Pendidikan Luar Sekolah, Satu Jurusan Sejuta Tujuan Delapan tahun yang lalu ketika seseorang mendengar kata Pendidikan Luar Sekolah (PLS) atau Pendidikan Non Formal (PNF) sebagian besar bertanya-tanya; “Apa itu?” Bukan hanya masyarakat awam, saya yang ketika itu menjadi calon mahasiswa jurusan PLS saja tidak mengerti.
Jurusan itu menjadi pilihan kedua saya sebagai pelengkap persyaratan pendaftaran kuliah setelah jurusan lain yang saya inginkan. Akan tetapi, karena saya terpilih di jurusan tersebut saya memutuskan “nyemplung” (mencebur ke air) karena saya merasa terlanjur basah. Meski awalnya merasa salah jurusan, namun akhirnya bisa menikmati berenang dan semangat mencapai tujuan di awal semester 3.
Sedikit berbeda dengan zaman sekarang, banyak masyarakat yang mulai mengenal pendidikan keluarga/ parenting education yang merupakan bagian dari PLS. Mereka mulai membuka diri terhadap pendidikan yang tidak hanya dilakukan di sekolah saja ada kursus dan pelatihan, e-learning, seminar, workshop, dll. Sebenarnya dari dulu kegiatan tersebut sudah ada namun kita tidak menyadari bahwa itu termasuk pendidikan non formal.
Berbicara soal jurusan baik jurusan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau di Universitas, tentu setiap siswa atau mahasiswa punya tujuan. Siswa SMK atau mahasiswa mengambil jurusan teknik mesin tujuannya menjadi mekanik, jurusan tata boga menjadi koki, jurusan akuntansi menjadi akuntan, dll. Ironisnya untuk jurusan PLS lumayan remang-remang tujuannya.
Baiklah, kita mulai fokus dengan jurusan PLS bersama (maaf) ketidakjelasanya. Ketidakjelasan ini bisa dinilai positif maupun negatif. Penilaian negatif dari tidak jelas yang dimaksud adalah tidak jelas tujuannya, setelah belajar bisa jadi apa, dan sebagainya. Namun positifnya, jurusan ini disebut tidak jelas karena terlalu banyak tujuan yang bisa dicapai. Begitu banyak prospek kerja yang bisa kita pilih. Kita bisa jadi Dosen PLS, penilik pendidikan masyarakat, fasilitator Pendidikan Anak Usia Dini, pengelola PNFI di dinas pendidikan, Ditjen pendidikan dasar dan menengah, juga penyelenggara PNFI (buka kursus contohnya), dan masih banyak lagi.
Saya pernah ditawari perusahaan game untuk menjadi konseptor game anak-anak, karena saya alumni mahasiswa PLS yang mengambil fokus pendidikan keluarga dan anak usia dini. Namun, hal itu urung karena saya tidak punya sertifikat, saya hanya punya ijazah PLS yang tidak ada juga keterangan bahwa saya mengambil fokus itu. Saat itu ada 3 fokus belajar di jurusan PLS di universitas saya yakni Pemberdayaan Masyarakat, Pelatihan, dan Pendidikan Keluarga dan Anak Usia Dini. Sayangnya, tidak ada sertifikatnya. Artinya, banyak peluang lain yang tak terduga yang bisa kita manfaatkan, namun sekali lagi, kita hidup di negara yang masih sangat mementingkan ijazah atau sertifikat sebagai syarat yang fundamental untuk bekerja.
Pada hakikatnya semua jurusan tidak menjamin kita akan menjadi apa. Poin pentingnya ada pada diri kita sendiri. Karena belum tentu mahasiswa yang mengambil jurusan matematika akan menjadi guru matematika, begitu pula jurusan bahasa Indonesia, tata busana, dll. Banyak juga alumni pendidikan sastra menjadi pebisnis fashion, dan masih banyak lagi ketidaksesuaian bidang kerja dengan pendidikan yang ditempuh seseorang.
Mulai saat ini kita wajib mengubah mindset tentang belajar untuk bekerja. Kita belajar untuk mencari ilmu, yang menurut kita penting dan butuh bisa kita pelajari. Akan tetapi, soal pekerjaan itu bagaimana kita gigih melatih keterampilan dari pengetahuan yang kita dapatkan. Ingat semua jurusan termasuk jurusan PLS punya prospek kerja yang bagus, tinggal bagaimana kita menyiapkan diri untuk menjadi seperti yang kita inginkan. Jangan lupa kumpulkan surat keterangan ketrampilan kita, baik berupa ijazah, sertifikat, surat pengalaman berorganisasi, dan surat keterangan lainnya yang bisa menunjang kita sampai pada suatu yang kita impikan. (Ami)
Aminatus Sakdiah, alumni PLS Universitas Negeri Malang