Dimensi realitas sudah sejak lama menjadi perdebatan, ataupun boleh dikatakan dikomparasikan dengan setiap opini-opini tokoh ataupun manusia-manusia yang memang berusaha menerjemahkan, menginterpretasikan setiap apa yang dilihat secara lahiriah dan dipadukan dengan kekuatan rasionalitas akal dan menjadi perpaduan sintesa yang menarik untuk dijadikan bagian dari referensi ilmu yang tergabung bahkan bisa jadi disfusi menjadi beberapa cabang humaniora baru. Ekuilibrium dalam internal jiwa ruhaniyah insan yang terjadi menjadikan keseimbangan yang justru kurang melahirkan dan memproduksi daya kreatifitas inovasi jiwa yang terstimulus oleh motivasi karena keadaan yang tertekan dan pressure tinggi dilingkungannya. Wejangan Tan Malaka adalah terbentur terbentur terbentur, terbentuk merupakan satu dari sekian ribu atau juta kata yang terkadang sulit untuk diimplementasikan dan menjadikan barang yang faktual dan bersifat empiris.
Alhamdulillahnya, dinegeri kita tercinta ini Indonesia sudah sejak masa lampau dulu memiliki dinamika yang unik telah memberikan kita gambaran bahwa negeri yang penuh dinamika bukan berarti negeri yang salah dan tidak diberkahi rahmat oleh Tuhannya. Filosofi Kopi yang beberapa saat lalu menjadi hal yang menarik diperbincangan seakan telah membuka mata hati kita bahwa begitu kayanya seni Nusantara ini. Kata tokoh agama Jalaludin Rakhmat dalam bukunya Reformasi Sufisme salah satu sesuatu yang lucu diIndonesia-untuk tidak menyebut itu masalah, adalah adanya “aturan air kopi” yang terjadi hampir disetiap sektor kemasyarakatan dan kebirokrasian. Adanya “aturan air kopi” yaitu ketika kopi terasa enak maka orang akan mengatakan “kopi ini enak” intinya mendapat pujian. Bila dirasa kurang enak, orang berkata, “Gulanya kurang”. Justru gulanya yang disalahkan bukan kopinya kembali. Bukan bermaksud menyalahkan kebiasaan aturan main kopi, tapi lebih kepada kita menjadikan itu acuan akan penggambaran yang terjadi dalam keadaan ruang & waktu masyarakat dinusantara sesuai realita sekarang. Jadi maksudnya, adanya lempar-lemparan tanggung jawab oleh pemangku tanggung jawab.
Lebih spesifik, sebenarnya yang ingin saya maksud dalam tulisan ini adalah lebih kepada getaran jiwa setelah analisis sedalam mungkin, sehati-hati mungkin, mencoba fusi antara jiwa dan akal. Saya mungkin akan lebih tertarik dengan objek spesifik dalam skala mikro yang langsung bersentuhan dengan kesadaran saya pribadi atau mungkin yang sedang jadi barang atau ruang dimana saya beraktualisasi dan sudah seharusnya saya ikut merasa bertanggung jawab akan kelemahan-kelemahan yang sekarang terjadi tanpa memungkiri perkembangannya. Dalam hal ini, jurusan saya Pendidikan Luar Sekolah. Ya, itulah jurusan disalah satu perguruan tinggi yang memang memiliki historis yang membingungkan tentang asbabul nuzul nya. Bahkan sadar saya pernah berdialog dengan bagian sadar yang lain dihati dan pikiran saya tentang jurusan ini yang menghasilkan konsesus bahwa jurusan saya bukanlah humaniora, bukanlah ilmu yang benar-benar ilmu yang disepakati ilmuwan dunia yang telah pas dijadikan jurusan spesialisasi dipendidikan dunia. Pikir saya karena sebuah jurusan haruslah bisa menembus verifikasi sebagai humaniora bukan sebatas program, beda humaniora dan program. Ini untuk perenungan bersama saja, bahwa yang dinamakan program itu adalah satu bentuk paket konsepsi maupun pra-konsepsi yang instrumen didalamnya lahir daripada ilmu ilmu sainstek atau soshum atas wasilah orang-orang yang belajar akan ilmu itu. Dan, dirasa setelah berdendang dengan teman seangkatan, senior-senior, atau bahkan adik tingkat dapat disimpulkan PLS(Pendidikan Luar Sekolah) memiliki indikator-indikator yang tepat untuk dimasukan sebagai hanya program dan bukan jurusan.
Terjadi sebagai realita yang faktual adalah mahasiswa-mahasiswa yang kebingungan akan kemana mereka, atau bahkan pengekspresian akan jurusannya yang menurut saya kurang tepat. Contoh, menyempitkan pemahaman akan PLS yang sering dikatakan Non Formal Education yang justru seharusnya memang benar-benar luas secara ekspansi, secara wawasan, secara praktek sebagai praktisi. Terlalu bermain akan politik praktis dalam konstelasi politik dikampus yang memperebutkan jabatan intra kampus, itu merupakan kerugian selain daripada keindahan yang perlu diaspiratif. Disfungsional ini terjadi karena faktor sikap ekslusif yang membuat gagasan-gagasan baru dianggap tabu dan sulit masuk, justru ketika gagasan tersebut dikemukakan benar-benar diniatkan membantu perubahan berkemajuan dalam tubuh internal jurusan, secara general bukan hanya untuk organisasi internalnya tapi masyarakat mahasiswa PLS umumnya. Ini sudah kronis, miris, dan krisis untuk bagaimana mendandakan ada sistem yang salah meskipun tanpa legal-formal tertulis tapi secara kultural telah mengakar dan menjadi budaya yang dibudidayakan.
Sebagai perumpamaan saja, ketika kita kecil kita begitu bangga dan mengerti akan Pancasila akan pelajaran moral, etik, kemanusiaan dan lain-lain yang jelas-jelas telah dikonsepkan oleh founding father bangsa kita dulu menjadi bagian daripada instrumen dasar negara, yaitu Pancasila. Pancasila yang abadi, amin. Tapi justru sekarang setelah melewati teori kedewasaan tahu akan ilmu dan pengalaman baru, dalam prosesnya dilapangan, dikampus, dalam bertindak, bersifat, sikap menyikapi, seolah-olah kita lupa akan nilai-nilai dasar kemanusiaan bahkan kebangsaan itu sendiri. Perpeloncoan, kita yang menentang imprealisme atau kolonialisme tapi justru cara edukasi kita dengan cara yang sama, penghinaan nama, martabat, dan berikan pesimisme pada adik-adik mahasiswanya. Ya, apa mungkin mereka pengidola tokoh Schopenhauer ? sebagai pelopor ajaran pesimisme. Lupa nilai dasar, padahal tak ada bangunan tanpa pondasi yang dalam analogi ini pondasi sebagai nilai dasar tadi, rasa kemanusiaan, kebangsaan, dll. Luntur terhina dinakan dekandensi moral yang makar terjadi dikalangan pelajar pejuang pemikir yang biasa kita sebut mahasiswa sudah menjadi akut, sekali lagi saya katakan akut bahkan kronis. Kalau anda pembaca ingin hal yang kongkret sesuai kenyataan, bayangkan saja ketika pemilu pasti akan ada keadaan-keadaan dimana kemanusiaan dilupakan, pondasi tadi dilupakan, nilai dasar tadi terlupakan. Itulah yang efek yang pasti terjadi ketika berpolitik praktis. Musuh dijatuhkan dengan cara apapun, bagaimana permainan diinternal pemilihan, dsb. Wallahualam.
Bismillah. Bukankah Tuhan pernah berkata “Carilah aku ditengah-tengah orang yang hancur hatinya”? Ya resapi saja, ingat analisis ini saya lakukan seobjektif mungkin dari berbagai referensi manusia, teori, komparasi dengan realita-realita lain dijurusan lain, dipenjuru dunia lain, dan lain sebagainya. Ikhtiar yang masih kurang dirasa. Ingat juga rekan-rekan sekalian pembeda antara analisis dan berteori !!! Kurang elegan rasanya kita berikan gelar-gelar buruk atau sentimentil bagi rekan kita yang sering memberikan gagasannya, mereka tidak banyak bicara, mereka hanya ingin berkontribusi, buktinya ketika hari biasa apakah mulutnya sering berbusa untuk berbicara hal-hal sampah? disini kritik otokritik saja.
Kaum-kaum dinusantara saja memang telah ditakdirkan untuk sebuah kebhinekaan, jadi seharusnya jangan tabu dengan kebhinekaan didekat tempat kita. Baik berbeda ras, suku, budaya, agama, pemikiran, pendapat, dan lain sebagainya. 1+4=5 sama halnya 2+3=5, disini secara tematis bisa kita belajar darinya untuk saling menghargai perbedaan karena pada intinya tujuannya sama, tinggal mana yang terbaik dan termudah tinggal didiskusikan tanpa adanya paksaan, harus demokratis. Demokrasi itu laa roibafiih. Tidak ada keraguan didalamnya. Kita terlalu berfantasi dengan utopia yang pada akhirnya menimbulkan euforia yang hanya memperjuangkan kulit-kulit epidermis daripada nilai-nilai substansial esensial dalam jurusan kita, Pendidikan Luar Sekolah, karena walau bagaimanapun saya berkeyakinan dan optimis masih ada celah dimana jurusan ini dapat bertahan dengan segala kekontroversialannya. Asalkan mau berdiskusi, membaca, mengkaji, menelaah, dll. Kita selalu ingin redaksi “Pendidikan non formal” selalu terpampang disetiap program, yang justru menurut saya kita masih bisa melakukan lebih daripada itu, ada nilai yang masih bisa diusahakan walau agresif-eksploitatif bentuknya bisa menghasilkan hal yang lebih besar kemanfaatannya. Kita kaji saja, ketika kita mengadakan program yang redaksinya “non formal” pasti masyarakat mahasiswa secara luas kurang berminat dan kurang menarik akan pembahasannya, walau katanya non formal itu luas. Tapi ketika program tidak dilabeli redaksi “non formal” jadi lebih membahas isu yang nyata dan menyentuh kesadaran masyarakat akademisi ataupun yang lainnya secara luas, pasti yang akan datang tidak hanya dari jurusan PLS sesuai apa yang kita yakini angle of education harus jadi malaikat, harus jadi penerang bagi seluruh masyarakat, bukan untuk memprogrami atau mengajari main bola kepada pemain bola. Saya maksudkan, kalau kita membuat acara misal Seminar yang peluangnya luas justru harus yang datangnya masyarakat PLS dengan pembahasan PLS juga, merugi rasanya, kembali lagi seolah-olah mengajarkan bebek berenang.
Intinya bukan bermaksud untuk bagaimana menghilangkan, melepaskan, difusi hal-hal yang berbau PLS/Pendidikan non formal dari program-program jurusan. Tapi saya maksudkan ekspansi kita harus luas, harus nyata, tidak memutar-mutar statis disatu tempat saja. Harus ingat perjuangan pendidikan luar sekolah tidak harus dengan label pendidikan luar sekolah, yang terpenting nilai-nilai dan cita-cita luhur pendidikan luar sekolah dapat diperjuangkan bahkan didapatkan. Saya pikir objeknya bukan hanya orang-orang PLS untuk memperjuangkan PLS, untuk membuktikan dan pembuktian bahwa PLS itu luas dan korelasinya menyangkut hajat hidup orang banyak, generasi selanjutnya. Khawatirnya saya.. akan ada suatu masa nantinya dimana PLS hanya diperjuangkan label-labelnya saja, wadah-wadahnya saja, kulit-kulitnya saja, oleh generasi penerusnya. Dan, poros perhatian akan perjuangan didalam mindshetnya hanya berkenaan tentang raganya atau bagaimana dirinya nanti kerja, dan dapat hidup dari PLS. Padahal PLS itu adalah orang-orang yang memang dengan ikhlas melepaskan poros perhatiannya akan dirinya sendiri untuk memperhatikan orang lain, untuk masyarakat.
Lailahailallah. Tidak ada Tuhan selain daripada Tuhan itu sendiri, kalimat Tauhid yang coba dimodifikasi Nurcholish Madjid ini bisa jadi renungan kita bahwa walau nama Ilallah Allah azza wa jalla tidak dia kutip lagi dari terjemahan secara subjektif dia tapi sebenarnya tek mengurangi sejengkalpun esensi didalamnya, Nurcholis atau Cak Nur dalam hal ini hanya mencoba mensyiarkan dengan cara berbeda supaya diterima semua manusia secara keseluruhan karena pada hakikatnya kita manusia punya Tuhan yang sama.
Sebagai penutup mungkin saya akan menguti kata-kata Gus Dur “Jika kamu berbuat baik, orang lain tidak akan tanya agamamu” saya modifikasi untuk rekan-rekan PLS “Jika kamu berbuat baik, orang tidak akan tanya jurusanmu”. Terimakasih sebelumnya kurangnya saya mohon maaf, lebihnya semoga bermanfaat.
Wallahulmuafiq ila aqwa mitoriq
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Moh. Yogi Mukti
PLS UNTIRTA