Sejak lebaran kurang seminggu, media sosial dipenuhi dengan ucapan ‘selamat hari lebaran, Idul Fitri 2018, mohon maaf lahir dan batin’. Ucapan itu disertai foto diri, keluarga atau gambar animasi, sesuai selera yang menyangkut reputasi pribadi.
Untaian kata-kata indah ucapan selamat lebaran yang bertebaran di WA, SMS, dan FB, sungguh mempermudah kita untuk meng copas kemudian mengirimkannya ke kolega juga ke sanak saudara. Bahkan tidak jarang kita juga menerima ucapan dengan kalimat yang sama atau sudah diedit sedikit agar tampak beda dari teman lain. Begitulah media sosial telah menjadi tempat ajang adu kreativitas, pamer ucapan selamat lebaran.
Jika kita cermat, setiap postingan ucapan selamat lebaran itu banyak copas nya daripada hasil kreativitas sendiri yang unik, alami dan apa adanya. Sehingga bolehlah dikatakan bahwa dengan banyaknya aneka postingan ucapan selamat lebaran di medsos, seolah-olah semua orang mendadak pandai bermain kata menjadi rangkaian kalimat indah, sopan, dan bijak.
Bagi mereka yang kurang jeli, seolah-olah postingan tersebut asli adanya, dan mengundang decak kagum dan layak disungkani sebagai ‘wong pinter’.
Karena semua itu hanyalah hasil copas dan editan sana sini, maka makna yang ada di dalam untaian kalimat indah itu tidak terinternalisasi dan berdampak pada lelaku nyata di kehidupan bermasyarakat. Ya, semua hanya asesoris dalam menyemarakkan ritual tahunan yang bernama Hari Raya Idul Fitri, dengan segala tradisi yang mengikutinya.
Mari kita amati bersama sambil menikmati ketupat opor ayam, atau ngemil jajanan khas lebaran. Nanti, pasca lebaran, saat semuanya telah kembali ke dalam rutinitas hidup. Maka, dapat dipastikan aroma romadhon akan semakin ditinggalkan, bahkan berangsur dilupakan. Masing-masing kembali sibuk mengais rejeki untuk mempertahankan reputasi hidup dan kehidupannya.
Masjid yang selama romadhon ramai dengan aneka lantuan doa, kembali sepi ditinggal jamaahnya. Dan yang biasanya nakal pun akan kembali nakal, bahkan bisa jadi tambah nakal. Tapi, yang insyaf juga tidak sedikit. Begitulah adanya. Dunia terus berputar menjalani takdirnya, dan masing-masing pribadi akan mengukir sejarahnya sendiri.
Setelah direnungkan sambil nonton pertandingan sepak bola, antara Argentina dan Islandia, ternyata kehidupan model itu merupakan bagian dari kehidupan saya juga. Walaupun demikian, dengan semangat romadhon (ehm …cie-cie… uhuy) saya tetap berusaha menjadi lebih baik. Entah kapan bisa baik, paling tidak bisa mengispirasi sesama untuk berbuat baik. Itu saja sudah cukup baik. Taqobballaahu minna wa minkum, taqobbal yaa karim. Kulla ‘aamin wa antum bi khoir. [eBas/mampang jaksel, sabtu pahing 16/6]