Pendidikan Luar Sekolah Di Jaman filsuf Yunani Klasik Bagaimanapun kita harus berterima kasih dan angkat topi kepada filsuf pra-sokratik, sebut saja (Thales, Anoximandros, Phytagoras, Democritos, dll). Sekalipun fokus observasinya kelangit-langitan (jagat raya/alam) namun hal tersebut mengilhami filsuf setelahnya atau pada zaman yunani klasik, sebut saja (Sokrates, Plato, dan Aristoteles).
Atas ilham tersebut, filsuf Yunani klasik atau Sokrates berhasil memindahkan filsafat dari langit ke bumi atau boleh dikata sasaran pemikirannya bukan lagi jagat raya melainkan manusia. Oleh karena itu, Sokrates disebut sebagai “bidan” atau ajarannya biasa diistilahkan “maieutika” (seni kebidanan). Akan tetapi, bidan yang dimaksud adalah bukan mereka yang pandai membuat orang melahirkan tetapi, makna sesunggunghnya adalah membuat manusia mampu melahirkan gagasan atau pengetahuan baru. Hal tersebut diraih oleh Sokrates dengan metode dialektikanya. Sokrates mewujudkannya dengan mendatangi orang-orang yang dianggapnya bijak kala itu, mengajak berdiskusi dengan cara memberi pandangan yang bertentangan kepada lawan bicaranya sehingga akan memperkuat pandangan lawan bicaranya, dalam bahasa lain Sokrates mengeksplorasi gagasan orang lain sehingga mampu menghasilkan gagasan rasional yang baru (tidak menggurui). Dari proses dialektis itulah orang-orang di Athena mulai membuka cakrawala berpikirnya dan Plato didaulat sebagi orang paling bijak dan sederhana.
Pendidikan Luar Sekolah Di Jaman filsuf Yunani Klasik
Konsep dialektis Sokrates di atas bagi saya sangat cocok bagi akademisi, praktisi, maupun aktivis yang bergerak dibidang pendidikan khusunya pendidikan luar sekolah. Seorang pembelajar tidak boleh hadir sebagai guru yang tahu segalanya melainkan ia hanya hadir sebagai perangsang maupun eksplorator bagi masyarakat, apalagi sasarannya adalah orang dewasa. Karena pada dasarnya, orang dewasa telah memiliki pengetahuan dari pengalaman hidupnya sendiri, atas setumpuk pengetahuan itulah seorang pembelajar dibidang pendidikan luar sekolah harus mampu menggalinya dengan metode eksplorasi dialektis. Kecocokan konsep dialektis Sokrates dan konsep pendidikan luar sekolah di atas setidaknya serupa dengan rintihan Paulo Freire atas “kebudayaan bisu” yang menimpa lingkungannya saat itu. Menurut Paulo Freire, “kebudayaan bisu” adalah kondisi kultural masyarakat yang memiliki ciri takut mengungkapkan pikiran dan perasaanya sendiri. Oleh sebab itu, dirinya hadir sebagai pemicu “suara” kesedihan sosial masa itu.
Tak dapat dipungkiri, dinamika pemikiran pendidikan luar sekolah tidak lepas dari sumbangsih pemikiran Paulo Freire dan hingga saat ini pemikiran tersebut masih sering dijadikan sebagai alat retoris dalam menyampaikan gagasan pendidikan. Gagasan Paulo Freire jika ditelisik dalam prakteknya menggunakan metode diakletis seperti yang pernah dilakukan pendahulunya yaitu Sokrates. Tentu upaya tersebut dilakukan dalam rangka mewujudkan manusia yang terbebaskan dari doktrin-doktrin feodal yang masih tersisa (liberated humanity).
Sama dengan yang terjadi di Athena kisaran tahun 480 SM. Dari argumentasi kritikal di atas dapat disederhanakan dalam satu nafas panjang yaitu tugas mutlak elemen pendidikan luar sekolah adalah membangkitkan semangat belajar masyarakat yang tidak berdaya baik secara pengetahuan maupun secara keterampilan. Dengan modal dialektika Sokrates, maka dengan mudah aktor-aktor pendidikan memproduksi budaya yang lebih berpendidikan. Semoga kehadiran mahasiswa baru khususnya jurusan pendidikan luar sekolah di Universitas Negeri Makassar mampu hadir memberi warna baru bagi pendidikan nasional.Pendidikan Luar Sekolah Di Jaman filsuf Yunani Klasik
Penulis: Andi Hasdiansyah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dan Alumnus Universitas Negeri Makassar.
Diambil dari
http://kliksulsel.com/2015/09/dialektika-sokrates-dan-konsep-pendidikan-luar-sekolah-ala-paulo-freire/
Dengan judul asli
Dialektika Sokrates dan Konsep Pendidikan Luar Sekolah Ala Paulo Freire
Tinggalkan Balasan