Lima Jari untuk KETUMAMOYA _ 2

Sinar terang menyala dari luar rumah, tanda pagi penuh suka cita di hari yang penuh berkah. Berkelana kemana hari ini, aku serahkan kepada kedua sahabatku.

Pertama, Universitas Negeri Malang. Hari Jum’at, car free day selama kurang dari sembilan jam. Sehingga menikmati langkah kaki yang berjalan dengan riaknya daun dihembus angin dari pepohonan. Gedung-gedung berdiri dengan kokohnya. Dan sampailah kami di fakultas bersama, Fakultas Ilmu Pendidikan. Fakultas yang berisi jurusan kita semua – Pendidikan Luar Sekolah.

Mahasiswa berjajar di sepanjang koridor gedung. Ada yang mengejarkan tugas, ada yang berburu jaringan internet, ada juga yang sedang menunggu dan mempromosikan kegiatan yang akan dilaksanakan.

Tepat di depan gedung D1 FIP. Lorong ruangan itu membuatku penasaran, dan kau ajak aku masuk ke dalam. Kau jelaskan manfaat setiap tembok yang kita lewati. Menaiki tangga kuliah yang sangat lebar dengan cahaya di hadapan. Melihat ruang-ruang yang biasa dipakai untuk pembelajaran. Ruang yang hampir sama dengan ruang kuliah di kampus manapun. Menelisik kembali ke lantai satu. Menunjukkan tempat dengan sebutan yang sudah biasa dipakai mahasiswa FIP UM. Ruang Aquarium. Kaget diri ini ketika mendengar istilah tersebut, hanya tawa kecil yang tertampak. Ya… mungkin dimanapun suatu tempat sering disebut dengan istilah lain. Istilah yang menggambarkan bahwa tempat itu sama dengan kata tersebut. Dan, aku berjalan kembali. Melihat satu ruangan di balik jendela hitam. Ruangan besar, dengan setumpuk barang. Seketika, pintu itu terbuka dan kulihat adik kecil berteriak. Aku urungkan untuk maju kedepan, tetapi berbalik menuju ruang HMJ PLS yang sangat nyaman. Rasa rindu menggebu pada pertemuan ketiga dan tak terduga. Lama… dan berdiam lama aku duduk di ruang ini, sambil menunggu seseorang dalam janji. Obrolan hangat menghiasi bahwa kita tidak melupakan apa yang telah dan sedang terjadi, sambil bersilaturahmi dengan kawan seperjuangan walau berbeda angkatan. Hingga, janji tersebut datang dan akhirnya dapat kami tepati.

a2-2
Kaki ini melangkah pergi bersama seseorang yang ingin dipanggil adik (padahal seumuran walau memang berbeda angkatan). Ya…. Menyusuri kembali jalan-jalan sejuk bersama dimensi alam berbalut coklat muda, putih abu, dan warna sederhana lainnya yang menyerap pada dinding. Lalu, aku duduk di tengah ramainya orang-orang yang sedang makan ataupun sekedar minum. Menunggu kembali seseorang yang sebelumnya ku tahu dirinya. Seseorang yang tak sampai lima menit telah datang. Seorang sahabat baru lagi yang begitu hebat. Kalian mengajarkanku banyak hal. Kita berbicara banyak, bahwa perjuangan sebuah mimpi tidaklah mudah untuk digapai. Ada sejumlah proses dan jalan berliku. Ada sejumlah keluarga yang senantiasa mendukung. Dan ada sejumlah sahabat yang bermimpi sama dan mau melaksanakannya dalam proses alunan kekonyolan yang tercipta. Menyerah adalah hal pilu dalam hidup jika kita melakukan itu. Sehingga, proses terus dilalui dan menjadi sebuah catatan perjalanan yang tak biasa. Keyakinan diri, keyakinan hati, keyakinan pada Ilahi. Manis pahit sebuah perjuangan mimpi.

***

Terik mentari menghangatkan jiwa raga. Kini aku berkunjung pada gedung bergaya lama. Pada ruang yang harus dibuka alas kaki, menginjak pada sebuah karpet yang menempel lekat. Ruang dengan setumpuk buku dan kumpulan karya mahasiswa. Terlihat beberapa mahasiswa asyik membaca dan berdiskusi untuk karya yang akan dicipta. Karya wajib mahasiswa jika telah menempuh tingkat akhir. Mencari referensi masalah yang sebelumnya pernah diangkat dan bagaimana penyelesaiannya. Kemudian berusaha menentukan masalah yang kini akan diteliti oleh dirinya. Ruang yang mendukung belajar dan betah duduk lama. Sahabat lelaki telah datang, dan kami melanjutkan perjalanan setelah sembahyang dilakukan.

Perjalanan itu, aku merasakan kesejukan. Begitu banyak taman-taman di tengah jalan. Hamparan bunga indah dipandang, hamparan rumput hijau menentramkan, hamparan pohon-pohon yang ….. Aaahhh aku tak bisa berkata.

Seperti suatu kewajiban seseorang yang berkelana ke tempat lain, wajib mengunjungi tempat-tempat yang dikata central. Tempat kedua ini, aku diajak ke salah satu pusat kota _ Alun Alun Malang.

Semilir angin di tengah teriknya sinar matahari.
Aku berjalan menyusuri setiap kotak-kotak bebatuan.
Burung-burung terbang kesana kemari,
Memainkan alunan melodi dengan suara cicitan di langit,
Kicauan suara itu, kemudian berhenti
Setelah sang burung memasuki sangkarnya kembali….
Dibawahnya, bapak berbaju kuning
Membawa plastik besar yang menjadi tumpuan
Bukan hanya satu, lebih dari dua
Senantiasa tersenyum walau cucuran air terlihat di muka….
Air memang benda yang sampai saat ini masih dijumpa
Tekhnologi yang berkembang, menjadikan air terlihat tidak biasa
Dibuat pertunjukan sederhana, sehingga orang terpana
Namun sayang, hanya kolam dengan air tenang
Tanpa percikan yang dari setiap sudut telah direncanakan
Dan tak mengapa… aku masih menikmati sudut lain…
Melangkah pada sebuah tempat yang ingin aku bersandar
Melangkah pada sebuah tempat dimana kita dapat berbicara
Tentu saja, tempat duduk permanen di sudut yang sangat sudut
Bertanya kenapa ini ada, kenapa itu ada
Kenapa hal ini seperti ini, kenapa hal itu seperti itu….
Dering handphone menyala, gambar kamu terpampang di layar
Layangan indahnya Malang dan Kalimantan terucap pada kata
Suara itu menjadi pengobat rindu kita semua
Berpeluh rasa padahal masih di langit Indonesia…
Kita berdiri, melangkah pergi dari sudut ini
Anak-anak kecil tertampak bahagia
Sang ayah dan ibu setia mendampingi
Untuk sekedar bermain atau bahkan memphoto riang senyumnya….
Aku yang berjalan, hanya bisa berangan
Melihat keluarga atau kelompok yang merasa senang
Tertawa melepas penat tak tertahankan
Menuju masyarakat penuh harapan dan kesejahteraan
Alun-alun Malang
a2-3
***

Tempat ketiga, aku lihat sebuah gang besar, cukup untuk dua mobil kecil. Namun, motor-motor terpajang tanda orang-orang memarkirkan kendaraan. Kios-kios sederhana dengan barang-barang yang masih baru. Lesehan-lesehan pedagang di depan, dengan dagangannya yang sudah lama namun berusaha dijual kembali. Kehidupan masyarakat sederhana di tengah pikuknya pusat kota serta mobil-mobil besar bergandengan hilir mudik. Kami masih mengendarai hingga akhirnya menemukan lahan parkir untuk kendaraan yang telah kami jajaki. Berjalan penuh kehati-hatian, karena jika tidak sadar bisa saja salah satu anggota tubuh terkena pada badan kendaraan yang sedang melintas. Kami memasuki sebuah gang kecil. Sebuah gang dengan ucapan selamat datang tak biasa. Gang dengan dinding-dinding berhiaskan warna-warna yang menyala. Sampailah kami di tempat ketiga, Kampoeng Warna Warni Jodipan. Berbekal Rp. 2.000,00 untuk menikmati kampung yang sangat luas nan indah. Penduduk yang tidak sedikit. Roda perekonomian yang meningkat. Kreatifitas tanpa batas.

Kampung ini berdiri sejak lama. Tidak ada yang menyangka, kampung yang dulunya kumuh, seketika menjadi terkenal. Belum genap satu semester, kampung ini ramai dikunjungi dan menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Malang. Rumah yang berwarna-warni dengan hiasan gambar lekat pada seni. Bukan hanya tembok atau rumah, tetapi jalanan yang dipijaki bukan lagi warna asli. Melainkan warna-warni yang ter-cat rapih. Seni abstrak yang mendunia. Setiap belokan, mempunyai keindahan seni. Setiap rumah, ada yang memajangkan makanan/minuman sebagai salah satu pencarian nafkah, ada pula yang menjajakan cinderamata serta kerajinan karya warga Jodipan/Malang sebagai hiasan manis terlebih jika dibawa pulang. Kami berlanjut hingga bertemu sebuah lapang kecil. Anak-anak kecil, remaja, hingga dewasa, bernyanyi dengan senandung lirik yang menampakkan realita kehidupan. Menyadarkan bahwa setiap keadaan harus tetap disyukuri. Sejenak ku termenung, tak percaya dengan keadaan saat ini. Keadaan dimana, aku berada di sini dan keadaan kampung halaman yang terkena musibah besar. Dua hal yang menjadi pikiran. Dua hal yang menjadi renungan. Dan do’a terpanjatkan, semoga semua akan baik-baik saja. Kami menaiki anak-anak tangga yang entah berapa ada berapa jumlah. Kembali menikmati kampung warna-warni di sudut atas. Tempat yang selalu bergetar ketika kendaraan besar melintas. Tempat dimana terpaan angin begitu kencang, dan mentari mulai mendekati titik rendah namun, pancaran sinar kuningnya masih terlihat indah. Ku renungi kembali, arti mimpi yang baru saja kugapai. Do’a yang membanjir, tekad yang kuat, dan restu orang tua.

a2-4

***

Sore hari di jalanan Malang. Macet tak terhindarkan sepanjang jalan provinsi yang ada di depan. Pertemuan arus kendaraan dari berbagai arah. Sehingga sulit untuk berkelok dan maju melaju kencang. Suara klakson mobil dan motor, satu persatu terdengar. Namun tetap sabar dan berhati-hati agar selamat sampai tujuan. Mengelilingi pusat kota pada jarak yang cukup pendek. Taman di tengah jalan, kembali ku temui. Begitu permai menampik hati. Mengelilingi bundaran yang akhirnya aku sampai di tempat ke-empat. Tempat ternyaman, apalagi suasana sore yang damai. Daun besar basah beserta akar. Kuncup bunga terlihat ada yang masih malu menampakkan diri, namun banyak pula mekar. Tugu kokoh hitam nan emas gelap berdiri di tengah air. Ikan-ikan, apakah engkau ada? Entahlah. Aku belum melihatnya. Namun, suara rintik-rintik air menyejukkan hati. Sekilat asa, percikan air pun menghampiri. Bukan hanya satu kali, namun berkali-kali. Tak mengapa, terasa segar. Kami duduk santai dan menikmati semua ini. Melihat kedua siswi SMA berlatih menari. Remaja pria dikejauhan berbincang dan duduk. Seorang ibu yang nampak mengajak anaknya masih kecil berjalan mengitari lingkaran. Bising kendaraan yang berlalu lalang bukan menjadi alasan keluhan. Tidak kurang dari satu jam, kami harus kembali ketika seseorang menelpon dan sedang menanti di kampus. Inilah perjalanan. Aku rekam dalam mata yang masih sehat, dan akan teringat pada tulisan gedung di depannya. Tulisan yang berkata Balai Kota Malang. Sehingga tadi tempat yang kami pijaki adalah Taman Balai Kota Malang.

***

Jam sore, kampus telah mencabut kebijakannya. Setiap Jum’at dari pagi hingga pukul 15.00 WIB kebijakan car free day dilaksanakan. Sehingga sore ini kendaraan dapat sampai menuju gedung tujuan. Memasuki gerbang utama, pemandangan gedung berbeda nampak dari sebelumnya. Pusat pertemuan, pusat kegiatan mahasiswa dengan banyak ruang. Menuju gedung FIP yang berada di posisi belakang jika terlihat dari peta dan gerbang utama. Sesampainya, tiga orang lelaki lintas wilayah dan lintas angkatan berkumpul. Ku layangkan senyum bahagia karena akhirnya dapat bertemu dengan mereka. Seseorang yang berkelana dari Pulau Sulawesi menuju Jawa dalam mencari ilmu, seseorang dengan perawakan besar dengan gitar di tangan, dan seseorang yang terlampau beda usia namun masih tetap setia mengunjungi adik-adiknya. Akhirnya. Do’a – do’a aku dan kalian terkabulkan. Kita duduk bersama dalam lingkaran suasana kehangatan. Menunggu dan bertambah lagi lagi orang-orang yang sudah kami anggap keluarga. Obrolan kalian yang terkadang membuat diri tersipu. Menunduk pada kebingungan, pada apa yang dibicarakan. Kita merencanakan untuk kepergian esok. Merencanakan siapa saja yang akan berangkat untuk berbagi pengalaman, bertemu saudara baru dan satu perjuangan. Tak terasa waktu berjumpa. Tibalah kita di sinar yang kini mengandalkan lampu gedung. Beribadah pada Sang Maha Kuasa secara bersama, di ruang dengan jendela yang terbuka. Selesai itu, kami mencoba bergegas pindah haluan setelah menetapkan untuk kegiatan di hari kemudian. Bergegas pada sebuah tempat dalam mengisi tenaga. Satu dua tempat terlewati. Dan akhirnya kami sampai pada rumah yang menjajakan makanan hangat. Sego (nasi) goreng dan mie goreng, menjadi pilihan semua dengan rasa kepedasan yang berbeda. Kami seakan terbagi kelompok kecil, berbagi cerita dan beradu pada rasa keingintahuan kenapa hal tersebut terjadi. Makanan datang dan terhabiskan dengan cepat. Tanda kita semua memang butuh asupan tenaga. Sebanyak apapun tugas yang dilakukan, asupan tubuh harus tetap terpenuhi agar diri dapat optimal dalam menjalankan aktivitas

***

Hari baru, bulan baru, semangat baru. Pagi di Jalan Surabaya ……….

Tinggalkan komentar