“Tidak ada suatu negara maju tanpa pendidikan yang benar” Yusuf Kalla.
Setiap tanggal 2 mei di seantero nusantara, kita selalu merayakan Hari Pendidikan Nasional sebagai pengingat bahwa pendidikan adalah aset yang paling utama dalam kemajuan sebuah negara. Tapi apakah momentum ini sekarang hanya sebatas pemeriah update-an status kita saja di sosial media? Atau justru menjadi jam beker peringatan sungguh ironis kondisi pendidikan yang seharusnya sangat mencerahkan, justru menjadi kian puruk lebih dalam.
Miskonsepsi pendidikan di era sekarang pada setiap kalangan sangat rentan terjadi, baik dari tatanan birokrasi pemerintah dengan mahasiswa, media massa dengan masyarakat, bahkan guru dengan murid. Sejatinya, pendidikan masa kini dengan kebebasan berekspresi serta akses tanpa batas seharusnya mampu “membumi hanguskan” kebodohan maupun ketertinggalan namun seperti halnya kerbau, apabila tidak dicambuk oleh petani dia tidak akan jalan. Seperti itulah kiranya kiasan bahtera pendidikan sampai masanya berlabuh Di Pendidikan yang benar, pendidikan yang dapat menciptakan manusia berad, berintegritas serta berbudi pekerti luhur. Pendidikan Di Indonesia mengalami evolusi yang sangat lambat sehingga harus terus di kritisi secara gradual dari berbagai sudut pandang.
Ada banyak sekali pembenenahan yang harus dilakukan untuk pendidikan kita. Keluh kesah mengenai praksis pendidikan yang kaku, tidak demokratis, dan tidak transparan terjadi pada semua instansi pendidikan, baik negeri maupun swasta, baik formal maupun nonformal. Hanya saja para guru yang mengajar dilembaga lembaga swasta cenderung menerima beban lebih berat karena tekanannya dobel: berasal dari pengurus yayasan maupun dari birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintah pun mengalami metamorfosa bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak awal 2001. Kekakuan dan kebekuan praksis pendidikan nasional itu sering mengundang reaksi dari kalangan internal, terutama para guru yang kritis. Meskipun demikian, kritik itu dianggap angin lalu saja, tidak mendapatkan respons yang positif, apalagi berdampak pada perubahan manajerial pendidikan.
Sikap aparat pemerintah yang kurang peka terhadap pendidikan masyarakat atau tidak mempunyai sense of crisis terlihat jelas dengan perilaku mereka yang mencerminkan ketidakpeduliannya terhadap pendidikan. Biaya hidup mewah, korupsi pejabat, Transparansi biaya pendidikan dan perilaku nepotisme dalam birokrasi pemerintahan membuat macet jalannya roda pendidikan. Sekolah yang rusak, guru diPHK, serta masyarakat yang tidak mampu membayar biaya pendidikan. Pemberian beasiswa juga masih tetap didasarkan pada kemampuan akademis, bukan pada kemampuan sosial ekonomi murid. Akibatnya, beasiswa hanya diterima oleh mereka yang secara finansial sebetulnya sudah tidak mengalami kesulitan lagi. Sedikit orang miskin yang memiliki kemampuan akademis cukup baik sehingga memperoleh beasiswa. Mayoritas orang miskin adalah bodoh, karena itu sulit memperoleh beasiswa. Orang awam semula berharap bahwa reformasi sampai pada tingkat memfasilitasi mereka agar bisa turut memperoleh beasiswa guna meringankan biaya sekolah.
LALU DIMANA ANAK MISKIN DAN BODOH MENGAMPU PENDIDIKAN???
Sumber:
Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak Rusakan. LkiS Yogyakarta. Yogyakarta
Oleh : Wandi Sugih Triyana
Universitas Sultan Ageng Trisatya