LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT PERMUKIMAN PADAT DAN KUMUH
Oleh Hesti Maihani
Jurusan Pendidikan Luar Sekolah
Universitas Negeri Malang
- A. Fenomena Masyarakat Permukiman Padat dan Kumuh
- Definisi Pemukiman Padat dan Kumuh
Secara umum, daerah kumuh (slum area) diartikan sebagai suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman di banyak kota besar, oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, di bawah jembatan, tempat pembuangan sampah, yang sanitasinya buruk serta air yang terkontaminasi dengan limbah, serta mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsian akibat kerusuhan yang melanda beberapa daerah. Lingkungan permukiman kumuh tersebut miskin fasilitas umum dan dihuni para pekerja kota dalam berbagai sektor dan jenis pekerjaan. Di kawasan seperti ini kualitas lingkungan dan perikehidupan masyarakatnya buruk, sehingga mudah terjangkit berbagai persoalan penyakit endemik serta sarat masalah sosial dan kemiskinan.
Lingkungan pemukiman kumuh berdasarkan lokasi dapat digolongkan menjadi kumuh nelayan, kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi, kumuh pusat kota, kumuh pinggiran kota, kumuh kawasan pariwisata, kumuh kawasan rawan bencana, kumuh daerah tepian sungai dan danau. Selain itu, tingkat kekumuhan lingkungan daerah satu berbeda dengan lingkungan daerah lain karena terkait dengan karakteristik lingkungan itu sendiri.
Lingkungan pemukiman kumuh dapat dilihat dari berbagai sisi, diantaranya adalah kesesuaian peruntukan lahan dengan tata ruang untuk pemukiman, status pemilikan lahan, letak kedudukan lokasi kawasan, dan tingkat derajat kekumuhan. Penilaian terhadap tingkat derajat kekumuhan merupakan kriteria utama yang paling penting karena menyangkut tingkat kepadatan penduduk, jumlah penduduk miskin, kegiatan usaha atau ekonomi penduduk di sektor informal, kepadatan rumah atau bangunan, kondisi tidak layak huni, kondisi sarana dan prasarana lingkungan, kerawanan kesehatan dan lingkungan, maupun tingkat kerawanan sosial.
- Ciri-Ciri Pemukiman Padat dan Kumuh
- Dihuni oleh jumlah penduduk yang padat, baik karena pertumbuhan akibat kelahiran maupun karena urbanisasi.
- Dihuni oleh pengangguran, warga miskin dan berpenghasilan rendah.
- Bangunan rumah kebanyakan gubug dan semi permanent.
- Lingkungan yang jorok, kotor, tidak sehat, dan tidak teratur.
- Tingkat kejahatan dan kriminalitas tinggi.
- Fasilitas publik sangat tidak memadai.
- Kondisi rawan lingkungan fisik, yaitu rawan banjir, kebakaran, sarana dan prasarana kurang memadai, sanitasi lingkungan buruk, tidak ada sumber air bersih, perumahan padat dan kurang layak huni.
- Latar Belakang Adanya Pemukiman Padat dan Kumuh
Permukiman padat dan kumuh adalah suatu daerah yang muncul akibat padatnya kota dan kualitas perekonomian yang makin rendah, sehingga terjadi pemakaian lahan-lahan kosong yang berada di pinggiran kota yang akhirnya mengakibatkan bermunculannya tempat tinggal sementara para komunitas masyarakat perekonomian rendah yang di bangun tanpa adanya peraturan dan perencanaan kota.
Perkembangan lingkungan permukiman kumuh dan padat yang biasanya terjadi di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah pedesaan, sehingga memunculkan adanya daya tarik kota yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat pedesaan atau luar kota, sementara latar belakang kapasitas dan kemampuan para pendatang sangat marjinal seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan akan penyediaansarana dan prasarana permukiman juga akan meningkat, baik melalui peningkatan lahan maupun pembangunan baru.
Selanjutnya, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana permukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun pemerintah setempat. Hal itu mengakibatkan kapasitas daya dukung sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun yang pada gilirannya memberikan kontribusi terjadinya lingkungan permukiman padat dan kumuh.
Selain itu, permukiman padat dan kumuh juga disebabkan oleh bencana alam. Dalam hal ini, masyarakat yang menjadi korban bencana alam tidak mendapat perhatian dari pemerimtah. Sehingga masyarakat berusaha sendiri mendirikan tenda-tenda darurat dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Maraknya permukiman padat dan kumuh di kota-kota besar di Indonesia juga tak lepas dari persoalan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-kantong kemiskinan yang kronis dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan mengawasinya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan.
Untuk itu kewajiban pemerintah sangat diperlukan keefisienannya dalam menghadapi permasalahan masyarakat miskin kota ini. Pemerintahan perkotaan yang baik selalu berupaya menemukan cara-cara untuk dapat melibatkan kelompok miskin perkotaan, sehingga kebutuhan mereka dapat direfleksikan dalam kebijakan dan program-program pemerintah kota. Pencapaian untuk alternatif perkotaan masa depan sangat tergantung pada seberapa jauh kelompok-kelompok miskin mampu mengorganisasikan diri, yang tidak hanya terbatas dalam lingkup wilayah mereka tetapi juga dapat menghasilkan suatu kekuatan politik secara lebih besar dalam skala kota dan bangsa. (Panos: Governing Our Cities). Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin biasanya adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.
Di kota-kota besar di negara-negara Dunia biasa ditemukan adanya daerah kumuh atau pemukiman miskin. Adanya daerah kumuh ini merupakan pertanda kuatnya gejala kemiskinan, yang antara lain disebabkan oleh adanya urbanisasi berlebih, di kota-kota tersebut. Secara umum, daerah kumuh (slum area) diartikan sebagai suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman di banyak kota besar, oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.
Stigmatisasi pembangunan perkotaan memposisikan kawasan dan lingkungan permukiman kumuh adalah penyakit kota. Kawasan dan lingkungan permukiman kumuh dianggap sebagai bagian wilayah kota yang sangat tidak produktif, kotor, tidak memiliki potensi, tidak efisien dan mengganggu estetika serta keindahan. Pendekatan konvensional yang paling populer adalah menggusur permukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota yang ternyata bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan. Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi permukimannya yang baru. Apalagi berkenaan dengan upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target soisal-ekonomi-politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati.
Gejala daerah kumuh dapat dijelaskan dengan Teori Marginalitas :
- Gejala daerah kumuh sebagai produk migran pedesaan yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik tidak berintegrasi dengan kehidupan masyarakat kota.
- Daerah kumuh meluas di perkotaan karena adanya urbanisasi di mana para migran membawa gaya hidup pedesaan yang tidak relevan dengan gaya hidup kota.
- Para migran yang berurbanisasi dari pedesaan ke kota itu, umumnya tidak mampu melakukan penyesuaian (adjustment) secara memuaskan dengan pola kehidupan kota. Namun enggan pula untuk balik ke desa. Lalu berkumpul dengan orang yang senasib dan membentuk suatu daerah tempat tinggal yang secara sosial terisolasi dan tidak mampu mengakses fungsi pelayanan kota seperti pendidikan, kesehatan, dsb.
- Dalam proses dan keadaan demikian timbullah budaya kemiskinan (culture of peverty) seperti: apatisme, serba curiga, fatalisme, putus asa, dependen dan rendah diri, boros dan konsumtif, berorientasi pada hari ini, mudah terjebak dalam tindak perilaku menyimpang dan kriminal, serta tidak berintegrasi dengan kehidupan kota secara memuaskan. Semuanya itu berlangsung dan tersosialisasi dari generasi ke generasi.
- Sebagai akibat dari semua itu, secara sosial, penghuni daerah kumuh mempunyai disorganisasi internal karena kelompok mereka yang kurang kohesif dan secara individual kesepian. Selain itu mereka juga mengalami isolasi eksternal karena jauh dari jangkauan pelayanan kota.
- Secara kultural, penduduk daerah kumuh memiliki budaya tradisional, khususnya lagi budaya kemiskinan yang menyebabkan mereka sulit keluar dari keadaan tersebut.
- Secara ekonomi, penduduk daerah kumuh dianggap bersifat parasit karena lebih banyak menyerap sumberdaya yang ada di kota ketimbang berkontribusi terhadapnya dan memiliki orietasi ekonomi yang tidak produktif seperti boros, konsumtif, cepat puas, tidak ada semangat kewirausahaan, dan produksi subsisten, dsb.
- Secara politik, bersifat apatis, enggan berpartisipasi dalam kehidupan politik, namun mudah terpengaruh untuk bersifat radikal dalam gerakan-gerakan politik yang revolusioner karena frustrasi karena disorganisasi sosial dan anomi yang mereka alami
- Penanganan Lingkungan Pemukiman Padat dan Kumuh
Stigma negatif terhadap komunitas dan lingkungan permukiman kumuh pada hakekatnya mengingkari kesejarahan kota, sedangkan praktek penggusuran dan pengusiran merupakan praktek pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional, hak tradisional maupun hak asasi manusia yang melekat pada setiap warga dan masyarakatnya. Pada sisi lain, stigmatisasi tersebut sekaligus menunjukkan adanya sindrom inferioritas di kalangan pengelola kebijakan dan pemerintahan, yakni berupa ketidakberdayaan dan rendahnya kapasitas dalam mengelola pembangunan dan penciptaan kesejahteraan rakyat.
Persoalan lebih mendasar dari stigmatisasi komunitas dan kawasan lingkungan permukiman kumuh, adalah bias sektoral pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Rumah hunian dan lingkungan permukiman merupakan bagian eksistensial bagi setiap manusia, sehingga praktek penggusuran dan pengusiran tersebut dapat dikatakan sebagai praktek dehumanisasi pembangunan. Tidak teringkari bahwa kawasan dan lingkungan permukiman kumuh perkotaan berkembang di luar kendali kebijakan dan sistem penataan ruang kawasan perkotaan. Dalam banyak kasus masyarakat pemukim kawasan ini berhadapan dengan persoalan laten terkait dengan ketidakpastian status hukum penguasaan dan penggunaan lahan, menempati lahan yang dalam perspektif lingkungan dan pengelolaan kawasan tidak direkomendasikan sebagai daerah hunian sampai lahan publik. Tidak ayal jika tanah-tanah in-absensia, bantaran sungai, penyangga jalan kereta api, pemakaman umum dan kawasan sekitar pembuangan akhir sampah perkotaan dikerumuni gubug-gubug, rumah semi permanen dan kemudian juga rumah permanen. Lingkungan permukiman kumuh tersebut miskin fasilitas umum dan dihuni para pekerja kota dalam berbagai sektor dan jenis pekerjaan.
Di kawasan seperti ini kualitas lingkungan dan peri-kehidupan masyarakatnya buruk, sehingga mudah terjangkit berbagai persoalan penyakit endemik serta sarat masalah sosial dan kemiskinan. Konflik-konflik keagrariaan kota berkembang dan secara eksplosif muncul setiap saat. Persoalan yang terus mengendap dan laten menilik pada lemahnya penyelenggaraan hukum, perlindungan hak warga dan ketidakpastian serta inkonsistensi implementasi kebijakan penataan dan pengelolaan ruang kawasan. Komitmen pemerintah terhadap masalah kemiskinan, jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia serta penanganan masalah permukiman kumuh merupakan usaha pemerintah menjalankan kewajiban konstitusionalnya atas hak-hak asasi warga yang dijamin konstitusi negara. Komitmen demikian memperoleh dorongan penguatan dari komitmen internasional.
Ditengah berbagai kelemahan dan kekurangan dalam sistem penyelenggaraan pengembangan perkotaan dan pelayanan permukiman yang ada dewasa ini, orientasi dan paradigma baru pembangunan kota, khususnya perumahan dan permukiman perkotaan, harus ditempuh. Stigma pengembangan kota sebagai penggusuran kelompok tak berdaya harus dihilangkan, sebaliknya pemberdayaan setiap pihak yang terlibat perlu ditingkatkan. Implementasi dari tekad dan komitmen ini masih membutuhkan penyempurnaan, baik proses maupun model dan polanya. Penyempurnaan ini nampaknya tidak cukup melalui peningkatan aspek ketrampilan profesional (professional skills) semata, akan tetapi juga menghendaki adanya perubahan paradigma. Perubahan ini justru menjadi dasar yang akan menentukan proses, pola dan model dalam sistem pengembangan kota. Perubahan paradigma dimaksud, tidak hanya untuk pengembangan kota tetapi merupakan tuntutan dan bagian integral dari pelaksanaan otonomi daerah; sebagai hak dan kewajiban daerah untuk mengurus dan mengatur daerah otonomi termasuk hal-hal yang menyangkut asas desentralisasi, terkait dengan pembagian dan penyerahan maupun pelimpahan wewenang secara proporsional.
Orientasi dan paradigma baru terkait dengan pijakan sikap, pikiran dan tindakan politik pemerintahan dan pembangunan yang mendudukkan rakyat (masyarakat) sebagai subyek dan bagian integral dalam penyelenggaraan negara. Perubahan ini menuntut penyempurnaan pada berbagai aspek, terutama terkait dengan kebijakan, pengelolaan sumber daya aparat serta model, pendekatan dan metode kerja pembangunan dan pelayanan. Dalam pembangunan kota sebagai usaha penataan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman kumuh, secara paradigmatik pemerintah dituntut sikap keberpihakannya pada warga dan masyarakat penghuninya. Operasionalisasi pelayanan permukiman dituntut untuk selaras dengan penataan ruang kawasan perkotaan yang ada, namun aspirasi, inisiatip dan kepentingan warga miskin dan kelompok berpenghasilan rendah merupakan hal yang utama. Hal ini berarti merubah orientasi dan pandangan yang sebelumnya dominan, bahwa perumahan dan permukiman adalah persoalan individual warga sebagaimana tercermin dari model dan pendekatan pasar dalam pembangunan perumahan.
Proses kerja dan pembelajaran bersama untuk membangun hubungan dan kerjasama pemerintah dan masyarakat menjadi pokok yang penting dan harus dijalani seluruh elemen pemerintahan. Pemerintah bersama seluruh aparat, kedinasan dan kebijakannya dituntut untuk bertindak partisipatoris dalam realitas kehidupan masyarakatnya dengan maksimalisasi peran sebagai regulator, pelayan dan pemberdaya masyarakat/warga dalam mencapai kesejahteraan. Peran multi-pihak seperti swasta/dunia usaha, organisasi non-pemerintahan maupun perguruan tinggi dan lainnya dalam proses ini adalah kunci yang lain. Keterlibatan multi-pihak merupakan penguatan sistem dukungan bagi keberlanjutan usaha pembangunan perkotaan.
Seperti pembangunan kawasan bisnis oleh swasta didorong dengan tetap menempatkan dan menguatkan keberadaan masyarakat di sekitarnya sebagai bagian dari keutuhan sistem kota secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pembebasan lahan jangan sampai dioperasionalkan sebagai praktek jual-beli dan pengusiran, tetapi kerjasama sinergis dalam penataan kawasan dengan masyarakat kota, terutama pemukim kawasan terbangun, sebagai subyek yang tidak boleh dinomorduakan.
Bagaimanapun, pilihan warga untuk bertahan dan menghuni kawasan permukiman padat dan kumuh perkotaan karena asesibilitasnya yang mudah terhadap ruang kerja dan penghidupan mereka. Tempat-tempat demikian memungkinkan pekerja berpenghasilan terendah dapat hidup dan menjalankan berbagai aktivitas produktif dengan biaya terendah dalam suatu kegiatan ekonomi. Permukiman kumuh dapat memfasilitasi eksistensi dari bentuk keunggulan ekonomi komparatif ; memberi fungsi ekonomi dengan biaya yang kompetitif, baik dalam skala perekonomian tingkat kota, wilayah maupun global ; serta sebagai sumber keunggulan perekonomian kota. Mengelola tempat-tempat ini dengan baik, di bagian wilayah manapun, merupakan kunci untuk menjamin kesuksesan ekonomi dan kestabilan demokrasi.
- B. Kondisi dan Problematika Pendidikan Pada Masyarakat Permukiman Padat dan Kumuh
Telah ditetapkan dalam Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Beberapa konsekuensi dapat diambil atas isi pasal dari konstitusi tertinggi di Republik Indonesia tersebut. Pertama adalah bahwa belajar haruslah dilakukan secara terus menerus, seumur hidup, dan berkelanjutan. Kedua, bahwa semua lapisan masyarakat Indonesia harus dapat mengakses segala jenis dan tingkatan pendidikan yang diperlukan dan sesuai untuknya. Ketiga, bahwa pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah, dan dapat memberi keyakinan bahwa setiap individu dari masyarakat Indonesia dapat dan telah mengenyam pendidikan yang layak.
Di lain pihak, kondisi geografis Indonesia yang sulit serta kurangnya dukungan infrastruktur yang memadai, membuat sistem pembagian pengembangan pendidikan untuk daerah menjadi sangat tidak adil. Di daerah yang dapat dicapai dengan komunkasi darat, laut dan udara dengan mudah, bisa membangun sekolah megah dengan fasilitas yang memadai. Namun sebaliknya, sekolah-sekolah yang berada di pelosok di tanah Sulawesi, Maluku, Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara, bahkan Jawa “Bali pun ada yang hanya berdinding jelajah, bambu atau papan, berlantai tanah, beratap bocor bahkan hampir rubuh. Kekurangan tenaga pengajar, buku-buku sumber belajar serta fasilitas meja-kursi belajar justru menjadi masalah tambahan bagi sekolah-sekolah ini.
Secara umum kebijakan di bidang pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia-manusia yang tidak hanya pandai secara akademis namun juga siap untuk bekerja. Pendidikan lebih ditujukan untuk mencetak manusia dewasa yang mandiri dalam kehidupan bermasyarakat, yang bertanggung jawab dan tahu akan kelebihan serta kekurangan dirinya sehingga menjadi pribadi yang penuh perhatian dan peduli terhadap sesamanya. Untuk mencapai tujuan itu, ada beberapa persoalan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan bidang pendidikan, yaitu (1) kualitas pendidikan, dimana di dalamnya termasuk kualitas kurikulum, kualitas guru, dan kualitas manajemen pendidikan, (2) kesetaraan dan aksesibilitas untuk memperoleh pelayanan pendidikan (baik sarana maupun prasarana).
Dari segi kualitas pendidikan, persoalan yang muncul adalah seputar muatan dalam kurikulum yang belum sesuai dengan harapan dari kebutuhan dunia tenaga kerja maupun akademis. Di samping itu, kualitas pendidikan juga menyangkut persoalan seputar kualitas guru yang masih kurang profesional karena minim dengan pengalaman dan komitmen mendidik, serta kualitas manajemen pendidikan secara umum yang masih kurang baik.
Sedangkan dari segi kesempatan, kesetaraan danaksesibilitas, persoalan yang muncul adalah masih rendahnya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi semua orang tanpa harus memperhatikan latar belakangnya. Angka putus sekolah dan buta huruf masih menjadi satu persoalan pendidikan. Pemerataan kesempatan berarti mengharuskan dunia pendidikan untuk terus memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang di semua wilayah, sehingga pendidikan dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah.
Masalah-masalah pendidikan di Indonesia:
– Negara belum mampu melaksanakan amanat UUD yaitu 20% APBN untuk pendidikan.
– Sarana dan prasarana pendidikan yang tidak mendukung.
– Keprofesionalan guru yang rendah.
– Kesejahteraan guru yang rendah (terkait dengan keprofesionalan).
– Pendidikan dijadikan komoditas politik dalam pilkada-pilkada, dengan kampanye pendidikan gratis.
– Belum meratanya pendidikan yang layak bagi seluruh daerah di Indonesia.
– Belum sesuainya pendidikan dengan karakter daerah-daerah dan karakter Indonesia.
Masalah-masalah dalam dunia pendidikan pada anak daerah permukiman kumuh dan padat, antara lain :
– Terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan.
– Ekonomi yang lemah, sedang biaya pendidikan semakin mahal sehingga sulit untuk dijangkau masyarakat miskin.
– Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat permukiman padat dan kumuh akan pentingnya pendidikan.
– Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
– Tidak adanya bantuan yang masuk ke daerah permukiman padat dan kumuh.
– Kegiatan belajar mengajar berbenturan dengan kegiatan kerja mereka.
Dalam bidang pendidikan, masyarakat yang berada pada lingkungan padat dan kumuh ini sangat tertinggal dengan penduduk yang berada di sekitarnya. Bagi mereka, ilmu sangat sulit di dapatkan. Mereka juga tidak mampu merasakan manfaat dari teknologi yang berkembang, baik di bidang pendidikan ataupun bidang lainnya.
- C. Strategi Pemecahan Masalah Pendidikan Pada Masyarakat Padat dan Kumuh
- Peran Pendidikan Luar Sekolah
Ketika anak-anak miskin dan terlantar tidak dapat menjangkau pendidikan dasar di sekolah akibat tidak mampu membayar, tidak mampu beli buku, beli seragam serta tidak mampu menyesuaikan waktu belajar karena harus bekerja mencari nafkah maka PLS menjadi harapan tempat di mana anak-anak tersebut memperoleh pendidikan dalam bentuk pengetahuan dan ketrampilan praktis yang mampu dia aplikasikan di dalam komunitas masyarakat di mana dia hidup. Melalui PLS, haknya yang hilang di sekolah dikembalikan lagi melalui kegiatan-kegiatan pendidikan di luar sekolah. Karena PLS merupakan setiap usaha pelayanan masyarakat dalam bentuk penyediaan dan penyampaian pengetahuan, ketrampilan, sikap mental yang relevan dan fungsional.
Untuk mendukung pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, pemerintah telah meluncurkan model belajar melalui jalur PLS yakni pemberantasan buta huruf dan Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SMP dan Kejar Usaha serta Magang secara gratis untuk menjangkau anak-anak miskin dan tersisih, di mana pola belajarnya disesuaikan dengan kebutuhan belajar dari anak-anak tersebut menyangkut waktu belajar, tempat belajar yang bisa dilakanakan di rumah warga atau rumah kepala desa / tokoh masyarakat atau sarana-sarana umum di lokasi di mana komunitas anak-anak itu hidup dan beraktivitas.
- Model pendidikan alternatif oleh masyarakat dan LSM
Kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat yang memang banyak memberikan kepedulian pada pengembangan dan pemberdayaan anak-anak miskin sudah melakukan kampanye dan aksi tentang perlindungan anak-anak. Mereka melakukan proses pembelajaran bagi anak-anak tersisih ini dengan model pendidikan yang cukup bervariasi, karena LSM dalam kegiatan pengembangan masyarakat terutama pada anak-anak miskin itu memiliki cara tersendiri yang khas dimaan prosesnya diawali dengan upaya Pengenalan Diri . Dalam artian mendorong masyarakat / anak-anak untuk mengenal secara menyeluruh, kondisinya, kekuatan dan kelemahan-kelemahannya baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Hal terpenting yang harus dilaksanakan pada anak miskin adalah bagaimana mengembangkan potensi mereka yang hanya mampu mengenyam pendidikan dasar atau malah kurang dari itu dengan cara mangajarkan anak untuk mengajukan pertanyaan sendiri secara kreatif dengan benar sesuai dengan permasalahannya daripada menjawab pertanyaan orang / guru secara benar tapi tidak mengetahui / mengerti makna dari pertanyaan itu yang lebih mengandalkan hafalan.
Ada berbagai bentuk pendidikan alternatif yang telah dilaksanakan oleh masarakat baik perorangan maupun secara kelompok melalui LSM-LSM, seperti Laboratorium Edukasi Dasar oleh Romo Mangun dan kelompoknya Sekolah Tanpa Dinding ataupun Sekolah Darurat Kartini di kolong jembatan tol Rawa Bebek dan Kolong Tol Jembatan Tiga Jakarta oleh si kembar Ryan dan Rossi atau (ibu kembar) yang mengorganisir dan membelajarkan ratusan anak miskin, terlantar yang hidup di jalanan, di pembuangan akhir sampah maupun di perkampungan kumuh.
Bentuk lainnya bisa seperti perpustakaan terapung atau belajar membaca dan berhitung di bawah pohon di tengah hutan lindung dengan bantuan seorang mediator atau fasilitator yang dilaksanakan oleh LSM. Dalam kegiatan itu anak-anak duduk bersama dan berdialog dengan orang dewasa yang berkunjung ataupun mediator / fasilitator yang ada. Situasi ini sangat berbeda dengan cara biasa, di mana orang dewasa memperlakukan anak-anak layaknya orang dewasa, sedangkan pada kondisi lain anak-anak cenderung dikuliahi, jarang dimintai pendapat atau mengajukan pertanyaan serta diberi kesempatan berdialog. Proses belajar PLS dalam bentuk pendidikan alternatif ini mengutamakan dialog karena melalui dialog akan terungkap permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak itu dan hanya dialoglah yang menuntut adanya pemikiran kritis yang mampu melahirkan pemikiran kritis.
- 3. Pendidikan ketrampilan hidup untuk pemberian kerja dan wirausaha (LSE3)
LSE3 sedang dipersiapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal dengan bantuan dari Bank Dunia, dan bertujuan untuk membantu pemuda putus sekolah yang membutuhkan ‘kesempatan kedua’ sehingga mereka dapat mengakses dan mendapatkan latihan keterampilan berorientasi pasar yang sesuai serta mendapatkan pekerjaan dan keluar dari kemiskinan.Bank akan membantu dalam peningkatan prakarsa ‘pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan’ di LSE3, seperti yang telah terbukti melalui praktik terbaik dari tiga proyek sebelumnya – EYE (Pendidikan Pemuda untuk Mendapatkan Pekerjaan), KPP (Kursus Para Profesi), dan KWD (Kursus Wirausaha Desa). LSE3 akan memperkuat dan meningkatkan penyampaian layanan Pendidikan Nonformal dan Informal, serta mekanisme jaminan kualitas dan meningkatkan peluang bagi wirausaha dan swakarya. Dengan berfokus pada peningkatan pemberian kerja dan prospek pendapatan pemuda yang tidak mampu (wanita tidak bekerja, putus sekolah, pemuda miskin), LSE3 akan memiliki pendekatan yang berorientasi pada pasar, serta menyediakan akses yang lebih baik atas pelatihan keterampilan yang mendorong permintaan dan kewiraswastaan dalam kemitraan dengan publik, swasta dan organisasi masyarakat sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Blaang, Djemabut. 1986. Perumahan dan Pemukiman sebagai Kebutuhan Pokok. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
www. quro ™s blog. com
www. restrada. com
www. uii. ac. id
www. duniapendidikan. com
Tinggalkan Balasan