Pola Pembinaan NAPI Anak sebagai Salah Satu Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Oleh
Gasti Ratnawati
PLS-UM
Dalam rangka mewujudkan SDM yang berkualitas, anak sebagai generasi penerus harus dapat tumbuh dan berkembang dalam suasana yang menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menopang kelangsungan hidup. Sehingga kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental, serta perlindungan dari berbagai gangguan atau marabahaya yang dapat mengancam masa depan dapat tersedia sebagaimana mestinya. Lebih lanjut Arif Gosita mengungkapkan bahwa diperlukan perhatian dan sekaligus pemikiran bahwa anak-anak adalah tunas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi nusa dan bangsa untuk selama-lamanya.[1]
Di Indonesia sedang berlangsung perubahan tata nilai sosiokultural masyarakat. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pola perilaku masyarakat dan juga pada proses perkembangan anak. Diperlukan sebuah kecermatan dan perhatian yang ekstra terhadap posisi dan eksistensi anak agar perkembangan anak tetap dalam koridor yang diharapkan dan dapat dihindarkan dari pengaruh negatif pertumbuhan, perkembangan dan perubahan yang terjadi saat ini. Fenomena yang terjadi memperlihatkan bahwa perilaku anak menjurus kepada tindak pidana kejahatan, seperti pemerkosaan, pencabulan, pencurian, perkelahian antar pelajar dan lain-lain sudah mulai menjamur. Hal ini dapat menyebabkan anak tersebut diharuskan berhadapan dengan proses hukum yang disamakan dengan orang dewasa.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa faktor tersebut antara lain dampak negatif perkembangan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan cara hidup sebagian orang tua yang pada akhirnya membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Anak yang kurang memperoleh kasih sayang, bimbingan, pembinaan, dan pengawasan orang tua dapat terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dan dapat merugikan perkembangan pribadi. Peningkatan kenakalan atau kejahatan anak bukanlah gangguan keamanan dan ketertiban semata, tetapi merupakan bahaya yang mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa. Penanganan dan penyelesaian dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi yang harus diterima oleh anak.
Bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan bukan hanya pemenjaraan tetapi juga suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi warga binaan pemasyarakatan. Usaha ini dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan juga masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan. Tujuan akhir dari usaha ini adalah agar warga binaan menyadari kesalahan, dapat memperbaiki diri, dan juga tidak mengulangi melakukan tindakan-tindakan pidana di masa yang akan datang.
“Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan bahwa pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, kehidupan, dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa”.[2]
Banyak lembaga peradilan yang memilih alternatif pengenaan sanksi pidana sebagai upaya penanganan dan penyelesaian anak yang melakukan tindak pidana setelah melalui proses peradilan. Dengan adanya UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diharapkan dapat memberi jaminan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan yang lebih adil, arif, dan bijak bagi anak pelaku tindak pidana. Dalam undang-undang tersebut anak pelaku tindak pidana (NAPI anak) sebaiknya diberi perlakuan khusus dengan menempatkan pada Lapas yang terpisah dari NAPI dewasa.