Setitik Mendung Pada Awan
Malam ini aku luruh, saat menapaki jalan panjang ditemani hujan bersemilir angin. Ingin rasanya kujatuhkan tubuh pada aspal hitam ketika siluet lampu mobil itu tepat dihadapanku. Tersorot. Berlalu begitu saja sembari memberikan cipratan kecil pada sepatu merah yang kukenakan tanpa menghiraukan keberadaanku. Sudah kukatakan padanya siang tadi aku akan sami’na wa ato’na jika memang itu yang terbaik, namun tetap saja tak digubris. Dengarlah sedikit kalimatku saat aku selalu mendengar apa yang kau ucapkan. Setidaknya hargailah.
19:47, Pondok Aren. Aku adalah orang yang ia percaya saat tak seorang pun menjadi bagian dari keluh kesah dan kebahagiaannya. Ia berkata lirih padaku di telepon, jika ia mulai berani untuk membuka diri bercerita tentang apa saja yang ia rasakan. Apa pun itu. Aku menjadi bagian hidupnya ya Rabb, ya,, aku. Seketika embun kesejukan itu menetes pada dedaunan sukmaku, mengahantarkan pada sebuah rasa yang telah lama atau bahkan belum pernah kurasakan. Inikah karunia-Mu Rabb? Cinta.
“ Assalamu’alaikum ukhti Indah,, “
“ Wa’alaikumussalam, honey,, “
Pagi itu tak biasanya Iin berwajah semeringah dengan kerudung bunga-bunga. Terkadang kalau sudah galau menyusun bab 4 skripsinya jangankan senyum menyungging dan kerudung bunga-bunga, sudah mandi pun itu syukur Alhamdulillah. Tentu hal itu tak terlepas dari ledekku saat aku sedang membaca buku Ustad. Salim A Fillah “ Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah”. Aku memang tak pernah bisa diam jika melihat hal-hal baru yang dilakukan sahabatku yang satu ini, entah karena karakterku yang bawel atau karena ingin saja menggodanya. Hm,, kau memang sahabat terbaikku, In.
“ Enten nopo toh cah ayu,, ?”
Tanpa berucap sedikit pun Iin menyodorkan sebuah kertas tebal bersampul plastik, sebuah undangan. Iin dengan Ikhsan akan menikah satu minggu lagi di Brebes. Masya Alloh, aku dibuatnya terkejut dengan semua ini. Pasalnya saat kami halaqah, Iin tak pernah sedikit pun menyinggung hal-hal pernikahan kepada Murobbiyah kami, atau jangan-jangan mereka sebenarnya membahas itu. Namun, di luar perkumpulan kami saat mengaji. Luar biasa, bagaimana prosesnya ? kenapa ia mampu menutup segala sesuatunya begitu rapat sampai-sampai aku sahabatnya pun tidak tahu.
“ Tenang ukh, Insya Alloh ini sesuai syari’at. No pacaran. Hehehehe” . jelas Iin dengan tawa yang membuat matanya sipit seketika.
Guguran daun yang berterbangan siang itu membuai kebahagiaanku bersama Iin, Ya Rabb,, sebentar lagi ia akan menikah. Namun, ada kegelisahan tersirat dalam benakku, akankah Iin pergi ke toko buku denganku jika ia sudah menikah ? makan bakso di warung Pakde Jono, atau hanya sekedar naik ke atas genting kos ku menikmati indahnya senja. Ah, setidaknya aku harus percaya jika jasad kami tak bertemu, paling tidak batin ini selalu terkait dengannya dalam doa.
Iin meninggalkanku saat aku masih membaca di halaman 56 buku Salim, sebab ia harus mengantarkan beberapa undangan lagi kepada teman dan beberapa dosen. Ia melarangku membantunya hanya karena ia tak ingin menggangu target membacaku, karena ia tahu buku ini harus segera dikembalikan ke perpustakaan sore nanti. Dan pengalaman kami bersama memang, lima ribu untuk satu buku dan satu hari jika terlambat mengembalikan. Kalau kata Danu ketua UKM pecinta alam, lebih baik buat beli bibit pohon dari pada telat mulangin buku dan didenda. Ya, Danu bisa dibilang getol banget kalau sudah bicara soal lingkungan, saking semangatnya di jendela kelas ditaruh pot-pot kecil berisi tumbuhan kaktus, tapi tetap saja kalau lagi kesenggol tentu terkena kepala orang yang ada di bawahnya. Kebayang kan rasanya. Hehehe,
***
“Assalamu’alaikum,, kapan ukh. Indah main ke rumah ? aku masak sayur asem nih hari ini”
Sebuah pesan singkat kuterima saat jemari ini tak hentinya bergulat dengan keyboard laptop. Sudah seminggu baru kuterima kembali pesan dari Iin, kali ini ia memintaku untuk mengunjunginya. Satu tahun semenjak kami wisuda, aku memang belum bertemu lagi dengan Iin karena ia diboyong oleh sang suami ke Surabaya, dan kali ini aku dengar ia sedang liburan ke rumah orang tuanya. Sepertinya ini akan menjadi momen yang baik untuk melepaskan kerinduan dengan sahabatku si pipi tembam. Baiklah, jika sore ini aku akan mampir ke rumahnya sekarang juga aku harus menyelasaikan pekerjaanku di kantor, sebab esok hari laporan ini harus sudah ada di meja Pak Reza sebelum beliau meminta kepadaku. Ini sudah menjadi prinsipku untuk tepat waktu dalam hal apapun.
“ minta tolong sih, rekapitulasi data yang sudah saya susun”. Suara pria itu terdengar dari balik sekat meja kerjaku.
“ Ah, mam.. ane lagi buru-buru nih. Sudah pukul 14.00, mau pergi nanti”. Ucapku singkat.
Imam salah satu rekan kerjaku di perusahaan distribusi bahan untuk konveksi-konveksi di pulau Jawa. Walau aku dan beberapa rekan lain satu ruangan dengannya, tetap saja ia tak banyak bicara dengan kami. Katanya kalau ndak penting-penting banget, kurang manfaat. Ada benarnya juga terkadang, namun dengan pekerjaan yang segini banyaknya menurutku tak ada salahnya melepas penat dengan ngobrol-ngobrol bersama yang lain. Ya, setiap orang memiliki karakternya masing-masing tentu, begitu pun dengan Imam rekan kerjaku yang satu ini. Tapi saat ia ngbrol sih memang berbobot, itu mungkin karena ia sering baca buku setiap hari bahkan terkadang saat rekan-rekan memilih tidur beberapa menit untuk waktu istirahat, ia justru sudah khatam satu buku tipis sekitar 80 halaman. Masya Alloh.
Aku bersiap untuk meninggalkan kantor karena kurasa pekerjaanku sudah selesai sore ini. Langit yang tadi siang nampak biru kini terlihat kelabu dari kaca jendela ruanganku, mungkin tak lama lagi akan berubah menjadi jingga. Tinggal aku, Nadia, dan Imam dalam ruangan kerja kami, Faori dan Rizal sepertinya langsung pulang selepas Ashar tadi. Nadia berpamitan pada Imam yang masih sibuk dengan data rekapitulasinya juga denganku yang sedang merapikan meja kerja, ia mohon maaf tidak bisa menunggu aku dan imam karena harus membuat makan malam untuk sang suami, maklum pengantin baru. Kulihat Imam nampak gelisah namun tetap fokus dengan laptopnya.
“ besok saja dilanjut, mam.. sudah sore.” ucapku sembari merapikan map-map di atas meja.
“ malam ini harus dikirim via e-mail. “
“ Antum gelisah banget kayaknya, ada masalah ? datanya nggak belance ?”
Seketika ia hentikan jemari pada keyboard dan memandangku sekejap sembari tersenyum, kemudian ia fokus kembali pada data-data di laptopnya. Aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya, tapi sudah bukan menjadi rahasia jika sampai kapan pun Imam tak akan pernah cerita kepada kami tentang dirinya, tentang masalahnya. begitu pun denganku. Jadi aku berusaha untuk menghargai prinsipnya jika ia tidak ingin bercerita, namun setidaknya aku sudah berempati padanya sebagai seorang teman. Aku berpamitan pada Imam karena seketika aku ingat dengan rencanaku untuk mampir ke rumah Iin sebelum pulang ke rumah, belum sampai kaki ini melangkah keluar ruangan tiba-tiba imam memanggilku dengan suara lirih. Aku yang mendengar suaranya tentu berbalik kembali menghampiri imam yang kini tengah berdiri di depan meja kerjanya.
“ mohon doanya ya ndah. Ibu saya di kampung, sakit. “. ucap Imam singkat padaku.
Seketika aku dibuatnya bingung, iba dan entah mengapa aku seperti merasakan apa yang ia rasakan. Seorang office boy masuk keruangan kami mengantarkan teh manis yang mungkin tadi Imam pesan, sambil menghantarkan beberapa berkas dari ruangan lain yang saat ini pun masih nampak sibuk. Aku kembali pada Imam setelah sempat berbicara sebentar dengan office boy untuk mengucapkan terima kasih. Imam kembali duduk dan lagi-lagi memulai pekerjaannya.
“ sudah sore, kenapa masih diam di sini katanya mau pergi kan ?” ucap Imam membuyarkan lamunanku.
Yaa Rabb, entah mengapa langkah ini tiba-tiba menjadi berat. Aku mencoba untuk tetap di sini, mungkin dua atau tiga menit untuk sekedar bertanya kondisi Ibunya Imam. Aku mengambil bangku dan duduk, ia menatapku heran sebab ia tahu jika tadi aku begitu terburu-buru untuk segera pergi. Aku mulai bertanya kondisi ibunya saat ini, ternyata beliau di rawat. Imam menerima telepon dari kaka iparnya saat istirahat, itu mengapa siang tadi ia lebih lama di Mushalah dan tidak membaca buku seperti biasa. Aku bersimpati padanya sesekali memberikan semangat. Astaghfirullah, sudah lebih dari 30 menit. Aku segera melihat ponselku, ternyata ada sebuah pesan dari Iin jika sore ini ia harus ke Surabaya, entah mengapa berita itu begitu mendadak untukku. Aku hanya bisa berharap semoga Iin dan suaminya baik-baik saja.
***
Imam tak masuk hari ini. Semenjak kejadian dua bulan yang lalu saat Ibu Imam di rawat, kini ia sering cuti untuk menengok ibunya di Surabaya. Walau hanya dua hari tiga hari di sana, setidaknya ibunya senang dapat melihat Imam dan anak-anaknya yang lain berkumpul. Ibu Imam sudah cukup sepuh, namun ia merasa sampai dengan saat ini belum bisa membahagiakan ibunya. Tanpa kusadari aku mengetahui banyak hal tentangnya saat ini. Ah, ada yang aneh menurutku. Aku dan kawan-kawan kerjaku sepakat tak akan ada kisah yang akan Imam ceritakan, jika melihat kesehariannya yang cenderung diam. Keadaan ini sangat berbanding terbalik jika saat ini aku justru banyak tahu hal tentangnya. Keinginan Ibunya untuk Imam segera menikah, teman-teman Imam yang berani mencalonkan diri sebagai Kades di desanya, sampai masa lalu Imam dengan wanita bernama Auly.
“ Menjaga hijab itu tak hanya sekedar jilbab yang menjulur, namun yang terpenting hati ini tetap terjaga”.
Aku teringat kepada pesan Murobbiyah ku saat selesai membaca surat cinta-Nya, di surat An-Nisa. Aku lebih sering sms-an dengan Imam beberapa minggu terakhir, pergi ke toko buku bersama walau dengan motor yang berbeda, atau hanya sekedar mengetahui kondisi masing-masing. Tak jarang jika Imam pulang dari Surabaya, Ia memberikan oleh-oleh yang padahal Ia juga sudah memberikan untuk kami semua di kantor. Katanya ini khusus untuk sahabat. Entah dari mana ini semua berawal, aku merasa sedang ditarik oleh dua ekor kuda yang berlawanan. Satu sisi aku cukup nyaman dengannya namun di sisi yang lain, naluri berkata ini salah. Imam telah memberikan perhatian seperti lebih dari sekedar pertemanan, dan aku pun terbuai begitu saja hingga lupa akan izzah ku sebagai seorang muslimah. Imam pria yang shaleh. Tidak, tetap saja jika belum menjadi muhrimnya apakah pantas ? bagaimana dengan suamiku kelak, syukur kalau ia menjadi suami, kalau tidak ?. Rasa itu berkecamuk dalam hatiku. teringat canda kawan-kawan halaqah yang dahulu di kampus dengan selogan “ jomblo sampai halal yee..”. Ah, ukhti aku rindu.
Malam ini aku hanya dapat bermunajat pada-Nya, meminta ampunan atas khilaf yang pernah kubuat. Cinta adalah anugerah dari Allah, tak ada yang salah dengan rasa ini terhadapnya. Tentu aku masih bersyukur karena diri ini masih memiliki perasaan akan cinta, tapi bagaimana mengekspresikannya kukira aku masih keliru sebagai manusia biasa. Angin yang bersemilir membuat bunyi dercit pada jendelaku yang terkena ranting, sepertinya aku akan beranjak tidur sekarang.
***
Pagi ini aku menerima sebuah surat di atas meja kerjaku, Imam?. Sebuah surat dari Imam. Awalnya aku menyangka itu adalah sebuah surat izinnya untuk kembali lagi ke Surabaya namun saat kubaca aku mulai tertegun sesekali mengerutkan dahi. Aku tak menyangka jika ia telah mempunyai perasaan kepadaku sejak pertama kali aku menjadi karyawan baru di perusahaan kami. Yaa Rabb, apa yang harus aku lakukan?. Seketika pintu ruang kerja terbuka, Pak Firman atasanku meminta untuk aku ke ruangannya membicarakan hal penting untuk planning perusahaan kami kedepan. Aku masukkan kertas hijau yang kupegang ke dalam laci mejaku dan segera meninggalkan ruangan.
“ Kau akan ke Jambi bulan depan, ndah ? bekerja di sanakah ? “ ucap Rizal teman satu ruanganku.
Aku melihat Imam nampak sibuk dengan data-datanya, entah ia mendengarkan perbincanganku dengan Rizal atau tidak sama sekali. Ya, aku dipindah tugaskan oleh atasanku untuk bekerja di cabang perusahaan kami di Jambi. Tak bisa menolak karena ini sudah menjadi kontrakku dengan perusahaan. Rencananya sore ini aku akan berkunjung ke rumah Iin untuk berpamitan sebelum aku menjadi penduduk Jambi, ku dengar ia berlibur kembali ke Jakarta saat sempat pergi ke Surabaya secara mendadak beberapa bulan yang lalu. Kini kulihat Imam sedang membereskan meja kerjanya, entah mengapa ia pulang lebih awal hari ini. Sepertinya aku akan berbicara padanya lain waktu, salah satunya terkait surat atas nama dirinya di mejaku tadi pagi.
***
“ Ya Alloh ukhti, akhirnya main juga ke sini, kamu bagaimana kabarnya di Jakarta ??”
“Alhamdulillah baik In, kamu sendiri bagaimana di Surabaya ?”
“ Alhamdulillah baik ndah, Oh, iya kenalin itu adik iparku”.
Kali ini wajahnya nampak berbeda, senyum yang beberapa minggu terakhir kulihat kini begitu dingin seperti tercelup dalam danau yang bersalju. Imam, adik ipar sahabatku, Iin. Sepertinya ia membaca jika tak kan ada kisah antara diriku dengannya saat ini, hingga sebuah pesan kuterima selepas pulang. “masing-masing, kalau tidak berjodoh tidak ada yang sakit hati”. Dan malam ini aku luruh bersama guyuran hujan di sepanjang jalan, untuk tetap sami’na wa ato’na.
Nama : Siti Indah Mulyaningtyas
UNTIRTA