Nomenklatur Pendidikan Luar Sekolah Butuh Dukungan Kebijakan Politik. Dari zaman orba, reformasi hingga zaman yang begitu edan ini prospektif jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) masih melangit, sekalipun kita telah dicekoki ilmu bumi yang jumlahnya tiada terkira kita tetap saja menjadi kaum langit yang tak kuasa menjangkau bumi. Disiplin ilmu yang tengah diperdebatkan tak pernah menuai kesimpulan yang pasti, selalu saja kabur. Posisi tersebut tak menghentikan niat dan usaha senior-senior yang telah bergelut lama pada bidang ini menjalankan setumpuk kurikulum yang sebenarnya tidak laku dipasaran. Tentu usaha ini harus diberi cap bintang lima, kenapa? Pendahulu kita mengais rezeki disana dan kita calon penerus mereka. Sudah menjadi kewajiban mempertahankan piring tempat mereka makan, walau sebenarnya menu yang diberikan sudah tidak enak untuk selera manusia zaman sekarang. Berbagai upaya telah dilakukan, dari revisi kurikulum, pembaharuan learning outcome sampai rekonsiliasi keilmuan yang sifatnya akademis tak kunjung jua mendapat tempat yang layak dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, rezim manapun!
Saat ini, senior-senior PLS lagi berdebat panjang soal nomenklatur. Apakah ingin mempertahankan nama PLS atau menggantinya dengan sebutan yang lebih enak didengar. Opsinya adalah Pendidikan Nonformal (PNF) dan Pendidikan Masyarakat (PENMAS). Nama ini dipilih tentu melalui kajian akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Sudah banyak kali forum ilmiah digelar di kota-kota yang berbeda dan dihadiri oleh kalangan akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan. Alhasil, forum-forum tersebut belum bisa menepis ego institusi masing-masing. PNF dan PENMAS dalam konteks universal mengandung definisi yang sama, penamaan ini tentu didasari oleh teori, data, dan fakta-fakta riset sebelumnya. Sehingga kedua nama tersebut dapat dipilih untuk menamai jurusan/program studi disebuah institusi pendidikan. PNF secara definisi dapat diartikan sebagai aktifitas pendidikan di luar persekolahn formal yang dilakukan secara terstruktur, terorganisir, dan tentu semuanya untuk masyarakat. Sedangkan PENMAS dapat didefiniskan sebagai layanan pendidikan untuk masyarakat tanpa membeda-bedakan status sosial, ekonomi, agama, dsb. Pada dasarnya, kedua pengertian di atas mengandung unsur yang sama dan akan berujung pada program-program pendidikan. Jika keduanya mengandung arti yang sama, kenapa tidak menyepakati satu nama saja, yang lebih keren, menjual, serta tidak membuat masyarakat menerka-nerka maksudnya dan tujuannya.
Yang jadi pertanyaan mendasar adalah, kira-kira seberapa jauh dampak nomenklatur ini terhadap penerimaan instansi pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap keilmuan alumni-alumni PNF/PENMAS? Saya kira itu adalah PR kita bersama. Kalau hanya sekadar mengganti nama tanpa memikirkan efeknya ke depan, mungkin lebih baik kita tak usah mencekoki mahasiswa-mahasiswa kita dengan janji masa depan dan lapangan pekerjaan yang luas bagi mereka yang berijazah PNF/PENMAS. Dibangku kuliah, dosen ketika ditanya mengenai prospek PLS/PNF/PENMAS, mereka selalu menjawab, alumni bisa mengelola program, mendirikan lembaga pendidikan, berwirausaha, dan yang paling mulia mampu membuat masyarakat berdaya secara ekonomi, politik, sosial, dsb. Memangnya disiplin ilmu yang lain tidak bisa mengelola program, mendirikan lembaga pendidikan, dan berwirausaha? Tentu jawabannya bisa. Lantas, apa ciri khas ilmu PNF/PENMAS ini? Nah, ini juga yang kadang menjadi persoalan dilematis. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 jelas menguraikan ruang lingkup yang dapat dikerjakan oleh alumni-alumni PNF/PENMAS, namun tetap saja negara ini mendukung siapa saja yang hendak bergelut dalam bidang-bidang yang merupakan wilayah kerja PNF/PENMAS. Oleh sebab itu, nomenklatur ini harus digagas secara matang dan juga tidak memandang sebelah mata aspek politik (kebijakan) yang ada. Bagaimanapun disiplin ilmu ini dipertahankan tanpa didorong oleh kebijakan politik tentu akan kalah juga. Kita harus menengok sejarah, hampir seluruh aliran kelimuan yang ada dimuka bumi ini ditopang oleh kekuatan politik sehingga dalam penerapannya tidak sesulit PLS hari ini.
Sekiranya kita masih ingin jurusan PNF/PENMAS ini laku dijual dan diminati banyak orang, maka sudah kewajiban seluruh elemen yang ada di dalamnya harus berjuang membantu senior-senior kita. Ini adalah persoalan hidup dan matinya jurusan yang telah memberi kita pengalaman dan selembar ijazah formalitas. Jika kita menginginkan ijazah kita berguna, satu-satunya jalan adalah merevisi/menguatkan kembali beberapa regulasi pemerintah terkait PNF. Dan untuk seluruh alumni, jangan berkecil hati. Jika usulan kebijakan ini diperjuangkan secara masif, saya yakin telinga pemerintah akan terbuka lebar mendengarkan suara-suara ketidakadilan di negeri ini. Suara-suara seperti suara saya ini sudah banyak digelorakan oleh pendahulu kita, tokoh sekaliber Prof. Dr. Hafid Abbas saja masih setia bersuara bahkan dengan tegas menyurati Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN-RB) mengatasnamakan institusi yang dipimpinnya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hal ini tersebut dilakukan karena Komnas HAM menilai terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.