PERBEDAAN STRATA SOSIAL DAN KEBUDAYAAN ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN MASYARAKAT PRIBUMI DI KAMPUNG PECINAN SEMARANG
Oleh:
Akhmad Aqil Aziz 1201407026
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
ABSTRAKSI
Sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia dianugrahi berbagai macam kekayaan alam maupun budaya. Kekayaan budaya yang terdapat di Indonesia salah satunya ialah kebudayaan sosial masyarakat keturunan cina yang telah berlangsung lama sebelum bangsa ini berdiri tegak. Indonesia yang multikultur memiliki kewajiban untuk menjaga tetap bersatunya berbagai etnis yang hidup di tanah air kita tercinta ini. Di dalam masyarakat yang majemuk terdapat berbagai interaksi social yang berbeda tiap masing-masing daerah.
Begitu pula yang terjadi pada masyarakat yang bertempat tinggal di area atau kawasan Pecinan Semarang. Interaksi sosial masyarakat yang majemuk dan berbeda adat istiadat mengharuskan mereka untuk mampu beradaptasi dengan baik agar dapat hidup berdampingan secara serasi dan bertenggang rasa dengan ras lain yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Dalam kawasan Pecinan Semarang, terdapat berbagai ras yang menempatinya, antara lain ialah etnis Tiong hoa, warga keturunan arab, serta masyarakat asli pribumi.
Sebagai kawasan yang cukup eksklusif di daerah Semarang, Pecinan menjadi sebuah bagian penting dalam pelestarian budaya serta penggerak ekonomi kota Semarang.
I
PENDAHULUAN
- A. LATAR BELAKANG
Keberadaan masyarakat Tionghoa di tengah-tengah kehidupan masyarakat pribumi adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Kenyataan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Keberadaan mereka baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pribumi yang berada di sekitar mereka. Secara kuantitatif, masyarakat Tionghoa merupakan minoritas di tengah masyarakat Indonesia. Hal itu juga berlaku di Semarang. Masyarakat tionghoa di semarang tersebar hampir di seluruh wilayah kota Semarang. Tapi sebagian dari mereka tinggal dan mencari nafkah di kawasan Pecinan. Data BPS provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa jumlah penduduk Tionghoa di daerah Pecinan kecamatan Semarang Tengah berjumlah 5.401 jiwa. Jumlah penduduk di daerah Pecinan berdasarkan data BPS pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Masyarakat Tionghoa adalah warga pendatang yang bertempat tinggal, menetap atau menjalankan usaha dalam suatu wilayah berdasarkan etnisitas yang dikenal sebagai Pecinan. Sebutan masyarakat Tionghoa adalah sebutan untuk warga keturunan Cina yang sudah lama menetap di Indonesia. Masyarakat pribumi adalah penduduk asli yang bertempat tinggal dan sudah berada di suatu wilayah secara turun-temurun. Karena mereka hidup dalam suatu lingkungan yang berdekatan maka mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Kawasan Pecinan Semarang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Cina yang telah datang secara berangsur-angsur ke Semarang sejak bebrapa abad yang lalu. Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang dan bermukim di Indonesia, beberapa ahli sejarah seperti Lombard (1996) dan Reid (1999) menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini adalah kerajaan Majapahit.
Diperkirakan pada sekitar tahun 1412 sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedong Batu atau Simongan dan di tepi sungai Semarang (Yoe, 1933 : 13). Pemukiman masyarakat Cina dipilih daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Letaknya yang strategis ini menjadi kunci utama dari bandar Semarang. Daerah yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk dihuni (Budiman. 1978: 11)
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu. Pada tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun orang-orang Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini , pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan pemukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke kawasan yang dilingkari oleh kali Semarang yang kita kenal dengan Pecinan. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap komunitas Cina di Semarang.
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu. Pada tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun orang-orang Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini , pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan pemukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke kawasan yang dilingkari oleh kali Semarang yang kita kenal dengan Pecinan. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap komunitas Cina di Semarang.
Kawasan Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi (etnis Jawa). Warga Pecinan, baik dari etnis Cina maupun Jawa telah berinteraksi dalam dalam waktu yang lama. Interaksi sosial antara warga etnis Cina dengan pribumi tidak selalu berjalan harmonis. Ketidakharmonisan interaksi sosial ini tercipta oleh berbagai kebijakan pemerintah dari sejak masa kolonial sampai saat ini.
Kebijakan pemerintah kolonial yang memberikan status pada warga Cina sebagai warga Timur Asing , telah menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Status sebagai warga Timur Asing menempatkan status warga etnis Cina lebih tinggi dari warga pribumi, tidak terkecuali di lingkungan masyarakat Pecinan Semarang
- B. RUMUSAN MASALAH
Masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi memiliki karakteristik yang berbeda dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan sejarah perkembangan masyarakatnya, telah menimbulkan jarak yang menjurus pada konflik dan sentimen sosial. Hal tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan, antara lain :
- Bagaimana bentuk stratifikasi dan interaksi sosial antara etnis Cina dan Orang Jawa di Kampung Pecinan Semarang?
- C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
- Menyingkap fenomena mengenai kesenjangan yang terjadi antara etnis Cina dan masyarakat Jawa.
- Merubah paradigma negatif masyarakat Tionghoa dimata masyarakat Jawa.
- Mengintegrasikan masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
- Mengembangkan budaya meneliti di kalangan mahasiswa.
- D. KEGUNAAN PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mempublikasikan dan menceritakan kembali tentang sejarah masa lalu kebudayaan Tionghoa. Selain itu, untuk lebih mengetahui apa sebenarnya yang mengakibatkan adanya jarak yang memisahkan antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi sehingga terjadi konflik dan sentimen negatif dari masing-masing pihak. Dan diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian berikutnya.
- E. RUANG LINGKUP PENELITIAN
1.1 Lingkup Tempat
Penelitian dilakukan di kawasan Pecinan Semarang yang terlatak di Kelurahan Kranggan dan Kauman Kecamatan Semarang Tengah. Pengamatan dilakukan dengan melihat obyek fisik yang ada meliputi kawasan Gang Beteng, gang pinggir, gang tengah, gang Lombok( tempat rongsokan),lebon dalam, gang besen, kali koping, gang buntu , klenteng Tay Keik Sie, Gedung Rasa Darma.
1.2 Ruang Lingkup Materi
Studi ini bersifat deskriptif analitis, dimana data-data lapangan akan dibaca, dianalisis, dan diklasifikasikan sehingga didapat suatu deskripsi yang komprehensif. Pembahasan menekankan pada proses pembentukan Pecinan Semarang , serta menganalisis karakter dari pemukinan China ini berdasarkan obyek fisik yang tersisa sekarang.
- F. LUARAN
Luaran yang diharapkan pada pengajuan proposal ini yaitu artikel ilmiah tentang perbedaan strata dan kebudayaan antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi di kampung Pecinan Semarang.
II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebudayaan atau cultuur kebudayaan sebagai segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Joko Widagdo, 1994).
Dinamika kebudayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras, tidak dipungkiri menimbulkan stratifikasi dan diferensiasi sosial. Stratifikasi sosial adalah sistem perbedaan status yang berlaku di dalam suatu masyarakat.( Paul B.Horton, 2004 ).
Dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah mencolok karena golongan buruh tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini di sebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dengan si majikan.
(Koentjoroningrat, 1987)
Di Indonesia, proses integrasi antara suku-suku bangsa memang sudah dimulai, tetapi masih terlampau lambat karena kurang pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan dari suku bangsa atau golongan yang lain. (Koentjoroningrat, 1987)
Dalam masyarakat orang Tionghoa di Semarang terdapat banyak perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan orang kaya. Namun perbedaan itu tidsak sangat mencolok karena golongan buruh tidak menyadari kedudukannya dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.
III
METODE PENELITIAN
Pembahasan dan analisis dari studi ini dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data fisik. Metode pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:
– Berdasarkan hasil studi literatur
– Pengamatan dan survey lapangan di kawasan Pecinan Semarang
– Menganalisis data-data yang didapat dari studi literatur dan pengamatan serta menarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut
1.1.1 Metode Pengumpulan Data
– Studi literature dari buku cetak, jurnal dan skripsi yang membahas tentang kebudayaan Tionghoa, kawasan Pecinan, serta studi serupa yang berkaitan.
– Pengumpulan data dengan metoda wawancara
– Pengumpulan data dengan survey langsung di kawasan Pecinan Semarang
1.1.2 Metode Analisa Data
– Dari hasil studi literatur dan pengamatan lapangan di kawasan Pecinan Semarang dibandingkan antara Etnis Tionghoa dan kaum pribumi
– Dilakukan analisa terhadap kawasan Pecinan Semarang
– Dari hasil pengamatan, dapat diketahui perbedaan strata antara Etnis Tionghoa dengan kaum pribumi terkait dengan kehidupan sosial dan ekonomi mereka.
1.1.3 Metode Penarikan Kesimpulan
– Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan studi literature,non literaturan hasil pengamatan
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
GAMBARAN UMUM DAERAH PECINAN SEMARANG
Gambaran Umum Kawasan Pecinan Semarang Pada Saat Ini
2.1 Kawasan Pecinan Semarang Sebagai Kawasan Penelitian
Pecinan Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah periphery yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan.
Daerah core (inti) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Daerah ini dibatasi:
- Batas Utara : Jalan gang Warung, Pekojan
- Batas Selatan : Kali Semarang
- Batas Timur : Kali Semarang
- Batas Barat : Jalan Beteng dan Pedamaran
Dengan jalan utamanya sekarang adalah :
- Jalan Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari jalan Pekojan
- Jalan Gang warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
- Dan Jalan Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan Inti Pecinan sejak dulu.
Jalan-jalan lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan gang Cilik berada di kawasan ini. (lihat gambar) Di daerah inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun untuk melindungi penduduk di dalamnya dari serangan pasukan musuh. Masyarakat di daerah ini 99% merupakan WNI keturunan. Peruntukan lahan di kawasan ini adalah sebagai pusat perdagangan dan jasa. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok tersendiri.
Daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti namun masih dapat diidentifikasi sebagai daerah Pecinan meliputi : Pekojan, Kranggan, Gang Lombok, Petolongan, Petudungan, Gabahan, dan sebagian Jagalan.
- Pekojan menghubungkan kawasan Pecinan dengan daerah kota Lama (dahulu kawasan pemerintahan Belanda)
- Petudungan dengan kawasan Timur kawasan Pecinan
- Kranggan yang merupakan pusat perdagangan emas menghubungkan Pecinan dengan Jalaln Gajah Mada.
- Wotgandul dengan kawasan Brumbungan dan Jagalan.
Masyarakat yang bermukim di kawasan Pecinan Semarang ini 75% merupakan WNI keturunan, sisanya merupakan warga pribumi dan WNA. Klenteng masih dapat ditemukan di beberapa tempat. Peruntukan lahan pula sebagai pusat perdagangan dan jasa.
2.2. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di Kawasan Pecinan Semarang
2.2.1. Kependudukan
Penduduk yang tinggal di kawasan Pecinan Semarang ini adalah warga keturunan Cina yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :
- Masyarakat Cina totok yang masih berorientasi pada kebudayaan aslinya, dan mempunyai keterkaitan dengan leluhur serta adat-istiadat dari negara asalnya.
- Masyarakat Cina peranakan, yang sudah melebur dalam budaya lokal, dan sudah kehilangan identitas aslinya serta mengalami pergeseran dalam budaya dan tata nilainya.
Secara umum penduduk di kawasan pecinan ini terbagi menjadi sebagai berikut :
- Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir dan memiliki kapling di kawasan tersebut dari warisan leluhurnya.
- Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir, namun hanya menggunakan kaplingnya sebagai tempatberdagang atau toko, sedang tempat tinggalnya berada di luar Pecinan.
- Penduduk yang tidak tetap, mereka tidak tinggal menetap di kawasan Pecinan ini. Hanya karena pekerjaannya mereka berada di kawasan Pecinan ini, misalnya buruh kerja atau pedagang non permanen di pasar.
2.2.2. Kepercayaan dan Religi
Religi masyarakat etnis Tiong hoa selalu dipengaruhi oleh pemujaan terhadap arwah leluhur dan tiga ajaran utama, yaitu ; Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhism. Sebagian besar masyarakat asli kawasan Pecinan Semarang masih menganut kepercayaan Tri Dharma (Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhism). Ketiga ajaran tersebut terkait erat dan saling melengkapi. Dan, bagi etnis Tiong hoa pada umumnya, religi mencakup kepercayaan terhadap dewa-dewa local dan roh-roh; hal tersebut mempengaruhi keseharian mereka.
- Ajaran Konfusianisme
Pokok ajaran Konfusius atau Kong Hu Chu adalah untuk menyelamatkan dunia melalui pengajaran moral etika terhadap manusianya. Mereka diarahkan agar berusaha menyempurnakan serta menyucikan hati serta pikirannnya menuju keseimbangan yang harmonis, ajaran konfusius mewajibkan :
Adanya pemujaan terhadap Tâ„¢ian
Tâ„¢ian atau Tuhan menjadi awal atas sumber segala kesadaran alam semesta. Konsep Konfisius terhadap Tâ„¢ian bersifat ke Tuhanan dan alam.
Pemujaan terhadap arwah leluhur
Bagi etnis Tiong hoa, pemujaan terhadap leluhur mengingatkan mereka akan asal-usulnya. Dengan menghormati arwah leluhur mereka percaya bahwa anggota keluarga yang masih hidup akan senantiasa dilindungi, oleh sebab itu sangat penting bagi merekauntuk tetap menjalin hubungan baik dengan arwah leluhur. Pemujaan terhadap arwah leluhur di pandang sebagai bakti anak terhadap leluhur.
Penghormatan terhadap Konfusius
Konfisius dihormati sebagai guru besar yang telah berjasa menempatkan ajaran moral dan spiritual bagi etnis Tiong hoa.
- Ajaran Taoisme
Taoisme merupakan dasar pikiran budaya orang Cina. Tokohnya adalah Lao Tze yang menulis kitab Dao De Jing yang menjadi inti ajaran Taoisme. Taoisme menekankan ajarannya pada hidup mengikuti kehendak alam, hakekat keharmonisan antara kehidupan langit (alam gaib) dengan kehidupan di bumi dan manusia (alam, dunia nyata). Taoisme mengajarkan upacara untuk mencapai kesempurnaan hidup yang bertemapt di Klenteng. Inti ajaran Taoisme adalah selalu berusaha untuk mengikuti kehendak alam, ajaran Tao mengatur secara hierarkis arah-arah mata angin yang penting:
- Arah Timur sama dengan musim panas bersimbol warna merah
- Arah Barat sama dengan musim gugur berrsimbol warna putih
- Arah Utara sama dengan musim dingin bersimbol warna hitam
- Arah Selatan sama dengan musim semi bersimbol warna biru
- Ajaran Buddhism
Ajaran Buddhism yang paling menonjol adalah kepercayaan adanya hidup setelah mati (reinkarnasi). Alam semesta memiliki tingkatan hirearkis, yaitu pemutasian kekuatan Yin (wanita/kegelapan) dan Yang (pria/terang) dan kombinasi lima elemen alam, yaitu: logam, kayu, api, air, dan tanah/bumi.
2.2.3 Mata Pencaharian
Mata pencaharian yang paling mencolok dari masyarakat etnis Tiong hoa yang hidup di kawasan Pecinan Semarang adalah berdagang. Hal ini terlihat dari motivasi awal orang Cina datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia khususnya di Semarang mereka sangat berperan penting dalam bidang perdagangan dan industri.
- Pertokoan tekstil di Jalan Gang Warung
- Toko obat-obatan Cina dan apotek di Jalan Gang Warung
- Jalan Gang Pinggir sebagai pusat perdagangan emas dan perhiasan
- Jalan Gang Pinggir, Wot Gandhul Timur dan Gang Warung amat terkenal sebagai pusat makanan/ rumah makan. Mulai sore dan malam hari terdapat banyak PKL yang membuka tenda untuk berjualan makanan di sepanjang Jalan Gang Pinggir ini.
- Jalan Gang Besen dulunya terkenal sebagai pusat perdagangan peralatan besi sekarang berkembang menjadi area pemukiman dan perkantoran.
- Jalan Gang Tengah sebagai pusat perkantoran Bank.
- Jalan Gang Baru, sebagai Shopping street, berfungsi sebagai pasar tradisional . Jalan Gang Baru dan Gang Beteng merupakan tempat penjualan hasil bumi.
- Jalan Gang Belakang serta Gang Gambiran sebagai area pemukiman.
- Toko Cinderamata Khas Cina dan perlengkapan sembahyang di Jalan Gang Pinggir dan Gang Baru.
- Pertokoan baik toko grosir, toko kelontong, dan toko emas di Gang Beteng, Gang Warung, dan Gang Pinggir yang memulai kegiatan pada pukul 06.00 hingga pukul 16.00.
- Rumah yang sekaligus berfungsi untuk tempat usaha (ruko), baik berupa pertokoan maupun pelayannan jasa terletak di Jalan Beteng, Gang Warung, Gang Pinggir, Wotgandul, dan Gang Baru. Memulai kegiatan pada pukul 06.00 hingga pukul 16.00.
- Warung/ PKL yang banyak terdapat di sepanjang Gang Pinggir dan Gang Warung, kebanyakan warung ini buka pada sore/ malam hari, setelah toko-toko tutup, mulai pukul 18.00 sampai 22.00
- Pasar tradisional yang terletak di sepanjang Jalan Gang Baru merupakan pusat aktifitas perdagangan hasil bumi dan kelontong di kawasan Pecinan yang mulai aktif sejak pukul 04.30 sampai dengan pukul 14.00
2.2.4 Tempat Perkumpulan Sosial
Untuk menampung kegiatan bersama masyarakat biasanya menggunakan balai RT/RW yang ada atau halaman sekolah maupun halaman depan beberapa klenteng yang luas, serta halaman komplek bangunan yayasan. Terdapat juga beberapa fasilitas social yang dikelola oleh perkumppulan/ yayasan social budaya, seperti :
- Rumah abu Kong Tik Soe yang terletak di sebelah klenteng Tay Kak Sie di Jalan Gang Lombok. Menurut sejarahnya pada tahun 1845 diadakan renovasi klenteng Tay Kak Sie dan pendirian rumah Abu Kong Tik Soe di sebeleh klenteng tersebut. Rumah abu ini dahulu berfungsi sebagai Kongkoan (kantor administrasi masyarakat etnis keturunan China), sekolah anak miskin, dan rumah abu. Sekarang hanya berfungsi sebagai rumah abu dan beberapa fungsi social seperti balai pengobatan umum.
- Perkumpulan Rasa Dharma (Boen Hian Tong) terletak di Jalan Gang Pinggir. Menurut sejarahnya, tanggal 9 Februarui 1876 didirikan perkumpulan Boen Hian Tong di Gang Gambiran. Perkumpulan ini bertujuan untuk memupuk kerukunan dan hubungan antar anggota dengan jalan mempelajari dan mengembangkan seni music Lam Kwan tiap tanggal 1 dan 15 Imlek dalam pertemuan kekeluargaan. Sekarang gedung ini berfungsi sebagai aula serba guna untuk mengadakan kegiatan social para penduduk kawasan Pecinan.
- Kompleks Biara dan Sekolah Kebon Dalem yang dikelola Tarekat Para suster Penyelenggara Ilahi (PI), terletak di Jalan Gang Pinggir. Biara dan komplek ini dahulu merupakan rumah abu dan tempat tinggal Mayor Cina Be Biauw Tjoan. Ketika keluarga tersebut mengalami kemunduran dalam usahanya, komplek bangunan ini kemudian dilelang tahun 1936.
Walaupun terdapat ruang public yang biasa digunakan untuk kegiatan bersama masyarakat Pecinan, tapi sebenarnya proses interaksi justru terjadi paling banyak di jalan muka rumah. Halaman rumah yang hampir tidak ada, masa bangunan yang saling berderet dan berdempetan serta ruang jalan yang sempit mempunyai fungsi sebagai ruang komunal untuk bersosialisasi.
2.2.5 SKEMA STRATIFIKASI SOSIAL
Kebijakan pemerintah kolonial yang memberikan status pada warga Cina sebagai warga Timur Asing , telah menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Status sebagai warga Timur Asing menempatkan status warga etnis Cina lebih tinggi dari warga pribumi, tidak terkecuali di lingkungan masyarakat Pecinan Semarang.
. Berikut bagan stratifikasi yang terjadi pada zaman kolonial Belanda :
Stratifikasi sosial yang terjadi pada jaman kolonial Belanda.
Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda telah terdapat etnis Tiong hoa yang hidup di Indonesia. Etnis Tiong hoa pada saat itu datang ke Indonesia untuk berdagang. Dengan mempertimbangkan pengaruh merreka yang besar dalam perekonomian, kemudian pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memisahkan kebersamaan antara etnis Tiong hoa dengan masyarakat pribumi karena takut apabila masyarakat pribumi dan etnis Tiong hoa bersatu akan membahayakan posisi pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda juga memberikan keistimewaan kepada etnis Tiong hoa untuk berdagang secara bebas sedangkan membatasi masyarakat pribumi untuk berdagang bahkan bertani ataupun dalam hal mengenyam pendidikan.
Stratifikasi sosial masyarakat di pecinan semarang pada saat ini.
Tidak dapat dipungkiri, stratifikasi sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat akan menimbulkan sebuah perubahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Meskipun kita telah tahu banyak tentang perubahan sosial yang ada di Pecinan semarang, kita juga di sisi lain belum mengetahui tentang perubahan itu sendiri.
Paul B.Hoton, Chester L. Hunt, : ( Sosiologi Edisi ke-VI)
1.1 teori perubahan sosial
- teori evolusioner
teori perubahan sosial menyebuktkan bahwa perubahan sosial memiliki arah yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat
dari tahap perkembangan bawal sampai tahap perkembangan teraklhir. Teori-teori ini juga menyebutkan bahwa, manakala tahap teraklhir dicapai, maka saat itu perubahan evolusioner pun, berakhir. Auguste comte ( 1798-1857) melihat adanya 3 tahapan perkemmbangan yang dilakukan oleh masyarakat :
- tahap Theologis, (theological stage) yang diarahkan oleh nilai-nilai yang dialami
( supranatural)
- tahap metafisik ( metaphysical stage) peralihan dimana kepercayaan terhadap unsure adikodrati digeser oleh prinsip-prinsip abstrak yang berkembang sebagai dasar perkembangan budaya.
- Tahap positif atau tahap ilmiah ( positive and scientific stage) masyarakat diarahkan oleh kenyataan yang didukung oleh prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
- Teori siklus
Menurut Pitirin Sorokin (1889-1968)
Berpandangan bahwa peradapan besar berada dalam siklus tiga system kebudayaan yang berputar tanpa akhir.
- Kebudayaan Ideasional (ideational cultural) yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap adikodrati ( supernatural)
- Kebudayaan idealistis (idealistic cultural) dimana kepercayaan terhadap adikodrati dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal
- Kebudayaan sensasi (sensate cultural) . dimana sensasi merupakan tolak ukur dari kenyataan dan tujuan hidup
- Teori fungsional dan Konflik
– Para penganut teori fungsional menerima poerubahan sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan . Perubahan dianggap mengacaukan keadaan masyarakat, pengacauan itu berhenti pada saat perubahan tersebut diintegrasikan ke dalam kebudayaan. Perubahan yang bermanfaat ( fungsional) diterima dan perubahan yang lainnya yang terbukjti tidak berguna atau disfungsional ditolak.
– Teori konflik menilai bahwa yang konstan adalah konflik social bukan perubahan. Perubahan hanya merupakan akibat adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung secara terus menerus, maka terjadilah perubahan. Perubahan menciptakan kelompok baru dan kelas social yang baru.
Struktur sosial pada setiap masyarakat, pada dasarnya berbebda beda, masyarakat Cina Klasik bersifat cenderung konservatif dan stabil. Struktur masyarakat, akan mempengaruhi kadar masyarakat secara halus dan tidak terlihat secara langsung. Inkeles dan Smith (1974) pernah melakukan bwawncara mendalam di enam Negara untuk mengetahui penyebab kesediaan orang dalam menerima perubahan.
Menurut seorang warga di daerah pecinan menuturkan masyarakat pecinan saat ini sudah tidak begitu mengenal stratifikasi. Mereka menganggap semua sama. Sehingga tidak ada stratifikasi dalam mereka berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi tanpa memandang kasta juga berlaku saat mereka berinteraksi dengan masyarakat pribumi. Karena rata-rata masyarakat yang ada di daerah pecinan saat ini merupakan tionghoa keturunan dan mereka meruipakan keturunan yang ke-4, ke-5, ke-6.
Dalam penstratifikasian ada berbagai aspek untuk menentukan kelompok mana sebagai kelompok teratas dalam komunitas tionghoa.
- Berdasarkan ekonomi
- Berdasarkan pendidikan
Tingkat pendidikan juga merupakan bagian permasalahan social yang akan kita kaji dan kita cari solusinya. Mengapa demikian? Sebagian besar yang menjadi permasalahan adalah salah satunya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tidak merata, mengakibatkan sentiment dari kaum pribumi terhadap orang Tionghoa.
- Berdasarkan ras sosial
Berbicara tentang ras sosial, sesungguhnya memiliki kaitan yang sangat erat dengan system sosial yang berlaku di dalam masyarakat Pecinan. Sistem sosial yang banyak dibicarakan adalah terkait keberadaan mereka ditengah tengah kaum pribumi, kepekaan mereka nterhadap kehidupan social dan perbandingan mereka secara fisik dengan kaum pribumi. Pada awalnya, ada kecemburuan yang ditimbulkan oleh kaum pribumi, mengingat kehidupan social kaum Tionghoa yang lebih terkesan mewah, rata-rata termasuk kalangan ekonomi menengah keatas, dan menempati kawasan kawasan yang eliite di kawasaan Pecinan. Sampai-sampai, sector-sektor penting pun dikuasai secara besar-besaran oleh kaum Tionghoa di sekitar kawasan Pecinan. Kehidupan sosial yang nyata sesungguhnya tidak pernah kita ketahui secara langsung, kesaksian dari masyarakat Tionghoa di kampong Pecinan. Karena kebanyakan argument, datang berasal dari kaum pribumi yang berpendapat tentang segala macamnya, termasuk ras social. Kalau kita menelisik lebih jauh, ada bebebrapa kawasan kumuh yang juga ternyata dihuni oleh kaum Tionghoa, yang kehidupannya relatif kumuh, masyarakat Tinghoa yang berpenvdapaktan minim, kdan taraf hidupnya tidak meningkat. Namun, tetap saja dibandingkan dengan ras-ras yang lain, masyarakat Cina yang tinggal di Negara manapun adalah termasuk dalam katagori manusia-manusia yang rajin dalam hal mencari, atau meningkatkan peningkatan hidup yang lebih baik. Sejarah masa lalu, juga sebenanrnya sangat mempengaruhi , yang paling kentara adalah sentimen rasial di Tionghoa pada tahun 1980 yang secara garis besar bersumber pada masalah ekonomi yang tidak merata. Etnis Tionghoa yang memiliki jiwa dagang yang ulet, pekerja keras, pola pikir yang memiliki harapan ke depan, itu juga yang membuat isentimen-sentimen itu muncul. Pada dasarnya, prinsip yang dianut kaum Tionghoa, bisa diterapkan oleh orang Indonesia, dan tidak seharusnya menim,bulkan sentiment rasial. Kehidupan orang dari segi sosiaal kaum manapun sebenarnya bias diubah ldengan menerapkan prinsip-prinsip yang baik, dan jangan menjadi penganut semboyan “ nriman ing pandum .
1.1 Awal Mula Stratifikasi Sosial di Pecinan Semarang
Interaksi di kampung pecinan yang mayoritas adalah etnis tionghoa mengakibatkan munculnya beberapa masalah dengan kaum pribumi yang bertempat tinggal di sekitarnya. Salah satu masalah yang ada adalah stratifikasi social antara masyarakat etnis tionghoa dengan masyarakat pribumi. Stratifikasi social adalah sistem perbedaan status yang berlaku di masyarakat. Perbedaan status ini biasanya dilihat dari sisi ekonomi ataupun dari keturunan. Stratifikasi juga berlaku di kawasan pecinan. Berikut awal mula terjadinya stratifikasi social di Daerah Pecinan Semarang:
- Stratifikasi social yang ada di daerah ini muncul pertama kali pada masa Zaman Penjajahan Belanda. Stratifikasi social ini muncul karena latar belakang kepentingan politik pada masa itu. Pemerintah Belanda pada saat itu membeda-bedakan antara etnis China dengan Kaum Pribumi. Mereka membuat hubungan kaum pribumi dengan etnis Tionghoa yang pada saat itu baik menjadi ada jarak di antara mereka. Pemerintahan belanda khawatir jika kaum pribumi dan etnis tionghoa bersatu akan membahayakan keberadaan mereka di kota Semarang . Pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda mengkotak-kotakkan kaum pribumi dengan etnis Cina, serta mengistimewakan masyarakat etnis Cina sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antara masyarakat pribumi dengan etnis Cina.
- Stratifikasi sosial pada masa Penjajahan Belanda berlanjut pada masa Orde Lama. Pada masa orde lama motif stratifikasi hampir sama dengan pada masa penjajahan Kolonial Belanda yaitu kepentingan politik. Politik ini dibuat seakan-akan stratifikasi muncul dari dalam etnis tionghoa. Pada saat itu presiden Soekarno mencetuskan Nasakom yang mengakibatkan Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok nasionalis, agamis, dan komunis. Karena Indonesia punya hubungan diplomatic dengan Cina yang Notabena ialah Negara komunis maka banyak golongan nasionalis dan agamis membenci Cina sampai kepada etnis Cina yang telah berada di Indonesia.
- Stratifikasi sosial pada masa orde baru juga hampir sama dengan masa-masa pemerintahan sebelumnya, bahkan jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan pada masa ini etnis tionghoa sama sekali tidak bebas dalam menjalankan aktifitasnya sebagai seorang warga negara, bahkan saat beribadah pun mereka harus sembunyi-sembunyi. Dan mereka harus memeluk agama yang diakui di Indonesia seperti Kristen ataupun Khatolik hal itu dikarenakan kepercayaan Kong Hu Chu dianggap sebagai komunis oleh pemerintah Indonesia.
- Stratifikasi Sosial pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mulai dihapuskan. Masyarakat Pecinan mulai terbuka kembali untuk beraktifitas kembali seperti sedia kala. Mereka diijinkan untuk melakukan interaksi dengan kehidupan luar tanpa hauru takut untuk dicekal sebagai kaum komunis. Mereka juga diperbolehkan untuk menunjukkan kebudayaan mereka. Mereka juga diperbolehkan untuk menganut agama sesuai dengan ajaran leluhurnya, menyelenggarakan upacara-upacara peribadatan dengan tata cara China. Walaupun pada awal dijinkannya Kebudayaan Tionghoa untuk hadir di masyarakat, masyarakat Etnis tionghoa masih merasa takut. Mereka takut untuk memunculkan kembalikebudayaan mereka karena trauma dengan peristiwa anti etnis china yang terjadi pada masa orde lama.
1.2 Stratifikasi Sosial Di Pecinan Pada Masa Sekarang
Stratifikasi social yang ada di pecinan saat ini tidak seradikal pada masa zaman penjajahan belanda, masa orde lama, ataupun masa orde baru. Stratifikasi social saat ini yang terjadi di pecinan lebih kepada perbedaan status ekonomi yang terlihat sangat mencolok. Di satu daerah berjejer toko emas yang begitu ramai tapi di daerah lain di pecinan ada warga yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Stratifikasi yang ada di pecinan mulai terlihat saat memasuki kawasan ini. Di daerah kranggan (Jl. K. H. wahid hasyim) berjejer toko-toko emas, seperti toko emas Bali, Serimpi, yang setiap harinya tidak pernah sepi pembeli. FOTO.Bahkan menurut Lurah Kranggan, kawasan Kranggan ini menjadi acuan untuk harga emas kota semarang. Selain berjajar toko emas, kawasan kranggan juga banyak toko-toko tekstil besar, yang juga menjadi tujuan para pedagang tekstil partai besar, semisal toko tekstil jangkrik. Toko yang sangat terkenal di kalangan ibu-ibu kota Semarang jika ingin membeli kain-kain untuk keperluan rumah tangga ataupun kantor. Berbeda dengan kawasan kranggan yang begitu mentereng, semakin kita masuk ke dalam gang-gang kawasan pecinan akan terasa ada stratifikas disana. Walaupun tidak begitu mencolok karena tertutupi oleh model-model bangunan yang hampir sama.
Dari hasil kutipan wawancara yang dilakukan oleh wartawan Koran Radar Semarang terbitan tanggal 8 september 2009 kepada lurah kelurahan Kranggan ( Ali Sofyan) kecamatan Semarang utara menyebutkan bahwa masyarakat kelurahan Kranggan yang mayoritas etnis Cina sangat sulit membaur dengan warga pribumi. Padahal dari 5401 penduduk yang ada di kelurahan kranggan yang tersebar di 5RW hanya ada satu RW saja yang warganya adalah warga pribumi, yaitu RW 1. Hal ini menjadi satu permaslahan bagi lurah karena apabila mengadakan kegiatan kemasyarakatan hanya warga dari RW 1 saja yang berperan aktif. Masyarakat tionghoa lebih berperan aktif pada pengadaan dana untuk pembangunan fasilitas umum, seperti pembangunan jalan.
Mayarakat pribumi yang ada di kawasan pecinan Semarang hanya 15% dari total penduduk yang ada di Pecinan. Masyarakat pribumi yang ada di kawasan ini berada di RW 1. Rata-rata dari mereka bermata pencaharian sebagai pekerja di toko-toko yang ada di kawasan pecinan. Sebagian dari mereka juga ada yang memiliki toko-toko tetapi hanya sebagian kecil dari mereka walaupun tidak sebesar toko-toko yang dipunyai oleh orang tionghoa.
Masyarakat tionghoa di kawasan pecinan ini tidak semua sebagai kaum mentereng, ada juga sebagian dari mereka yang hidup jauh dari kecukupan. Mereka tinggal di gubuk-gubuk di pinggir kali koping. Mata pencaharian dari mereka ada yang sebagai buruh, pengemis, penjual makanan. Selain itu, jika diamati secara langsung, keadan mereka yang sesungguhnya adalah msuk dalam katagori miskin. Namun, tidak semua orang mau mengerti dengan keadaan tersebut, apalagi, warga etnis Cina yang terkesan hidup mentereng sudah menutup mata mereka, dan terbentuklah sebuah anggapan bahwa memang warga Cina itu , dimanapaun dia berada adalah warga yang kaya, yang status sosialnya lebih tinggi, dan penguasa 60% lebih aset-aset negara. Lain halnya dengan orang jawa yang ada di daerah Pecinan Semarang, mereka seringkali tidak memberikan tanggapan yang berarti menginai etnis Cina di daerah Pecinan, karena pada dasarnya mereka sudah mengeri kondisi riil etnis Cina, di kawasan Pecinan semarang. Kawasan tinggal mereka ( orang Jawa) rata- rata di area gang buntu dan gang lombok. Sementara area gang lombok, dari 90 Kepala Keluarga, yang tercatat sebagai keturunan Cina hanya berkisar 5 Kepala Keluarga, atau sebesar 5,56% saja.
Stratifikasi sosial yang terjadi pada jaman kolonial Belanda.
Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda telah terdapat etnis Tiong hoa yang hidup di Indonesia. Etnis Tiong hoa pada saat itu datang ke Indonesia untuk berdagang. Dengan mempertimbangkan pengaruh merreka yang besar dalam perekonomian, kemudian pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memisahkan kebersamaan antara etnis Tiong hoa dengan masyarakat pribumi karena takut apabila masyarakat pribumi dan etnis Tiong hoa bersatu akan membahayakan posisi pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda juga memberikan keistimewaan kepada etnis Tiong hoa untuk berdagang secara bebas sedangkan membatasi masyarakat pribumi untuk berdagang bahkan bertani ataupun dalam hal mengenyam pendidikan.
Stratifikasi sosial masyarakat di pecinan semarang pada saat ini.
Tidak dapat dipungkiri, stratifikasi sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat akan menimbulkan sebuah perubahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Meskipun kita telah tahu banyak tentang perubahan sosial yang ada di Pecinan semarang, kita juga di sisi lain belum mengetahui tentang perubahan itu sendiri.
KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KAMPUNG PECINAN
SEMARANG
4.1 Kebijakan Tionghoa
Membahas mengenai kebudayaan Tionghoa, pada dasarnya tidak terlepas dari sejarah masa lampau, terlebih lagi mengenai sejarah Orde Baru Soeharto dan masa-masa Belanda. Keturunan Tionghoa di seluruh Indonesia pada umumnya tidak berasal dari satu kelompok yang sama, mereka memiliki kebiasaan dan kehidupan yang berbeda beda. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa kebanyakan dari mereka menyetujui seharusnya adanya pembauran antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi. Namun arti dari Ëœmembaurâ„¢ atau Ëœpembauranâ„¢ bagi mereka sangatlah berbeda dengan apa yang digunakan oleh pemerintah di masa lalu. Kebijakan pun sebenarnya merupakan hal yang sangat krusial jika berkaitan dengan Orde Baru. Banyak dari kebijakan dan undang-undang yang mengenai keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa.
Bahkan sebelum penjajah Belanda menciptakan tiga kelompok etnik sosial yang memiliki peraturan peraturan yang berbeda sama satu lainnya, imigran Tionghoa yang sudah tiba di Indonesia dan memiliki derajat yang berbeda-beda, masih mencoba mempertahankan identitas etnis aslinya. Beberapa dari keturunan Tionghoa ini memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan karena di masa dinasti Ming (Qing) di Tiongkok, keturunan Tionghoa yang meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok (Suryadinata; 2002; hal 70). Oleh karena itu mereka berusaha untuk menciptakan dan membangun keluarga baru di Indonesia. Kelompok tersebut menggunakan bahasa daerah di tempat tinggalnya sebagai bahasa sehari-hari, di lain pihak mereka masih menganut adat istiadat Tionghoa seperti berdoa menurut kepercayaan Tionghoa tradisional (Greif; 1991; hal 1-3) atau memperingati tahun Tionghoa baru (Imlek). Kelompok ini disebut ËœPeranakanâ„¢ Tionghoa
4.2 Identitas Kebudayaan Tionghoa
Sudah banyak kebudayaan Tionghoa yang terpisah dengan kebudayaan masyarakat pribumi. Jadi tidak mengherankan kalau ada identitas kebudayaan atau etnis Tionghoa yang masih kuat tanpa adanya percampuran dari manapun, selain itu juga masih lestari sampai dengan saat ini. Mengingat sejarah orang-orang Tionghoa dan keberadaan mereka di Indonesia usaha yang mencapai pembauran dulu, relatif baru dan tidak lama. Namun, walaupun mereka terkesan membaur, tapi pada dasarnya mereka tetap menjaga dan tidak mencampurkan antara kebudayaan pribumi dengan kebudayaan yang asli mereka bawa sendiri. Justru, pada masa yang lalu, ada beberapa pemikiran dari kaum pribumi untuk menghapuskan kebudayaan tionghoa dan menggantikannya secara murni milik pribumi, atau yang kita kenal dengan “pembauran lengkap .namun, sampai saat ini hal itu tidak terjadi. Faktor ini dan identitas terpisah yang bersejarah berarti bahwa pembauran lengkap, yaitu penghapusan kebudayaan Tiongoa, akan sulit dicapai. Akan tetapi keberadaan hukum-hukum yang mendorong tujuan pembauran lengkap berarti hanya memberi kesempatan yang sempit meraih pembauran semacam ini.
4.3 Sosial Budaya Kawasan Pecinan Semarang
a. Kependudukan
mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan pecinan adalah warga keturunan Cina yang terbagi dalam dua kelompok kultur yaitu :
– Masyarakat Totok, yang masih berorientasi ke kebudayaan asalnya, keterikatan dengan leluhur dan adat istiadat leluhur masih kuat.
– Masyarakat Peranakan, yang sudah melebur dalam budaya local, sudah kehilangan identitas aslinya dan mengalami pergeseran dalam budaya dan tata nilainya.
Secara umum, penduduk kawasan Pecinan terbagi sebagai berikut :
– Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir dan memiliki kapling di kawasan tersebut dari warisan leluhurnya
– Penduduk asli yang telah menetap di kawasan Pecinan ini sejak lahir namun hanya menggunakan kaplingnya sebagai tempat berdagang atau took, sedang tempat tinggalnya berada di luar kawasan Pecinan
– Penduduk yang tidak tetap (boro) mereka tidak tinggal menetap di kawasan Pecinan ini. Hanya karena pekerjaannya mereka berada di kawasan Pecinan ini, misalnya buruh pekerja atau pedagang non permanen di pasar.
Sebagian besar penduduk asli di kawasan Pecinan Semarang masih menganut kepercayaan Tri Darma ( Konfusionisme, Taoisme dan Buddhisme). Ketiga ajaran tersebut saling melengkapi. Dan, bagi orang Cina pada umumnya, religi mencakup kepercayaan pada Dewa-Dewa local dan roh-roh. Hal tersebut sangat mempengaruhi keseharian mereka. Hal ini membawa karakteristik pada kawasan Pecinan Semarang.
Dikarenakan masyarakat etnis Tionghoa memiliki tingkat sosial yang cenderung tidak setinggi orang Jawa, maka hal yang paling menonjol dari etnis Cina adalah aktivitas budaya, yang senantiasa berkembang, walaupun mereka hidup berdampingan dengan orang Jawa. Kebudayaan dan kehidupan sosial etnis Cina memiliki kaakter yang tidak jauh berbeda, itulah yang menjadi cirikhas mereka, yakni bisa menyeimbangkan antara budaya dan sosial, meskipun menurut anggapan orang Jawa, itu masih sangat kurang.
Setiap ada ritual yang dilaksanakan oleh etnis Cina biasanya menyelenggarakan acara-acara seperti Imlek, mereka biasanya menyelnggarakan secara meriah, seperti membunyikan petasan, tari-tarian dan itu disambut warga etnis Cina dengan suka cita. Orang Jawa tidak pernah mempermasalahkan dengan apa yang dilakukan oleh Etnis cina di Pecinan, karena sudah merupakan tradisi ketika mereka menyelenggarakan ritual-ritual keagamaan tiap tahunnya. Justru kadang orang Jawa sering diundang dalam perayaan-perayaan sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap orang Jawa, dan ucapan terimakasih mereka terhadap kaum pribumi yang telah membantu mereka dalam bersosialisasi dan mengajarkan mereka dengan baik
V
KESIMPULAN DAN SARAN
Stratifikasi masyarakat sangat berhubungan erat dengan sistem sosial yang berlaku dalam sebuah lingkungan. Termasuk keberadaan etnis Cina di Kampung Pecinan Semarang yang juga tidak kalah menimlbulkan anggapan dan persepsi yang bermacam-macam dari kaum pribumi, yang nota benenya mereka adalah benar benar asli Warga Negara Indonesia yang dari keturunan pertama hingga keturunan yang terakhir tumbuh dan mengembangkan sayapnya di Indonesia. Walaupun sebenarnya berbagai persepsi juga muncul dari etnis Cina di Indonesia yang juga memiliki anggapan tersendiri tentang sistem social orang asli Indonesia. Dari mulai kedatangan mereka hingga sejarah yang kadang tidak memiliki persepsi yang sama, namun pada dasarnya dapat dijabarkan sebagai berikut :
Masyarakat Tionghoa adalah warga pendatang yang bertempat tinggal, menetap atau menjalankan usaha dalam suatu wilayah berdasarkan etnisitas yang dikenal sebagai Pecinan. Sebutan masyarakat Tionghoa adalah sebutan untuk warga keturunan Cina yang sudah lama menetap di Indonesia. Masyarakat pribumi adalah penduduk asli yang bertempat tinggal dan sudah berada di suatu wilayah secara turun-temurun. Karena mereka hidup dalam suatu lingkungan yang berdekatan maka mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain. Sangatlah wajar jika ada dua golongan yang berbeda, kemudian menimbulkan stratifikasi sosial yang pada Kawasan Pecinan Semarang, yang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Cina yang telah datang secara berangsur-angsur ke Semarang sejak bebrapa abad yang lalu. Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang dan bermukim di Indonesia, beberapa ahli sejarah seperti Lombard (1996) dan Reid (1999) menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini adalah kerajaan Majapahit.
Diperkirakan pada sekitar tahun 1412 sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedong Batu atau Simongan dan di tepi sungai Semarang (Yoe, 1933 : 13). Pemukiman masyarakat Cina dipilih daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan Bandar Semarang. Daerah yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai untuk tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk dihuni (Budiman. 1978: 11)
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu . Pada tahun 1740 di Batavia telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Souw Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap pererintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun orang-orang Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina banyak yang melarikan diri ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini , pemerintah Belanda membuat kebijakan untuk memindahkan pemukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke kawasan yang dilingkari oleh kali Semarang yang kita kenal dengan Pecinan. Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah Belanda melakukan pengawasan terhadap komunitas Cina di Semarang.
Sementara itu, gambaran secara umum Daerah Pecinan Semarang, saat ini :
Pecinan Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah periphery yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan.
Daerah core (inti) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Daerah ini dibatasi:
- Batas Utara : Jalan gang Warung, Pekojan
- Batas Selatan : Kali Semarang
- Batas Timur : Kali Semarang
- Batas Barat : Jl Beteng dan Pedamaran
SARAN
Aktivitas sosial budaya, sistem sosial dan karakteristik masyarakat yang berbeda antara etnis Cina dan orang Jawa di kampung Pecinan Semarang, adalah suatu percampuran antara kebudayaan, sistem sosial dengan komposisi yang tidak perlu dipermasalahkan,karena memang pada dasarnya kita terlahir majemuk, hanya yang ingin dikaji adalah seberapa besar tingkat interaksi dan stratifikasi yang membatasi gerak mereka, sampai-sampai membawa kesenjangan diantara mereka. Walaupun kesenjangan tidak secara keseluruhan terjadi, namun harapannya itu tidak berdampak menjadi sebuah konflik. Integrasi sosial yang harmonis dan mantap tetap merupakan hal yang utama yang harus dijaga, karena memang etnis Cina di kawasan Pecinan Semarang sudah merupakan bagian dari Republik Indonesia yang harus saling menjaga antara satu dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Amen. 1979. Semarang Juwita. Semarang : Penerbit Tanjung sari.
——————–.1978. Semarang Riwayatmu Dulu. Semarang : Penerbit Tanjung Sari.
Pramono, Lenny. 2005. Karakteristik Arsitektur Kawasan Pecinan Semarang. Laporan Skripsi Universitas Katolik Parahyangan.