BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Sepanjang 2013, jumlah buruh migran asal Jawa Timur yang berangkat ke luar negeri tercatat 52.571 orang. Terjadi penurunan sekitar delapan persen dari penempatan di sepanjang 2012 yang sebanyak 68.003 orang.[1]
Istilah “tenaga kerja” baru di perkenalkan secara resmi pada tahun 1966. Waktu itu dibentuk Kabinet Ampera dan Departemen Perburuhan diganti namanya menjadi Departemen Tenaga Kerja. Menurut Undang- undang No. 14 tahun 1969 Bab I ayat 1 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja disebutkan bahwa:
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa terutama untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau masyarakat.”
Sedangkan pekerja adalah “Setiap orang yang bekerja atau menerima upah atau imbalan lain.”
Tenaga kerja adalah “Golongan atau bagian penduduk yang berumur antara 10- 56 tahun.” Tegasnya adalah semua orang atau penduduk yang berumur 10- 56 dan mampu melakukan pekerjaan guna mendapatkan penghasilan termasuk Tenaga Kerja Wanita yang sering disebut TKW.[2]
Motif keberangkatan buruh migran keluar negeri/ Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagian besar adalah pemenuhan ekonomi. Munculnya pemikiran untuk bekerja diluar negeri juga karena ketidakberdayaan atau kebuntuan usaha dalam mencari pemenuhan ekonomi di dalam negeri.
Memang TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah profesi yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Pilihan untuk bekerja di luar nege ri adalah keputusan yang cukup berani, mengingat fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh para majikan kepada TKW (Tenaga Kerja Wanita). Kasus tindak kekerasan sampai tahun 2011 ini saja, banyak yang belum bisa diungkap dan ditindak lanjuti dengan serius oleh pemerintah Indonesia. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan minat orang Indonesia untuk bekerja di negeri orang. Kebanyakan dari para tenaga kerja tersebut adalah kaum perempuan yang seharusnya lebih berorientasi kepada rumah tangga untuk lebih berperan mengurusi bagian internal keluarganya. Tetapi, karena alasan kebutuhan ekonomi, para ibu rumah tangga ini nekad memutuskan untuk bekerja dengan marantau ke negeri orang dengan bekal tekat untuk merubah nasib dan kehidupannya dan keluarga.[3]
Pemenuhan ekonomi keluarga itulah yang menjadikan seorang wanita nekad pergi keluar negeri. Meninggalkan keluarga pun seperti menjadi resiko lazim bagi seorang TKW.
Keluarga menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Soeratman (1997) adalah kumpulan beberapa yang karena terikat oleh satu turunan atau perkawinan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang memiliki hak dan berkehendak bersama- sama memperteguh gabungan itu untuk kemuliaan semua anggotanya. Batasan di atas mencerminkan bahwa keluarga secara hakiki memiliki keistimewaan karena dipimpin oleh kepala keluarga, biasanya seorang Ayah atau seorang Ibu dalam keluarga tunggal (single parent) berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal. Dengan demikian patutlah dikatakan bahwa keluarga adalah tempat terindah, surga (dalam ajaran Islam) terindah di dunia, agen dalam proses sosial dan media komunikasi warganya.[4]
Banyak sekali kajian yang membahas Tenaga Kerja Wanita. Akan tetapi dari sekian banyak kajian tersebut, sebagian besar pastilah membahas mengenai eksploitasi TKW itu sendiri diluar negeri apalagi banyak dari mereka yang pergi bekerja sendirian tanpa suami atau keluarga. Padahal, keluarga yang ditinggalkan Tenaga Kerja Wanita pun tidak luput dari permasalah. Utamanya pada anak- anak Tenaga Kerja Wanita yang tentu saja belum bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Ketika memutuskan untuk bekerja dan menjadi TKW mereka tidak pernah berpikir jauh tentang resiko apa yang akan didapatkan selama bekerja dan sesudah bekerja bagi diri dan keluarga. Yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana mendapatkan uang yang banyak untuk perbaikan ekonomi (memutuskan rantai kemiskinan).[5]
Kepergian ibu dalam sebuah keluarga sebagai Tenaga Kerja Wanita mengakibatkan anak- anak harus di asuh oleh ayah mereka sebagai orang tua tunggal. Ayah muncul sebagai pemangku tanggung jawab yang kemudian berperan ganda setelah kepergian ibu, karena ayah merupakan alternatif pertama dan paling dekat dengan keseharian anak- anak di dalam keluarga inti. Anak- anak yang dimaksudkan adalah anak- anak dengan usia yang belum dewasa. Seorang anak yang belum dewasa belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi dan perlindungan dirinya. Mereka masih sangat membutuhkan figur orang dewasa untuk mengarahkan kehidupan mereka sehari- hari.
Dalam Undang- Undang Perkawinan no. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1), anak didefinisikan sebagai berikut:
“Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.”[6]
Sayangnya, banyak ayah yang tidak sanggup mengelola sendiri berbagai kebutuhan dan perlindungan anak- anak tanpa kehadiran ibu. Ketidaksanggupan ini berupa ketidaksanggupan pengasuhan dan pengelolaan dana. Ketidaksanggupan pengasuhan apabila berasal dari ayah mengakibatkan munculnya peran pengganti orang tua bagi anak seperti nenek, bibi, kerabat bahkan hingga anak jatuh di tangan keluarga lain.
Disamping ketidaksanggupan pengasuhan yang seringkali menimpa anak- anak yang ditinggal ibunya bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita, penyalahgunaan dana yang dikirim dari gaji hasil bekerja ibu juga sering terjadi. Penyalahgunaan ini bahkan terjadi di tangan ayah atau kerabat sebagai alternatif pengasuh anak. Penyalahgunaan yang dimaksud ialah ketika gaji ibu yang dikirim dari hasil bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita dipergunakan bukan untuk utamanya pendidikan dan kesehatan anak. Dana tersebut digunakan diluar kepentingan anak bahkan hingga kepentingan anak tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan finansial anak merupakan bentuk penelantaran apalagi sampai membuat anak tersebut kesulitan dalam mengahadapi kehidupan yang berkelanjutan.
Seperti telah dijelaskan dalam perundangan di atas, hak orang tua atau wali atas pengasuhan anak sebenarnya bisa dicabut. Syarat pencabutan tersebut ketika orang tua atau wali yang mengasuh menelantarkan hak- hak yang mestinya di dapat oleh anak. Sayangnya, perlindungan terhadap anak melalui perundangan yang sudah jelas isinya seperti tersebut di atas belum bisa nyata di tegakkan.
- Rumusan Masalah
- Apa yang melatarbelakangi seorang perempuan bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
- Bagaimana munculnya orang tua tunggal dan orang tua asuh dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
- Bagaimana permasalahan pengasuhan anak dalam keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW)?
- Tujuan Penulisan
- Mengetahui hal apa yang melatarbelakangi seorang perempuan bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW).
- Mengetahui bagaimana munculnya orang tua tunggal dan orang tua asuh dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Mengetahui permasalahan pengasuhan anak dalam keluarga Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW).
[1] Surya Online 2014, Surabaya, dikases 15 oktober 2014,
<http://surabaya.tribunews.com/2014/01/12/jumlah-tki-jatim-berkurang>
[2] Nur’aeni, Marta 2008, ‘ Tenaga Kerja Wanita Yang Bekerja Di Arab Saudi Tahun 1983- 1990’, tesis, Universitas Indonesia
[3] Luluk Dwi, Kumalasari 2011, ‘ Keharmonisan Keluarga TKW Dalam Perpektif Gender (Studi Di Donomulyo Malang)’, Humanity, vol. 6, no. 2, hlm. 106 – 115
[4] H.S, Mundzir 2005, Sosiologi Pendidikan, Elang Mas, Malang, hlm. 71
[5] Luluk Dwi, Kumalasari, op.cit hlm. 106 – 115
[6] Diakses pada 15 oktober 2014 <http://uulgintingg.wordpress.com/2012/05/31/batas-usia-dewasa-menurut-aturan-hukum-di- Indonesia/>
BAB 2, daftar pustaka, dan seterusnya bisa langsung download di bawah ini dengan register lalu login. jangan lupa tinggalkan jejak komentar.
Karya Tulis Ilmiah: Penelantaran Anak Dalam Keluarga Tenaga Kerja Wanita (862.0 KiB, 2 hits)
Anda tidak memiliki izin untuk mendownload file ini. silahkan login/register
Karya Tulis Ilmiah dalam MK Problematika PLS ini disampaikan oleh:
Poppy Trisnayanti Puspitasari (PLS UM)
Twitter: @TrisnayantiP
Blog: http://semangkaaaaa.blogspot.com