Semua Pekerjaan yang Dilakukan dengan Tulus Adalah Pekerjaan Terhormat
-Booker T. Washington, Mantan Budak, Tokoh Masyarakat Negro-
Pembaca yang tulus hatinya, hidup dan mengabdi bagi bangsa adalah suatu sukacita yang besar. Dengan membagikan semua pengalaman hidup dan setiap hal yang dipelajari selama bertahun-tahun kepada masyarakat akan membawa ketenangan bagi jiwa. Inilah yang sering dikatakan oleh Konosuke Matshushita, pendiri Matshushita Electric Industrial. Menurut Konosuke, kalau kita selalu baik dan menjadi rahmat bagi sesama, maka kebaikan dan rahmat akan selalu bersama kita.
Oleh karena itu berpartisipasi aktif maju bersama mencerdaskan Indonesia melalui program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) adalah salah satu bukti nyatanya. Jika dipikirkan, mengabdi di daerah terpencil ini seperti berjalan diterowongan yang gelap dan sunyi. Jauh dari keramaian dan susahnya mendapatkan informasi luar. Namun karena tujuan saya jelas, maka terowongan yang gelap dan sunyi itu dapat dilalui dengan riang hingga tujuan tercapai.
Dengan semangat ’45 dan sumpah pemuda untuk mengabdi bagi Ibu Pertiwi, saya beserta teman lainnya diterbangkan melalui pesawat Merpati tepatnya pada tanggal 15 Desember 2011. Di hari pertama menginjakkan kaki di Pulau Simeulue, rasa heran dan takjub seolah-olah tak henti-hentinya bergejolak di hati. Indahnya Pulau ini bak “Surganya Dunia”. Desiran ombak sahut menyahut dan kemilauan padang pasirnya ibarat sinar yang dipantulkan oleh taburan berlian. Benar- benar eksotis.
Keinginan untuk mengetahui lebih dalam tentang Simeulue semakin memuncak. Tatkala menuruni kendaraan yang menghantarkan saya ke Desa Lambaya, Kecamatan Simeulue Tengah, ibu yang usianya kira-kira setengah tua, bergegas menghampiri saya dan tanpa basa-basi rangkulan yang hangatpun ia berikan, sembari bertanya “Kamukah guru kontrak itu? Ya ibu, jawabku bercampur haru. Selamat datang di desa ini. Inilah desa Lambaya, dan kami semua adalah keluargamu. Tambah ibu tersebut.”
Penerimaan yang tulus dari warga setempat membuat saya nyaman seperti tinggal di kampung sendiri. Terlebih ketika para ibu PKK secara resmi menyambut kami dengan mengadakan pertemuan singkat. Layaknya orang tua kepada anaknya yang merantau, mereka membawa sembako seperti beras, minyak, gula dan kelapa. Dalam keseharianpun tak jarang mereka berkunjung mengantar ikan, sayur dan makanan lainnya.
Oleh karena itu, tidak heran jika ternyata masyarakat yang ramah dan memiliki rasa kekeluargaan yang kental telah melahirkan Simeulue yang kaya adat istiadat dan kebudayaan. Potret masyarakat Indonesia yang ramah tamah dapat kita temukan di Pulau ini. Senyum yang tulus dan sapaan yang sopan akan terdengar di sepanjang jalan lintas saat bertemu dengan orang, bahkan yang tidak dikenal sekalipun. Nandong, besile, dumping, turun tanah, mangan manuk, buai, tangkawai merupakan contoh kebudayaan Simeulue yang pernah saya saksikan. Keseluruhan kebudayaan ini menggambarkan eratnya hubungan kekeluargaan dan nasihat-nasihat dari orang tua kepada anak-anaknya. Sungguh mengagumkan.
Seindah pemandangan alam dan kayanya kebudayaan ternyata tak seindah kehidupan ekonomi masyarakat Lambaya. Ekonomi masyarakat tergolong sulit. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat pantai ini harus berjuang pergi ke laut.
Kerasnya hidup telah melahirkan “wanita-wanita Lambaya yang perkasa”. Mengapa saya katakan demikian? Saya telah menyaksikan bahkan turut merasakan apa yang mereka lakukan. Pertama, perjuangan mencari Sifut Laut dan Lokan. Selain ikan, sumber protein yang mereka konsumsi biasanya adalah Sifat laut dan Lokan, yaitu hewan kelas molusca. Suatu hari para wanita Lambaya dan saya pernah pergi ke laut pada malam hari pukul 19.00 WIB untuk mencari Sifut Laut dan pulang pukul 23.00 WIB. Namun biasanaya para wanita Lambaya bahkan ada yang pulang hingga pukul 01.00 WIB dini hari. Nah bagaimana dengan mencari Lokan? Biasanya para wanita Lambaya akan berenang ke sungai dengan kedalaman di atas 2 meter. Sembari berenang, wanita-wanita itu akan mengorek pasir untuk mendapatkan Lokan tersebut. Kedua, perjuangan memetik cengkeh ke gunung. Cengkeh pada umumnya tumbuh di daerah perbukitan bahkan sampai perbukitan terjal. Bersama dengan Ibu-ibu desa, kami pergi memanjat cengkeh ke gunung. Bukit-bukit yang terjal tidak membuat mereka takut untuk memanjat cengkeh hingga ke pucuk pohon sekalipun. Ketiga, perjuangan untuk menanam padi. Pada saat menanam padi, beberapa ibu-ibu Lambaya punya kebiasaan untuk menginap berminggu-minggu di sawah. Dengan membuat gubuk kecil di areal sawah, itu cukup sebagai rumah sementara hingga padi selesai ditanam. Masih banyak lagi perjuangan para wanita Lambaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Seperti mata rantai yang saling berhubungan, demikianlah kehidupan ekonomi sangat mempengaruhi pendidikan di Lambaya. Dengan kondisi ekonomi yang memilukan, para orang tua akhirnya mengahabiskan banyak waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sampai berlelah-lelah sehingga mengabaikan pendidikan anaknya.
Selain itu, hal yang paling menyedihkan beberapa siswa ada yang tidak hadir ke sekolah beberapa hari karena membantu ke sawah dan memetik cengkeh. Lebih tragis lagi, Auliadi Eboni, salah satu siswa saya kelas VIII terluka di bagian kaki dan kelopak mata akibat terjatuh saat memanjat pohon cengkeh.
Di awal saya mengajar di sekolah, perasaan sedih bercampur kesal sewaktu memeriksa catatan siswa. Tidak pernah terbayang, ternyata ada beberapa siswa yang hanya memiliki 1 eksemplar buku tulis isi 30 lembar yang digunakan sebagai catatan 3 mata pelajaran. Hal ini disebabkan tidak ada uang membeli buku tulis. Dengan pendekatan personal untuk memotivasi mereka tetap rajin belajar saya memberikan buku tulis.
Selain itu, demi kelancaran proses belajar siswa, saya menyempatkan pulang ke medan untuk membeli beberapa buku bekas mata pelajaran Matematika sebagai pegangan siswa, karena di sekolah tidak ada buku pelajaran yang sesuai dengan KTSP. Buku-buku yang ada hanya kurikulum lama tahun 1994.
Miris. Ya memang sangat memilukan jika saya harus berbicara tentang pendidikan. “Tak terangkul karena tidak dirangkul.” Ungkapan yang sederhana tetapi memiliki makna yang dalam. Begitulah menurutku ungkapan untuk daerah yang tertinggal, akibat kurangnya perhatian dari berbagai pihak. Bukan karena mereka tak dapat mau diperhatikan, akan tetapi banyak pihak yang mengabaikan mereka.
Rasa cinta dan kasih sayang yang tulus telah melahirkan pengorbanan tanpa pamrih. Karena kemampuan dan semangat belajar mereka sangat rendah, saya akhirnya memberikan bimbingan belajar. Pada umumnya setelah mengajar di sekolah, sorenya saya memberikan bimbingan Matematika secara gratis di sekolah dan pada malam hari saya juga mengajari anak-anak tingkat SD. Dengan aktivitas yang padat pasti akan terasa lelah. Akan tetapi wajah anak-anak saya telah berhasil menepis semua rasa letih dan jenuh itu. Selain itu, apabila tidak ada jadwal belajar malam, saya akan berkunjung ke rumah siswa sekaligus berbagi dengan orang tua mereka mengenai pendidikan anak.
Luapan cinta yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya itulah yang membuat meraka begitu berharga bagi saya. Tidak dipungkiri memang di sekolah kami sering tidak ada guru. Sewaktu mengajar kelas VII-B , karena tidak ada guru di kelas sebelah yaitu kelas VII-A, mereka akan mengintip ke kelas VII-B. Dengan lembut Agus Muliandi, salah satu siswa kelas VII-A mengetuk pintu lalu menghampiri saya sembari berkata, “ijinkanlah Bu kami bergabung dengan kelas VII-B karena kami ingin belajar bersama Ibu. Hati kecilku benar-benar terharu mendengarnya. Akan tetapi karena mempertimbangkan keefektifan belajar, saya membiarkan mereka belajar akan tetapi di luar kelas.
Hal senada juga pernah saya alami sewaktu saya sedang asyik mengajar di kelas VII-A. Tatkala memberi latihan kepada anak-anak, tiba-tiba Chyntia R. Moli, siswa saya yang selalu ingat mengerjakan PR berkata, “Bu baru sekarang ini saya suka dan mudah memahami Matematika.” Sebelum saya menaggapinya, Rudy Mardisal, siswa lain juga menambahkan, “Ya Bu, saya juga. Semangatku belajar bertambah 3 kali lipat setelah belajar bersama ibu. Jadi kami minta tolong agar ibu tetap mengajar kami,” ungkapnya dengan wajah sedih. Hampir-hampir saya tidak dapat membendung air mata. Akan tetapi saya hanya berkata,” Ibu tidak dapat mengajar kalian selamanya. Suatu hari nanti, ibu ingin menyaksikan sendiri kalian menjadi Pembaharu bangsa ini melalui cita-cita kalian semua. Dengan penuh semangat mereka menjawab,”ya Bu, kami pasti akan mengubah Simeulue menjadi lebih baik.”
Saya percaya, jika mereka benar-benar diperhatikan oleh orang tua, sekolah, dan pemerintah suatu hari nanti anak-anak desa tersebut bisa berhasil. Tentunya perhatian yang yan dimaksud adalah perhatian yang tepat sasaran.
Walaupun tidak banyak yang saya telah perbuat untuk Simeulue khususnya SMP N 4 Simeulue Tengah dan Desa Lambaya sebagai seorang SM-3T, akan tetapi kenangan manis telah banyak terukir disana. Rasa syukur yang tak terungkapkan dapat mengabdikan diri dan mengenal keluarga, sahabat, dan anak-anak di SMP N 4 Simeulue Tengah dan Desa Lambaya.
Semoga pengalaman yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang baik hatinya
Download file
[wp-like-locker][download id=”135″][/wp-like-locker].
Oleh : Murni Sianturi, S. Pd
Guru Matematika, di tempatkan di SMP N 4
Simeulue Tengah dan Desa Lambaya, Kabupaten Simeulue
Tinggalkan Balasan