TAKSONOMI SISTEM PENDIDIKAN:
Sebuah Pertanggungjawaban Epistemologis
(Penyuka Imadiklus)
Secara ringkas, taksonomi adalah sistem klasifikasi dalam dunia keilmuan. Semula istilah ini lebih banyak digunakan dalam biologi. Kini, istilah taksonomi juga digunakan dalam hampir semua bidang ilmu. Taksonomi sistem pendidikan berarti klasifikasi atas sistem pendidikan.
Karena pendidikan dipandang sebagai sistem, maka dalam setiap sistem hasil klasifikasi, berarti terkandung baik masukan mentah, masukan lingkungan, dan masukan piranti, yang semuanya berproses untuk memberikan hasil, produk, keluaran, dan manfaat bagi supra sistem. Tanpa menafikkan adanya kemungkinan sistem klasifikasi lain, tulisan pendek ini bersandar pada kaidah epistemologi, yaitu: filsafat pengetahuan.
Ada sejumlah istilah yang biasa digunakan secara bergantian — walaupun sebenarnya ada nuansa yang secara analitik harus diperhatikan — untuk menunjuk konsep klasifikasi. Salah satu dari istilah dimaksud adalah kategorisasi. Kategorisasi, yang semula berasal dari kata dan agoreuein biasa diartikan sebagai pegelompokan, pembagian, atau penjenisan. Karena itu, istilah ini sering dipertukarkan dengan istilah klasifikasi, divisi, dan tipologi. Kategori sering dipahami sebagai salah satu bentuk konseptual tertinggi yang memungkinkan dikembangkannya pengetahuan. Ini bisa dipahami karena memang hampir semua jenis pengetahuan senantiasa dimulai dengan kategorisasi, klasifikasi dan tipologi.
Klasifikasi sebagai Dasar Ilmu
Hampir semua bidang ilmu dimulai dari sistem klasifikasi. Dalam ilmu kimia, dikenal klasifikasi sistem periodik. Biologi mengenal sistem klasifikasi seperti mamalia, moluska, reptilia, dan lain-lain. Linguistik menggunakan klasifikasi kata benda, kata kerja, kata sifat, dan lain-lain. Karena itu, merupakan suatu keharusan bagi sesiapa pun yang memasuki wilayah keilmuan untuk setidak-tidaknya menguasai proses klasifikasi dan hasilnya dalam bidang ilmu masing-masing, termasuk para calon dan sarjana pendidikan.
Empat macam klasifikasi cukup dikenal dalam filsfat, yaitu: klasifikasi alamiah (natural classification) berdasarkan ciri-ciri hakiki objek, klasifikasi buatan (artificial classification) berdasarkan sistem buatan tertentu, klasifikasi jenis (typological classification) berdasarkan tipe ideal tertentu, dan klasifikasi Mendeleyev berdasarkan hubungan antar spesies dengan peralihan dari satu ke spesies lain. Apa pun penghampiran yang digunakan, setiap klasifikasi merupakan hasil dari demarkasi tertentu terhadap batas-batas nyata antar jenis. Dalam khasanah keilmuan, demarkasi ini bersifat konvensional dan bersifat nisbi. Artinya, seiring perkembangan ilmu, klasifikasi akan berubah agar lebih tepat.
Klasifikasi pun, sebagaimana kategorisasi, merupakan satu dari sejumlah landasan pengetahuan keilmuan. Kita tidak dapat mengetahui dan atau memahami sesuatu kalau kita tidak mengklasifikasikan atau menempatkannya dalam konteks yang berarti. Mengetahui, dalam pengertian ini, berarti bisa mengenali perbedaan jenis tertentu dengan jenis-jenis lain.
Silang-sengkarut definisi mengakibatkan kekacauan kategorisasi. Pun kekacauan klasifikasi mengakibatkan kekacauan konklusi. Karena itu, setiap upaya pembuatan kategori harus memperhatikan empat kaidah dasar. Masing-masing adalah: (a) berorientasi tujuan (purpose oriented), (b) bertolak-ukur sama (common criterion), (c) tertentu dan tak mendua (mutually exclusive), dan (d) mewadahi semua data (exhaustive).
Taksonomi Sistem Pendidikan
Bagaimana membuat kategori sistem pendidikan? Bertolak dari keempat kaidah tersebut, salah satunya telah dibuat kategorisasi dengan tolok ukur kesengajaan para partisipannya, yaitu: pendidik dan peserta didik (Axinn, et al, 1976). Pada kegiatan tertentu, apabila peserta didik berperan serta karena mereka sengaja untuk belajar sesuatu, dan bila pendidik berperan serta karena sengaja membantu peserta didik belajar sesuatu, maka dapat dikategorikan sebagai pendidikan formal atau nonformal. Pendidikan formal menunjuk pada belajar di dalam latar sekolah yang terstruktur. Pendidikan nonformal menunjuk pada belajar dalam suatu latar yang terorganisasi yang mungkin sebagai bagian dari program khusus sekolah.
Bila salah satu pendidik atau peserta didik yang berperan serta, karena beberapa alasan lain, selain dari pada kesengajaan untuk belajar atau mengajar, maka disebut pendidikan nonformal. Bila baik pendidik maupun peserta didik berperan serta tanpa kesengajaan untuk mengajar atau belajar, maka disebut pendidikan informal (Axinn,1976:23).
Pembagian jenis pendidikan tersebut dapat disederhanakan dalam bentuk tabel berikut:
Dari tabel sederhana tersebut, tampak memang hanya terdapat tiga sistem pendidikan, yaitu Pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan (belajar) informal. Namun demikian, bila yang digunakan sebagai tolok ukur adalah apakah berlangsung di dalam atau di luar persekolahan, maka hanya akan terdapat dua sistem pendidikan, yaitu sistem persekolahan dan sistem non-persekolahan. Walaupun secara epistemologis ini benar, tetapi klasifikasi demikian terlalu sederhana, seperti seandainya kita mengklasifikasi pekerjaan menjadi pegawai negeri dan bukan pegawai negeri, atau mengklasifikasi agama menjadi Islam dan bukan Islam (sebuah klasifikasi yang terdengar tidak beradab dan kurang hormat kepada agama selain yang dipeluknya).
Terakhir, walaupun secara politis pernah diterima sebagai sebutan resmi, dan — celakanya para akademisi pegawai pemerintah cenderung menjadi akademisi tukang membenar-benarkan para politisi yang tidak komitmet akademik — istilah pendidikan luar sekolah, tidak bisa digunakan karena menggunakan tolok ukur sangat dangkal, dengan sekedar melawankan antara di dalam sekolah dengan di luar sekolah.
Upaya melakukan pembenaran bahwa dengan istilah pendidikan luar sekolah cakupan bidang studi dan profesi ini menjadi lebih luas, justru menjadi menimbulkan persoalan sebagaimana orang biasa mengatakan “ini tanggungjawab bersama yang setali tiga uang dengan pernyataan “ini bukan tanggungjawab siapa pun .
Bila tulisan pendek ini dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban epistemologis atas penggunaan istilah pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan (belajar) informal, secara dekonstruksionis berarti sebenarnya tulisan ini sedang menantang para pengguna istilah “pendidikan luar sekolah” untuk juga mempertanggungjawabkan istilah yang digunakan juga secara epistemologis, dan bukan politis atau polisionis. Salam Imadiklus… prok-prok-prok …. buwahahahahaha.
ketika taxonomi itu digunakan dengan latar ketidak sengajaan dua pihak dalam pendidikan informal, maka saya bertanya, apakah ada orang tua yang secara tidak sengaja membelajarkan anak-anak mereka? apakah mereka tidak sengaja mengajak anak2 mereka berbuat baik? apakah orang tua tidak sengaja membelajarkan anak2 mereka dengan tau
Gue pernah liat tuh kayaknya
http://www.facebook.com/note.php?note_id=485650266848Mangga pak ke catatan aslinya…saya menyimak…h
tak bisa di klik Ji.
ketika taxonomi itu digunakan dengan latar ketidak sengajaan dua pihak dalam pendidikan informal, maka saya bertanya, apakah ada orang tua yang secara tidak sengaja membelajarkan anak-anak mereka? apakah mereka tidak sengaja mengajak anak2 mereka berbuat baik? apakah orang tua tidak sengaja membelajarkan anak2 mereka dengan tauladan?
http://www.facebook.com/note.php?note_id=485650266848Mangga pak ke catatan aslinya…saya menyimak…heee…
tak bisa di klik Ji…….
waduh///itu dari pak sakban alumni PLS
jawabannya ini pak…"Perhatikan kutipan "Silang-sengkarut definisi mengakibatkan kekacauan kategorisasi. Pun kekacauan klasifikasi mengakibatkan kekacauan konklusi." Karena itu, upaya lebih lanjut dari definisi berupa kategorisasi, klasifikasi, atau ti…pologi berdasar tolok ukur kesengajaan perlu dibatasi dengan definisi "sengaja". Secara konseptual, nuansa kengajaan bisa terentang dari sekedar sadar (recognized), sengaja (intended), bertujuan (teleological), direncanakan (planned), hingga terprogram (programmed).Jadi kalau kita memilih definisi "sengaja" hingga taraf terprogram, rasanya tidak ada orangtua yang benar-benar melakukan pembelajaran secara terprogram, dengan evaluasi tentu saja. Dengan demikian, akan lebih bisa dipertanggungjawabkan bila kita mengkategorikan pendidikan keluarga sebagai pendidikan informal, walaupun dalam setiap kategorisasi senantiasa ada "lingkage" antara yang satu dengan yang lain.Bila terpaksa, sebenarnya bisa dibuat kategori baru dengan memasukkan semua nuasa kesengajaan tersebut. Tetapi kategorisasi menjadi tidak berguna, karena terlalu rinci dan bertentangan dengan kaidah parsimoni dan simplifikasi dalam setiap upaya teorisasi.Sikap berlebihan dengan mengatakan "semakin rinci semakin baik", sebenarnya tidak selalu benar secara ilmiah. Ini bisa diibaratkan adanya keinginan memiliki peta yang sangat rinci. Kepada mereka saya akan menjawab, "maukah anda sebuah peta sangat rinci yang besarnya sama dengan realitas?"Kategorisasi, konseptualisasi, pemodelan, dan teorisasi senantiasa menyertakan reduksi terpilih dalam rangka represantasi. Perhatikan ada kata "re" dan bukan presentasi."gitu pak…Saya tetap menyimak…h
waduh///itu dari pak sakban alumni PLS UM…
jawabannya ini pak…"Perhatikan kutipan "Silang-sengkarut definisi mengakibatkan kekacauan kategorisasi. Pun kekacauan klasifikasi mengakibatkan kekacauan konklusi." Karena itu, upaya lebih lanjut dari definisi berupa kategorisasi, klasifikasi, atau ti…pologi berdasar tolok ukur kesengajaan perlu dibatasi dengan definisi "sengaja". Secara konseptual, nuansa kengajaan bisa terentang dari sekedar sadar (recognized), sengaja (intended), bertujuan (teleological), direncanakan (planned), hingga terprogram (programmed).Jadi kalau kita memilih definisi "sengaja" hingga taraf terprogram, rasanya tidak ada orangtua yang benar-benar melakukan pembelajaran secara terprogram, dengan evaluasi tentu saja. Dengan demikian, akan lebih bisa dipertanggungjawabkan bila kita mengkategorikan pendidikan keluarga sebagai pendidikan informal, walaupun dalam setiap kategorisasi senantiasa ada "lingkage" antara yang satu dengan yang lain.Bila terpaksa, sebenarnya bisa dibuat kategori baru dengan memasukkan semua nuasa kesengajaan tersebut. Tetapi kategorisasi menjadi tidak berguna, karena terlalu rinci dan bertentangan dengan kaidah parsimoni dan simplifikasi dalam setiap upaya teorisasi.Sikap berlebihan dengan mengatakan "semakin rinci semakin baik", sebenarnya tidak selalu benar secara ilmiah. Ini bisa diibaratkan adanya keinginan memiliki peta yang sangat rinci. Kepada mereka saya akan menjawab, "maukah anda sebuah peta sangat rinci yang besarnya sama dengan realitas?"Kategorisasi, konseptualisasi, pemodelan, dan teorisasi senantiasa menyertakan reduksi terpilih dalam rangka represantasi. Perhatikan ada kata "re" dan bukan presentasi."gitu pak…Saya tetap menyimak…heee…
??????? ) ????