bersejarah berarti bahwa pembauran lengkap, yaitu penghapusan kebudayaan Tiongoa, akan sulit dicapai. Akan tetapi keberadaan hukum-hukum yang mendorong tujuan pembauran lengkap berarti hanya memberi kesempatan yang sempit meraih pembauran semacam ini.

    4.3             Sosial Budaya Kawasan Pecinan Semarang

    a. Kependudukan

    mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan pecinan adalah warga keturunan Cina yang terbagi dalam dua kelompok kultur yaitu :

    –                   Masyarakat Totok, yang masih berorientasi ke kebudayaan asalnya, keterikatan dengan leluhur dan adat istiadat leluhur masih kuat.

    –                   Masyarakat Peranakan, yang sudah melebur dalam budaya local, sudah kehilangan identitas aslinya dan mengalami pergeseran dalam budaya dan tata nilainya.

    Secara umum, penduduk kawasan Pecinan terbagi sebagai berikut :

    –                   Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir dan memiliki kapling di kawasan tersebut dari warisan leluhurnya

    –                   Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir namun hanya menggunakan kaplingnya sebagai tempat berdagang atau took, sedang tempat tinggalnya berada di luar kawasan Pecinan

    –                   Penduduk yang tidak tetap (boro) mereka tidak tinggal menetap di kawasan Pecinan ini. Hanya karena pekerjaannya mereka berada di kawasan Pecinan ini, misalnya buruh pekerja atau pedagang non permanen di pasar.

    Sebagian besar penduduk asli di kawasan Pecinan Semarang masih menganut kepercayaan Tri Darma ( Konfusionisme, Taoisme dan Buddhisme). Ketiga ajaran tersebut saling melengkapi. Dan, bagi orang Cina pada umumnya, religi mencakup kepercayaan pada Dewa-Dewa local dan roh-roh. Hal tersebut sangat mempengaruhi keseharian mereka. Hal ini membawa karakteristik pada kawasan Pecinan Semarang.

    Dikarenakan masyarakat etnis Tionghoa memiliki tingkat sosial yang cenderung tidak setinggi orang Jawa, maka hal yang paling menonjol dari etnis Cina adalah aktivitas budaya, yang senantiasa berkembang, walaupun mereka hidup berdampingan dengan orang Jawa.   Kebudayaan dan kehidupan sosial etnis Cina memiliki kaakter yang tidak jauh berbeda, itulah yang menjadi cirikhas mereka, yakni bisa menyeimbangkan antara budaya dan sosial, meskipun menurut anggapan orang Jawa, itu masih sangat kurang.

    Setiap ada ritual yang dilaksanakan oleh etnis Cina biasanya menyelenggarakan acara-acara seperti Imlek, mereka biasanya menyelnggarakan secara meriah, seperti membunyikan petasan, tari-tarian dan itu disambut warga etnis Cina dengan suka cita. Orang Jawa tidak pernah mempermasalahkan dengan apa yang dilakukan oleh Etnis cina di Pecinan, karena sudah merupakan tradisi ketika mereka menyelenggarakan ritual-ritual keagamaan tiap tahunnya. Justru kadang orang Jawa sering diundang dalam perayaan-perayaan sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap orang Jawa, dan ucapan terimakasih mereka terhadap kaum pribumi yang telah membantu mereka dalam bersosialisasi dan mengajarkan mereka dengan baik

    V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Stratifikasi masyarakat sangat berhubungan   erat dengan sistem   sosial yang berlaku dalam   sebuah   lingkungan.   Termasuk keberadaan etnis Cina di Kampung Pecinan Semarang yang juga tidak kalah   menimlbulkan anggapan dan persepsi yang bermacam-macam dari kaum   pribumi, yang nota benenya mereka adalah benar benar asli Warga Negara Indonesia yang dari keturunan pertama hingga keturunan yang terakhir tumbuh dan mengembangkan sayapnya di Indonesia. Walaupun sebenarnya berbagai persepsi juga muncul dari etnis Cina di Indonesia yang juga memiliki anggapan tersendiri tentang sistem social orang asli Indonesia. Dari mulai kedatangan   mereka hingga sejarah yang kadang tidak memiliki persepsi yang sama, namun pada dasarnya dapat dijabarkan sebagai berikut :

    Masyarakat Tionghoa adalah warga pendatang yang bertempat tinggal, menetap atau  menjalankan  usaha dalam suatu wilayah berdasarkan etnisitas yang dikenal sebagai Pecinan. Sebutan masyarakat Tionghoa adalah sebutan untuk warga keturunan Cina yang sudah lama menetap di Indonesia. Masyarakat pribumi adalah penduduk asli yang bertempat tinggal dan sudah berada di suatu wilayah secara turun-temurun. Karena mereka hidup dalam suatu lingkungan yang berdekatan maka mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain. Sangatlah wajar jika ada dua golongan yang berbeda, kemudian menimbulkan stratifikasi  sosial yang pada Kawasan Pecinan Semarang, yang  merupakan kawasan pemukiman masyarakat Cina yang telah datang secara berangsur-angsur ke Semarang sejak bebrapa abad yang lalu. Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang dan bermukim di Indonesia,   beberapa ahli sejarah   seperti Lombard (1996) dan Reid (1999)   menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini adalah kerajaan Majapahit.

    Diperkirakan pada sekitar tahun 1412   sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedong Batu atau Simongan dan di tepi sungai Semarang (Yoe, 1933 : 13). Pemukiman masyarakat Cina dipilih daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa   teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Daerah   yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk dihuni (Budiman. 1978: 11)

    Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu . Pada tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw   Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun orang-orang   Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri   ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini , pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan   pemukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke kawasan yang dilingkari oleh kali Semarang yang kita kenal dengan Pecinan. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap   komunitas Cina di Semarang.

    Sementara itu, gambaran secara umum Daerah Pecinan Semarang, saat ini :

    Pecinan Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah periphery yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan.

    Daerah core (inti) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Daerah ini dibatasi:

    • Batas Utara         : Jalan gang Warung, Pekojan
    • Batas Selatan   : Kali Semarang
    • Batas Timur         : Kali Semarang
    • Batas Barat         : Jl Beteng dan Pedamaran

    SARAN

    Aktivitas sosial budaya, sistem sosial dan karakteristik masyarakat yang berbeda antara etnis Cina dan orang Jawa di kampung Pecinan Semarang, adalah suatu percampuran antara kebudayaan, sistem sosial dengan komposisi yang tidak perlu dipermasalahkan,karena memang pada dasarnya kita terlahir majemuk,   hanya yang ingin dikaji adalah seberapa besar tingkat interaksi dan stratifikasi yang membatasi gerak mereka, sampai-sampai membawa kesenjangan diantara mereka. Walaupun kesenjangan tidak secara keseluruhan terjadi, namun harapannya itu tidak berdampak menjadi sebuah konflik.   Integrasi sosial yang harmonis dan mantap tetap merupakan hal yang utama yang harus dijaga, karena memang etnis Cina di kawasan Pecinan Semarang sudah merupakan bagian dari Republik Indonesia yang harus saling menjaga antara satu dengan yang lainnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Budiman, Amen. 1979. Semarang Juwita. Semarang : Penerbit Tanjung sari.

    ——————–.1978. Semarang Riwayatmu Dulu. Semarang : Penerbit Tanjung Sari.

    Pramono, Lenny. 2005. Karakteristik Arsitektur Kawasan Pecinan Semarang. Laporan Skripsi Universitas Katolik Parahyangan.

  • Pemerintah Tak Akan Diskriminasi Pendidikan Nonformal

    Pemerintah tidak akan mendiskriminasi pendidikan nonformal sehingga tidak boleh ada faktor pembeda dalam segala bentuk pendidikan. “Kebijakan tahun 2010-2014 adalah non-diskriminasi, tidak boleh ada faktor pembeda dalam segala bentuk pendidikan,” kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh di Surabaya.

    Menurut dia, dalam pendidikan tidak boleh ada diskriminasi antara negeri dengan swasta, pendidikan agama dengan umum, desa dengan kota, kaya dengan miskin, laki-laki dengan perempuan, dan formal dengan nonformal. “UU Sisdiknas sudah mengatur Pemerintah harus menjadi payung untuk semua. Kalau payung itu terlalu condong ke kanan atau ke kiri, maka akan ada yang kehujanan atau kepanasan,” katanya.

    Dalam kesempatan itu, mantan Rektor ITS Surabaya itu mengingatkan pengelola dan peserta pendidikan nonformal tentang tiga pesan dalam pengembangan pendidikan nonformal. “Pengelola atau peserta tidak boleh mempunyai penyakit rendah diri, pendidikan nonformal harus berbasis komunitas atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan perlunya pemberdayaan kelompok sasaran,” katanya.

    Misalnya, layanan pendidikan anak jalanan itu tidak harus menetap, karena anak jalanan itu selalu bergerak, sehingga layanan pendidikannya harus menyesuaikan kekhasan dari anak jalanan itu. “Atau, peserta didik yang hanya berbakat dalam memotong rambut, menjahit, komputer, handphone, atau apa pun, maka layanan pendidikan untuk mereka harus disesuaikan dengan ketrampilan yang dibutuhkan,” katanya.

    Didampingi Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PM-PTK) Kemendiknas Prof Dr Baedhowi MSi dan Kepala Dinas Pendidikan Jatim Suwanto, ia mengatakan, pendidikan nonformal bukan berarti tanpa standar. “Paling tidak, rapat koordinasi kali ini akan membahas kualifikasi minimal dari pendidikan nonformal yang mencapai 100 jenis lebih,” katanya.

    Selain itu, katanya, pendidikan nonformal yang berperan besar dalam pengembangan kewirausahaan itu juga perlu diberdayakan melalui penguatan jejaring antarprovinsi atau antarkabupaten/kota untuk saling bekerja sama. “Karena itu, sejumlah pejabat seperti Bupati Situbondo, Bupati Nunukan, dan sebagainya akan menjadi nara sumber yang akan membantu pengelola dan tenaga pada pendidikan nonformal,” katanya. (Ant)

    Sumber

    http://sosialbudaya.tvone.co.id

  • DONGENG PENDIDIKAN

    Alkisah di kerajaan hewan setelah ergantinya kepemimpinan dari singa kepada burung Rajawali tercipta sebuah pembaharuan bagi system pendidikan di kerajaan ini. Sang Raja menginginkan agar ketika kepemimpinannya dia bisa mewariskan rakyatnya yang multi talented.

    Jadi setelah dikumpulkan seluruh rakyat dalam sebuah konsensus nasional hewan, disepakatilah perubahan tersebut, mulai saat itu semua hewan belajar berbagai macam keahlian. Kodok belajar manjat, monyet belajar terbang, burung belajar berenang. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, mulailah terjadi perubahan dalam kerajaan hewan ini. Sang monyet yang belajar terbang ternyata belum bisa menguasai bagaimana cara terbang yang baik dan benar, dia terus berusaha ¦berusaha dan akhirnya dia melupakan bagaimana cara (lebih…)