Kalau tidak salah, 28 tahun yang lalu saya pernah satu kelas, bersama menapaki hijaunya rerumputan kampus, rindangnya pepohonan yang usianya setua bangunan gedung FIP, bahkan lebih tua.
Tahun delapan puluhan, kami seangkatan Supriyono adalah anak muda yang beruntung bisa kuliah di Kampus negeri, walaupun senyatanya kami masuk kesitu, lebih banyak karena tidak diterima di kampus yang konon lebih bergengsi. Ya, mungkin garis nasib memang menghendaki kami harus kesana untuk ngangsu kaweruh nyecep ngelmu ke-PLS-an dari pakarnya yang cukup disegani dan diperhitungkan.
Supriyono, seperti juga saya dan yang lainnya adalah mahasiswa biasa, lugu dari desa, tak sekalipun menampakkan bahwa nantinya dia akan berhasil menggapai pangkat tertinggi di lingkungan akademik sebagai guru besar, yang tentu saja juga akan berdampak kepada semakin besarnya pundi-pundi rejekinya.
Hujan sore hari di Kota Waikabubak, Sumba Barat menyapa bumi yang kerontang, mengusik kenangan lama tentang sosok Supriyono. Kala itu, dia selalu tampil necis, baju rapi lengan panjang di masukkan ke dalam celana yang bersabuk kulit imitasi warna hitam, sepatu kulit bertali dan ngempit segebok buku catatan perkuliahan, itulah ciri khas Supriyono sebagai mahasiswa PLS yang utun, sederhana serta nyungkani karena pendiam dan sok serius bila diajak ngrasani mahasiswi yang penampilannya ndesani.
Waktu di Kampus, saya senyatanya kurang akrab dengan Supriyono, maklum, dia itu kumpulannya wong pinter dan aneka kitab PLS yang menjadi pacarnya saat menghabiskan waktu luang di Kampus. Lha saya Cuma golongan mahasiswa penganut sunni (suka nongkrong dan sok nyeniman) yang selalu berpegang pada dalil “gunakan kampus sebagai medan perjuangan mencari jodoh, bukan mencari nilai bagus untuk lulus”. Dalam pemilihan kegiatan Kampus pun berbeda. Supriyono memilih jalur Pramuka dan Menwa, sedang saya cukup ngglibet di Sanggar minat sebagai penikmat Grup Musik IQ Jongkok dan aktif di mapala Jonggring Salaka. Dua jenis kegiatan yang sering berhadap-hadapan, bahkan pernah hampir ‘kontak fisik’ gara-gara masalah remeh temeh yang memanjakan sikap ego sektoral, bagai kucing dan tikus dalam film Tom and Jerry ataupun permusuhan abadi antara pendekar aliran hitam dan jawara aliran putih dalam cerita dunia persilatan.
Begitu juga dalam dunia ‘per-ngamrin-an’ Supriyono tidak pernah terdengar terlibat dalam ‘skandal cinta’ anak kampus, mungkin di Kamus hidupnya yang diwarnai kultur santri berlaku aturan bahwa perbuatan gonta ganti amrin itu masalah pribadi yang tidak perlu diceritakan kepada teman seangkatan sebagai sebuah kebanggaan dari mahasiswa yang darahnya masih muda dalam rangka mencari jati diri. Sampai menjelang semester akhir pun Supriyono tidak menampakkan perubahan yang berarti, tetap sederhana dan utun sebagai anak desa yang agak gugup bersentuhan dengan ‘budaya urban’ dimana kampusnya berada.
Bioskup misbar ‘Kelud Theatre’ adalah tempat favorit mahasiswa sekelas Supriyono (dan saya, tentunya) untuk menghibur diri meredam penat sambil mencari senggolan sesama anak kampus maupun anak kampung.
Menjelang adzan maghrib, hujan mereda, bau tanah menyegarkan bagi mereka yang mau membaca. Ingatanpun melayang pada saat menjelang yudisium, masa-masa terakhir pendadaran di PLS, FIP, IKIP Malang, hubungan kami pun tetap biasa saja, dan Supri pun -demikian alumnus S3 UPI Bandung ini disapa oleh karipnya, Ninik, Nuri, Junti, Widoretno, Ali, Bambang dan Gatot- juga tidak ada yang aneh dan menonjol dalam kehidupan perkuliahan apalagi percintaan.
Supriyono memang sosok ‘low profile’ tidak pernah merasa pinter dan minteri ketika bertemu, berkumpul dengan teman-teman seangkatannya yang ‘gak pati pinter namun keminter,. “Ya, Supriyono memang Supri yang super.” Kata Kent pada suatu kesempatan.
Sampai suatu saat terdengar Supriyono berhasil menjadi dosen di almamaternya, saya dan kawan-kawan seangkatannya baru menyadari bahwa Supriyono memang pantas mewarisi ‘darah pinter’ dari para dosen yang membimbing kami semua. Begitu juga saat menyelesaikan studi doktornya, tak terbersit sedikit pun kesombongan intelektual diwajahnya yang kala itu berkumis tebal kayak raden gatutkaca. Mungkin, saat itu beliaunya ingin belajar berwibawa seperti almarhum Wak Domo, sang maestro PLS, IKIP Malang. Tapi tidak bisa, karena watak wantune Supriyono kuwi yo dadi wong pinter lan prasojo koyo Bethoro Wisnu yang tahu kapan harus nggaya dan dimana harus ngguyu sebagai ciri orang pintar. Bukti kepintaran dari seorang Supriyono dalam dunia ke-PLS-an adalah banyaknya undangan dari instansi yang memanfaatkan kepakarannya untuk memperkaya aneka warna kebijakan pendidikan. Terbang kesana kemari, rapat disini seminar disana dan menjadi konsultan bermacam-macam kegiatan diayahi tanpa menjual idealisme, adalah rutinitas yang mengiringi kesibukan jabatannya di Kampus sebagai penjaga ideologi PLS.
Rembulan pucat enggan tersenyum, bersembunyi dibalik mendung, langit Kota Waikabubak. Sate Ayam lumayan mengganjal perut. Lamat-lamat teringat bagaimana sederhananya Supriyono sebagaii mahasiswa kos-kosan yang harus masak sendiri dengan lauk ala kadarnya, jauh dari asupan gizi yang disarankan oleh aneka iklan. Ternyata, dari kesederhanaan pola makan itu tidak mesti menghasilkan kebodohan. Buktinya, sambal dan kerupuk telah berhasil menstimuli otaknya menjadi encer menerima segala wejangan dari sang mahaguru, baik di tingkat program sarjana, pasca sarjana dan doktoralnya, untuk kemudian mengantarkan ke maqom profesor dan guru besar. Aneh kan ?. Jelas, ini pasti ada campur tangan do’a, tirakat dan takdir Illahi. Betapa tidak, sego liwet lawuh sambel krupuk bisa mencerdaskan daya nalarnya, sedang temannya yang berkesempatan menikmati asupan gizi yang teratur malah ‘dhedhel ora pinter’ tanpa prestasi akademik yang signifikan.
Beberapa kawan seangkatan yang sempat saya kabari, terkejut, antara kaget dan terkejut tidak menyangka secepat itu Supriyono meraih posisi yang terhormat dan pasti akan semakin nyungkani jika ingin menemuinya untuk meminta kesediaan menjadi penasehat sekaligus pembimbing ikatan pamong belajar Indonesia (IPABI), dalam memperjuangkan eksistensinya sebagai ujung tombak sukses tidaknya program pendidikan luar sekolah di lapangan. Ya, paling tidak pada suatu waktu nanti, pengurus besar IPABI akan mengadakan audiensi dengan profesor Supriyono, sang guru besar alumni PLS, FIP, IKIP Malang angkatan 1983, untuk meminta sekedar tausyiahnya bagaimana cara menggauli program pendidikan masyarakat yang baik dan benar sekaligus menghasilkan manfaat bagi upaya memutus rantai kebodohan.
Pagi itu, jalanan masih basah di Waikabubak, sisa hujan malam hari, kabut tipis mengantar ke bandara Tambolaka, pulang menuju Surabaya. Berharap esok mendapat undangan pengukuhan Guru Besar dari teman seangkatan, Prof. DR. Supriyono, M.pd. Mudah-mudahan masih ada waktu untuk sekedar berjabat tangan dengan sang guru besar, siapa tahu disitu ada syafaat dan barokah yang bisa menginspirasiku. Wallahhu a’lam bishowab.[ebas/ghepenk’83]
Artikel Oleh
Edi Basuki
Tinggalkan Balasan