Problematika Pola Asuh Anak Pada Orang Tua Usia Muda
Oleh:
Latifatus Sa’adah
PLS-UM
PENDAHULUAN
Pemilihan judul Problematika Pola Asuh Anak Pada Orang Tua Usia Muda dilator belakangi oleh masalah sebagai berikut. Globalisasi melanda dunia, era melinium menciptakan perkembangan industry yang sangat pesat. Modernisasi industri di berbagai sector menggantikan peran tenaga manusia dengan tenaga mesin. Namun, dibeberapa Negara berkembang masih banyak yang menggunakan system konvensional yang mana masih banyak menggunakan tenaga manusia. Di dalam dunia kerja, contoh pabrik rokok, pekerjanya sebagian besar terdiri dari perempuan dari usia remaja sampai dengan usia tua. Disanalah muncul berbagai cerita tentang kehidupan rumah tangga dikalangan para pekerja. Dari cerita- cerita itulah para perempuan yang mendapatkan cerita dari ibu- ibu rumah tangga yang bekerja disitu menyebabkan fikiran mereka menjadi bertambah dewasa dan ingin cepat menikah. Dari pergaulan intensifitas dan frekuensi pertemuan antar pekerja laki- laki dan perempuan usia produktif menyebabkan saling ketergantungan emosi. Hal ini, akan menumbuhkan rasa keterikatan pasangan satu dan pasangan yang lain. Akibat dari semua ini menimbulkan ekses seksualitas baik terencana dalam pernikahan dan ada yang tidak berkelanjutan.
Pada dasarnya, manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang ingin diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja [1]. Tetapi yang terjadi pada masyarakat umum biasanya hal- hal seperti, ada masalah sedikit atau pertengkaran kecil, pihak suami / istri meminta cerai. Kurangnya saling pengertian dan rasa percaya terhadap pasangan menyebabkan mudahnya terjadi ketidak cocokan dan timbul pertengkaran yang berakibat pada sekitarnya terutama anak. Selisih usia kadang juga menyebabkan cecok, contohnya usia istri lebih tua daripada suami, istri merasa lebih tua tidak mau dikalahkan begitu juga suami merasa sebagai lelaki yang tidak boleh dikalahkan dengan wanita. Ada juga yang menikah saat usia suami istri sama- sama muda atau masih usia belia. Sama-sama masih memiliki ego yang tinggi, kurang berfikir dewasa dan masih ingin merasakan masa muda, jadi keduanya tidak mau kalah.
Di sebagian masyarakat kaum wanita dianjurkan untuk memulai keluarga pada usia muda. Proporsi wanita yang melahirkan anak mereka yang pertama sebelum usia 18 tahun sangat besar. Sekitar setengah dari jumlah para wanita yang mempunyai pendidikan dasar kemungkinan mulai berkeluarga sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan wanita yang kurang pendidikan.[2]
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin/kaya. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri. Tetapi pada kenyataannya, sekarang banyak sekali pasangan suami istri yang menikah pada usia muda atau dini. Penyebabnya antara lain hamil diluar nikah, perjodohan yang dilakukan orang tua, dan keinginan pasangan yang memang ingin cepat- cepat menikah.
Kondisi ekonomi kadang juga berpengaruh, terutama daerah pinggiran atau wilayah pelosok yang jauh dari kota yang masaih menganut pola pikir sangat sederhana. Orang tua pihak wanita rela menyerahkan anaknya untuk dinikahi sebagai pelunasan hutang. Ada yang meneyrahkan anaknya kepada orang yang punya pengaruh atau kekuasaan, yang terkadang sebagai istri ke dua, ketiga dan seterusnya.
Pergaulan bebas juga menjadi pemicu terjadinya pernikahan dini, yang penuh keterpaksaan atas kondisi yang terjadi tanpa disadari semua karena nafsu dan emosi usia muda.
Kehamilan di luar nikah biasa terjadi dikalangan remaja ketika hubungan mereka dengan pacarnya tidak di setujui, sehingga dengan melakukan hubungan intim dan berbuah kehamilan mau tidak mau orang tua akan menyetujui hubungan mereka. Tidak jarang juga dengan alasan masa depan dan menutupi aib keluarga, putrinya yang hamil di paksa aborsi. Tanpa memikirkan keselamatan jiwa anaknya bahkan tanpa berpikir tentang dosa, karena pada prinsipnya aborsi juga termasuk membunuh dan merupakan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan KUHP pasal 346. Ada juga orang tua yang tidak terima anaknya hamil, mereka melaporkan laki- laki yang menghamili anaknya ke polisi dengan alasan pemerkosaan padahal mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Aborsi akan berjalan aman jika dilakukan oleh dokter di klinik atau rumah sakit yang terlatih dan memenuhi standar kesehatan, dengan syarat usia kehamilan masih kurang dari 12 minggu.[3] Aborsi ini pun boleh dilakukan dengan alasan yang kuat seperti kehamilan tersebut dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayinya. Tapi pada kenyataannya, banyak kegiatan aborsi dilakukan oleh dukun- dukun beranak. Mudahnya akses untuk melakukan aborsi menyebabkan banyak masyarakat yang meremehkan norma yang berlaku, padahal semua yang terlibat adalah pelanggar hokum dan semua akan menanggung akibat dari perbuatan tersebut
Pernikahan usia belia rentan konflik baik internal (dalam keluarga) maupun eksternal (campur tangan pihak ke-3). Minimnya pengetahuan dalam management keluarga yang di tunjang dengan wawasan berpikir serta belum matangnya secara mental akan selalu terombang ambing keraguan dan kerancuan setiap akan melangkah ataupun memutuskans sesuatu bahkan yang paling sepele sekalipun.
Apalagi sebagian besar pernikahan usia belia bersifat terpaksa sehingga secara ekonomi pihak suami kadang belum mampu dalam mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga selalu melibatkan pihak mertua ataupun sanak family, serta keluarga (saudara) yang lain. Hal ini secara psikis sangat membebani dan rawan berakibat kesalahpahaman baik suami istri maupun keluarga besar. Yang paling menjadi korban adalah buah hati yaitu anak. Disaat anak dalam usia dimana membutuhkan asupan gizi yang penuh tidak tersedia dengan layak karena keterbatasan. Dampaknya tentu perkembangan sel otak dan jiwanya menjalani keterbatasan yang tentunya berpengaruh pada masa depannya kelak.
Banyak dampak yang di akibatkan karena hal tersebut, yaitu saat mereka mempunyai anak, kurangnya pengetahuan tentang pola asuh anak sehingga terjadi hal- hal yang tidak di inginkan. Bagaimana cara mengasuh dan mendidik anak yang baik dan benar, bagaimana membina hubungan antar suami istri, serta bagaimana mencari nafkah dan mengatur ekonomi keluarga. Selain itu ada juga akibat yang timbul dari perkawinan usia muda, terjadinya puber kedua yaitu orang tua merasa masa mudanya kurang puas maka dilakukan pada saat menikah yang biasanya mengikuti gaya anak muda zaman sekarang. Padahal mereka harus mengurusi rumah tangganya, tidak di tinggal dengan senang- senang dan melupakan tanggung jawab.
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah sebagai berikut (1) faktor apa saja yang mempengaruhi pernikahan usia muda; (2) apa dampak pernikahan usia dini terhadap pasangan suami istri dan anak-anak mereka.
Dari rumusan masalah di atas, di dapat tujuan sebagai berikut (1) untuk mengetahui faktor apa saja yang mempenngaruhi pernikahan usia muda; (2) untuk menjelaskan dampak pernikahan usia muda terhadap pasangan suami istri dan anak.
[1] Sari, Fitra Puspita, 2006. Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalaya). Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang
[2] http://www.pdfchaser.com/Pernikahan-Dibawah-20-Tahun-Rentan-Terkena-Kanker%2C-Neni-Jelaskan-….html
[3] Ajen Dianawati. “Pendidikan Seks untuk Remaja “.penerbit Kawan Pustaka, Jakarta 2006
Artikel lengkap silahkan download disini, jangan lupa tinggalkan jejak komen.
[download id=”176″]
Tinggalkan Balasan