Terobsesi ciptakan persatuan dari beragam kebudayaan, ras pun bangsa
Farha Ciciek, Perempuan asal Ambon yang selalu percaya bahwa perubahan maju bisa dilakukan dimana saja. Tak hanya di kota besar, di desa terpencil pun perubahan maju itu bisa dilakukan dengan anak-anak sebagai pelaku konkritnya.
“HEBAT nak, lanjutkan ya,” ujar seorang perempuan yang mengenakan kebaya putih dengan bordiran bunga warna-warni, dipadukan dengan kain batik dengan corak sederhana namun tetap elegan melekat di tubuhnya yang tinggi langsing.
Ia sedang menyemangati anak-anak yang berpacu kreatifitas menggunakan Egrang, salah satu permainan tradisional Indonesia yang ingin kembali ia hidupkan. Sesekali ia mengusap keningnya yang berpeluh. Tapi senyum selalu melekat di wajah cerahnya.
Namanya Farha Ciciek, perempuan kelahiran Ambon ini ingin sekali membuat satu perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia. Namun, ia tak ingin memulainya dari kota, melainkan dari desa tempat suaminya berasal.
Lulusan fakultas Usluhudin IAIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Pascasarjana Jurusan Sosiologi UGM ini sempat tinggal di Jakarta selama belasan tahun. Namun, hijrah ke desa dan memilih untuk hidup di tempat kelahiran sang suami justru menjadi pilihannya.
Dua faktor yang mendasari kepindahan perempuan yang akrab disapa Ciciek ini salah satunya adalah rasa sayang yang teramat sangat pada Ibu mertuanya yang tinggal sendirian di sebuah rumah di kecamatan Ledokombo.
Suaminya, Suporahardjo, adalah anak tunggal yang tidak mempunyai saudara sekandung. Keinginan tersebut semakin diperkuat dengan jiwa sosialnya yang ingin membantu sang suami untuk membangun desa kelahirannya.
Tak sulit bagi Ciciek menyesuaikan diri setelah selama belasan tahun hidup di kota metropolitan. Bagi dirinya yang sejak kuliah selalu aktif dalam kegiatan sosial tentu tak menjadi persoalan mendasar ketika harus dihadapkan dengan kehidupan di desa yang serba terbatas.
“Kesulitan saya ketika itu hanyalah membawa anak-anak untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Di desa tentu jauh berbeda dengan tempat tinggal kami di Jakarta dulu,” ujarnya.
Namun, pepatah buah tak jatuh dari pohonnya dibenarkan Ciciek, anak-anaknya justru lebih bergairah ketika mereka merasakan hidup di desa kelahiran ayahnya itu. Mereka turut membantu ayah dan ibunya untuk mewujudkan impian membuat sebuah perubahan yang lebih baik.
Berbekal pengalamannya menjadi aktifis perempuan, Ciciek yang pernah mendirikan Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LS-PPA) menelusuri desa kelahiran suaminya.
Ia menemukan banyak anak-anak yang yatim piatu secara structural. Ayah dan ibu mereka banyak yang bekerja sebagai buruh migrant dan juga pedagang kecil serta tukang ojek. Ada juga yang menjadi tenaga terdidik namun itu hanya sebagian kecilnya saja. Perempuan yang lahir 1963 silam ini merasa prihatin dan ingin membawa perubahan baru terlebih dari segi pendidikan mereka.
Perempuan yang sempat menjadi staf pengajar di fakultas ISIP Universitas Nasional Jakarta ini kian rajin mengumpulkan bahan untuk membuat anak-anak tersebut mempunyai semangat belajar yang tinggi. Bersama sang suami yang sempat aktif dalam yayasan perduli lingkungan, Ciciek mulai menggarap satu demi satu anak-anak Ledokombo sekaligus masyarakatnya secara keseluruhan.
Awalnya, Suporahardjo, suaminya membuat egrang untuk dimainkan oleh kedua putranya. Berbekal hal inilah, puteranya mulai mengajak teman-teman sepermainannya untuk datang ke rumah dan dibuatkan permainan yang sama.
Di dalamnya, Ciciek mulai mengajarkan mereka tentang arti percaya diri, keyakinan untuk menatap masa depan dan memperoleh pendidikan yang layak. Berawal dari 5 anak yang datang, menjadi sepuluh anak hingga tiga puluh anak yang ikut belajar tentang kemandirian.
Ciciek juga mengajari mereka bernyanyi lagu campuran bahasa madura dan bahasa Inggris, sekaligus memainkan alat musik tradisional jimbe dan juga kentongan dari bambu. Alhasil, mereka pun berhasil menanamkan rasa percaya diri pada diri mereka sendiri.
Perjuangan Ciciek membuahkan hasil, terbentuklah satu kelompok bermain dan belajar yang memiliki semboyan bersahabat, bergembira, belajar dan berkarya yang dinamakannya tanoker, salah satu bahasa madura yang berarti kepompong.
“Saya memang belum satu tahun tinggal disini. Tapi melihat semangat belajar mereka, melihat antusiasme orang tuanya, saya selalu percaya pada perubahan maju. Saya nggak pernah percaya dengan stereotype bahwa anak desa nggak bisa berkembang. Kalau gagal ya berarti harus change strategy saja,” tandasnya. (nur fitriana)
FROM TANOKER LEDOKOMBO JEMBER (KOMUNITAS DESA GO INTERNATIONAL)
“Bagi saya ini sangat mengispirasi dan sangat berjiwa PLS padahal mereka bukan orang PLS!!! IMADIKLUS menunggu aksi kalian yang seperti ini”.
CP +62331 592 099, +6281 2110 2391
Jl. Kantor Polisi, Simpang Tiga Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo 68196
sumber http://id.tanoker.org/index.php/liputan/item/28-ingin-membuat-perubahan-dari-desa.html