M.A.G.A.N.G. Beberapa waktu yang lalu, penulis sempat bertemu dengan mahasiswa PLS Univesitas negeri Malang yang sedang melakukan kegiatan “Praktek Lapangan” di lembaga yang bertanggung jawab menjaga keberlangsungan pendidikan nonformal, tepatnya di BPPNFI dan di SKB. Konon kata mahasiswi PLS yang cantik dan murah senyum itu, kegiatannya diprogramkan oleh jurusan PLS dalam rangka melihat langsung praktek penyelenggaraan program PNF. Mereka wajib melihat program PAUD, program Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Kesetaraan dan program life Skills yang dikemas dalam bentuk kursus keterampilan dan kelompok belajar usaha bersama berbasis pra-koperasi. Mereka pun dilibatkan dalam pembinaan rumah pintar, ikut melakukan visitasi kepada lembaga mitra calon penerima dana bantuan operasional, ikut melihat proses diklat KTSP bagi tutor paket B dan paket C, yang mana nantinya, kata salah seorang dari mereka, pengalamannya ini akan diadopsi untuk dijadikan sebuah program di lab site jurusan PLS, Universitas negeri Malang (UM). Ya, kata dosennya, mereka harus bisa menemu kenali permasalahan-permasalahan yang muncul didalam pelaksanaan program, sekaligus memberikan alternatif pemecahannya. “Alternatif pemecahan itulah yang akan diujicobakan di lab site sebelum ditawarkan kepada BPPNFI sebagai lembaga pengkajian dan pengembangan model PNF, sehingga kedepan harus ada kerjasama yang bagus antara BPPNFI dengan lab Site jurusan PLS, UM” katanya ketika mengantar penulis melakukan visitasi ke PKBM bentukan jurusan PLS, UM.
Menurut pengakuannya, bersentuhan langsung dengan program PNF di lapangan merupakan pengalaman pertama bagi mahasiswa yang sebentar lagi akan menyusun skripsi. Ternyata banyak teori yang mereka pelajari “tak seindah warna aslinya” dengan kondisi di lapangan. Apalagi penyelenggaraan program PNF dimasing-masing daerah itu sering tidak sama dan berbeda perlakuan yang dipengaruhi oleh tradisi, budaya, keadaan geografis, karakteristik dan motivasi peserta didiknya serta orientasi visi misi dan tujuan para penyelenggara PNF.
Kiranya, mahasiswa PLS itu perlu juga mengetahui beberapa plesetan dari PLS yang didasarkan pada kenyataan yang menyertainya, seperti Pendidikan Luwes Sekali, ini dikarenakan proses pembelajarannya sering dikompromikan dengan kesempatan dan kesepakatan antara tutor, peserta didik dan pengelola program. ada juga Pendidikan Langsung Selasai, disebabkan banyak penyelenggara yang berani dan nekat mengikutkan peserta didiknya langsung Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan tanpa melalui proses belajar mengajar. Disini yang penting adalah peserta didik mau membayar biaya yang ditetapkan, sehingga kesannya lembaga penyelenggara PNF itu “jualan ijasah”. Masih banyak plesetan lain dari PLS, silahkan dicari sendiri sesuai dengan pengalaman lapangan. Yang jelas beberapa plesetan itu mengandung konsekwensi sendiri terhadap keberlangsungan program di masyarakat.
Dari perbincangan dengan mahasiswa PLS yang sedang belajar mengakrabi program PNF yang sesungguhnya, ternyata dapat disimpulkan bahwa mahasiswa PLS perlu segera diperkenalkan pada “habitatnya” sejak dini, seperti lembaga kursus, PKBM, TBM, SKB, BPKB dan lainnya termasuk kenal kepada penilik PNF, TLD, FDI, Tutor, Pamong belajar dan forum-forum bentukan Direktorat yang mewakilinya, namun belum banyak berbuat.
Setelah merasa cukup mengenal program PNF, acara terakhir adalah presentasi hasil kegiatan sekaligus rencana yang akan dilaksanakannya. harapannya, semoga kesan mendalam selama bergaul dengan para pekerja PNF di BPPNFI Regional IV Surabaya bisa menghasilkan sebuah wawasan baru bahwa perlu mengawinkan teori-teori yang didapat di bangku perkuliahan dengan kondisi nyata dilapangan, agar nantinya mereka siap dengan kenyataan setelah berhasil menggondol gelar sarjana PLS untuk selanjutnya mengamalkan segala ilmunya bagi kemaslahatan masyarakatnya. Paling tidak, ‘pengalaman’ yang telah didapat selama magang di BPPNFI bisa di replikasikan di wilayah Lab site jurusan PLS Universitas Negeri Malang. Wassalam [Ebas]
Edi Basuki