Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal
(Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran)
Saat sedang rapat para aktivis tua di kantin UNTIRTA, aku meminjam BB untuk sekedar mengetik sedikit kegelisahan yang kudapatkan setelah mendapat sms dari teman. Sms itu bercerita tentang pencurian yang dilakukan oleh seorang anak kecil yang aku kenal baik. Anak kecil tersebut merupakan salah satu dari sekumpulan anak2 yang tidak kurang beruntung yang aku kena. Mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Aku sempat berpikir, inilah lahan yang baik untukku mengimpelementasikan ilmu dan meraih pahala. Namun, entah kapan bisa kurealisasikan, karena hingga detik ini ku hanya berkutat dengan dunia yang lain.
Yang aku ingat dari mereka, setiap bertemu selalu berebut bersalaman denganku, senyumannya yang ceria selalu menyambutku , terkadang ada yang sambil malu malu menawarkan dagangannya. Aku terlena dengan situasi ini, dimana aku dapat mengajak mereka untuk curhat, yang dengan nada polos bercerita bahwa ia belum mandi sejak pagi karena tidak ada uang untuk membeli sabun. Lalu, menasehati kepada mereka yang agak nakal dan sulit diatur, serta sedikit memberikan ilmu membaca dan menulis. Kegiatan itu aku sudahi, dalam hatiku berkata “cukuplah!!!aku telah ikut terjun dalam memberdayakan mereka . Sebuah kesombongan yang sangat telat disadari.
Empat tahun terlewatkan, ternyata mereka telah dididik oleh lingkungan yang keras. Ada yang menjadi pengutil, ada yang menjadi pengemis, ada yang nikah dini umur 15 tahun, bahkan telah mempunyai anak. Ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Ternyata aku telah melewatkan sebuah ladang pahala. Melewatkan lahan untuk meningkatkan ilmu dan Ibadah. Meninggalkan bibit pengganti bangsa Indonesia. Aku tidak lebih dari orang munafik yang berbicara bahwa mereka adalah lahan bagi lulusan PLS (pendidikan Luar Sekolah), namun melanjutkan apa yang menjadi tanggungjawabku sebagai calon pendidik nonformal saja tidak kulakukan dengan baik.
Aku telah sombong dengan hanya menyentuh tangan seakan telah melepaskan beban mereka, berteriak tentang nasib mereka, namun tidak dengan tangan ini memperbaikinya. Bertanya kenapa lahan kami (jurusan PLS) selalu diambil oleh orang lain, namun ternyata melewatkan lahan yang sangat dekat dihadapanku. Apakah arti dari “lahan telah saya degradasikan menjadi “uang belaka??? Sehingga membuatku menunggu datangnya modal uang terlebih dahulu sebelum mendampingi mereka. Menunggu kesempatan dibukanya pendaftaran proposal proyek agar dapat sedikit memberikan ilmu, Menunggu kebaikan dari para donatur dan sponsor agar dapat membiayai kegiatan pemberdayaan.
Lebih konyol lagi ketika ku merasa sebagai manusia super, yang mempunyai kekuatan lebih di atas rata rata masyarakat, sehingga dengan waktu 1 minggu, 2 minggu atau 1 bulan dapat merubah masyarakt. Aku juga senang membuat kegiatan yang digembar gemborkan sebagai pengabdian pada masyarakat. Namun hanya pada waktu tersebut sajalah ku menjadi bagian dari masyarakat, sisa waktu yang lain ku habiskan dengan berdebat tentang cara terbaik dalam memperbaiki masyarakat. Tanpa implementasi, hanya debat belaka.
Mereka selalu mendoakan yang terbaik untukku, sehingga membuat aku malu kepada Tuhan. Aku bertambah malu ketika menyadari masih banyak orang orang yang berbuat tanpa banyak berteori. Orang orang yang menghampiri mereka dengan tanpa beban dan pikiran harus membuat proposal atau acuan program. Orang orang yang tidak pernah menempuh bangku kuliah yang sama dengan ku. Aku malu karena orang orang tersebut telah merebut lahan kami dalam membagi ilmu, menambah pahala dan merasakan kenikmatan berbagi bersama mereka. Aku malu ketika membuat tulisan ini, semoga dapat mengurangi kesombongan dan mulai melakukan apa yang bisa kulakukan untuk mereka.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari harapan Dr. Yusuf Qardhawi
“kepada para pemuda agar mereka turun dari langit mimpi dan dunia idealistik menuju ke bumi realistik. Berdampinganlah dengan rakyat, para pekerja, petani, buruh mujahid, masyarakat akar rumput (grass root) di kota-kota besar dan desa-desa terpencil, sehingga kalian akan memperoleh fitrah yang lurus, hati yang baik, dan raga yang terlatih bekerja.
*refleksi di antara hingar bingar debat dan gelapnya kantin
12082011
Dibantu edit oleh seorang sahabat