Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan luar sekolah bagi siswa putus sekolah difokuskan untuk memperoleh kemampuan berwirausaha. Untuk itu, pembelajaran kecakapan hidup (live skill) keterampilannya yang bermanfaat langsung bagi anak-anak muda putus sekolah, dan pengangguran. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas Ace Suryadi mengatakan focus pendidikan ini dalam kaitan memberikan keterampilan kepada mereka untuk memperoleh penghasilan. Misalnya, pendidikan wirausaha dan keterampilan mengelola industri rumah tangga. “Pendidikan keterampilan ini terobosan dalam mengatasi masalah penggangguran di kalangan anak-anak putus sekolah,” kata Ace Suryadi disela-sela acara Rembug Nasional Pendidikan 2006 di Sawangan, Depok, Jabar, Jumat (21/4).
Untuk pendidikan wirausaha, antara lain bekerja sama dengan Departemen Kehutanan dengan menanam jarak di Aceh, Nilam di Subang, Jabar, ulat sutra di Bogor. Termasuk juga, menanam murbai. Pola yang dilakukan dengan inti plasma. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai inti dan masyarakat sebagai plasmanya. PKBM menyediakan bibit, sarana dan prasarana seperti mesin, sekaligus membeli hasilnya dari petani.
“Sekarang sekitar 120 orang menanam nilam di Subang yang hasilnya tiga kali lipat dibandingkan menanam padi.
Harganya, di luar US$160.000/kg,” katanya. Untuk industri rumah tangga, kata Ace, sudah diterapkan di Sumedang, Jawa Barat dengan membuat makanan Opak bertujuan ekspor, antara lain, ke Jepang, Singapura, Brunai Darussalam. Industri kecil ini berlokasi di kampung dengan menyerap tenaga kerja sekitar 300 orang. Tengah dicoba industri rumah tangga yang membuat Ranggina dengan tujuan ekspor juga.
“Orang-orang di luar negeri menyukai makanan khas Indonesia, seperti tempe, oncom, opak, dan sebagainya,” katanya.
Peluang-peluang seperti itu, kata Dirjen, tinggal ditangkap pengusaha kecil dan dikelola dengan baik, sehingga bisa masuk pasar internasional. Kemampuan untuk memperoleh keterampilan membuatnya juga tidak terlalu sulit dan pendidikan orang-orangnya juga tidak perlu tinggi-tinggi, seperti pendidikan yang banyak dimiliki masyarakat pedesaan.
Sedangkan, untuk di perkotaan pihaknya mengembangkan bengkel sepeda motor keliling dengan wadah koperasi jasa oto (Kasato). Peluang ini melihat begitu banyaknya jumlah kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor. Bahkan, sudah masuk ke pedesaan. Contoh lainnya, kursus menjahit. Misalnya, kursus Gilang Tiara Bekasi, Jabar. Kursus ini di samping mendidik peserta berwirausaha, juga sekaligus mengentaskan mereka yang buta huruf. Bahkan, setiap tahunnya sekitar 1.200 orang buta huruf bisa melek dengan kursus ini.
Pasalnya, bagi peserta yang ingin mengikuti kursus diwajibkan membaca terlebih dulu. Jadi, sebelum kursus menjahit mereka terpaksa harus belajar membaca dulu di sana.
Pada awalnya kegiatan kursus ini merupakan swadaya. Namun, melihat potensinya Ditjen PLS mengajak bekerja sama dengan memberikan bantuan dana block grant untuk mengembangkan kursus sekaligus memelekkan orang buta huruf. “Tadinya, mereka tidak mau, karena merasa sudah mandiri. Namun, demi kepentingan lebih banyak masyarakat yang bisa diserapnya akhirnya bersedia juga. Toh, tujuannya sama, sama-sama ingin mencerdaskan dan memandirikan masyarakat,” ujarnya.
Dana bantuan yang diberikan Ditjen PLS bervariasi mulai dari Rp25 juta-75 juta per lembaga. Dana PLS tidak terlalu banyak, pemberian itu hanya semacam stimulus, agar warga yang memiliki dana membuat semacam kursus atau industri rumah tangga yang mampu menyerap anak-anak muda putus sekolah memperoleh pekerjaan.
Terkait dengan buta aksara Ace mengatakan saat ini ada 14,6 juta orang yang mengidap buta aksara. Tahun ini diharapkan bisa mengentaskan 2,4 juta orang. Namun, kemampuan pemerintah pusat dan daerah hanya bisa 800.000 orang. Sementara itu, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan untuk memberantas buta aksara sedikitnya membutuhkan Rp1,1 triliun per tahun. Pemerintah menargetkan pada 2009 buta aksara turun sampai 5. Dari dana tersebut yang ditanggung pemerintah pusat hanya sebesar 2/3 atau Rp700 miliar. Sisanya diserahkan kepada pemerintah daerah. Dukungan dana ini harus berkesinambungan hingga 2009. Untuk mencapai target turun 5 pada 2009 perlu komitmen tinggi setiap daerah, juga dana yang besar. Pemberantasan buta aksara ini, kata Bambang Sudibyo, perlu strategi atau model pembelajaran baru. Model pembelajaran paket A setara SD dan paket B setara SLTP yang semula menggunakan bahasa Indonesia, harus dibalik menjadi 2-3 bulan pertama menggunakan bahasa Ibu (daerah). Kemudian, bulan keempat menggunakan bahasa Indonesia. (media indonesia ) Pelbagai konflik yang terjadi di masyarakat, baik yang mengatasnamakan agama atau etnis, membuat beberapa pihak menuding pola pendidikan kita sebagai kambing hitam. “Pendidikan kita tidak berorientasi pada semangat menghargai perbedaan,” kata Ace Suryadi. Akibatnya, banyak di antara kita yang tidak mampu menikmati perbedaan, bahkan tersiksa dengan perbedaan,” tambah alumnus State University of New York Amerika ini.
Temukan juga ace disini http://gurubesar.upi.edu/ace-suryadi