‘Piala Bergilir’ Ketua Imadiklus Indonesia Hari ini, Sabtu 22 Januari 2022 jam 04.00 WIB atau sekitar pukul 05.00 WITA, kongres Ikatan Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah (IMADIKLUS) Indonesia melakukan
Ini menjadi kongres kedua yang dilaksanakan di luar Pulau Jawa, tepatnya di Sulawesi Selatan, Makassar, setelah sebelumnya dilaksanakan di Bengkulu.
Sangat disayangkan, kongres ini juga menjadi kongres kedua yang tidak saya hadiri, selain kongres ke V di Bandung. Dinamika kongres yang berbeda dengan kegiatan-kegiatan rutin di IMADIKLUS selalu menjadi catatan saya dalam mengembangkan wawasan kebangsaan, dan secara tidak langsung juga menjadi penambah nasionalisme saya.
Kongres itu selalu menghadirkan warna warni perbedaan, saat semua suku, etnis, agama, berkumpul dalam sebuah acara memang membuat perasaan campur aduk. Kemegahan perbedaan yang ada ternyata dapat bersatu dalam sebuah tujuan dan wadah di IMADIKLUS Indonesia.
Prof Muladi pernah menyampaikan bahwa wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. … Semua terangkum dalam satu kesatuan integrasi bangsa.
Perbedaan-perbedaan dalam kongres, baik budaya, karakter dan bahasa dari setiap universitas, memberikan nuansa tersendiri atas keanekaragaman bangsa Indonesia. Pembentukan IMADIKLUS yang awalnya beranjak dari rasa terpinggirkan dan berjuang dengan masing-masing usaha di daerahnya, akhirnya bisa menemukan, setidaknya, tempat untuk berjuang bersama-sama secara lebih strategis dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Tulisan ini tidak akan membahas terkait perjuangan para anggota IMADIKLUS dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, namun ingin mencoba memotret bagaimana proses pergantian kepemimpinan Ketua Umum di IMADIKLUS yang (setidaknya) tidak terlihat berorientasi kepada monopoli satu daerah atau universitas saja.
Wawasan kebangsaan ala IMADIKLUS, mungkin label itu yang bisa saya berikan. Setidaknya dalam 7 periode ini, secara politik kekuasaan, IMADIKLUS dipimpin oleh Ketua Umum yang berbeda-beda daerah atau universitas. Hal ini menyebabkan, kepemilikan IMADIKLUS bisa dipastikan bukanlah hanya untuk segelintir kelompok saja, akan tetapi milik bersama. Pemilihan Ketua Umum layaknya piala bergilir, dengan keyakinan bahwa siapapun ketuanya, semua harus tetap berkontribusi untuk kesuksesan kerja organisasi.
Untuk mengingat kembali, berdasarkan hasil kongres, Ketua pertama berasal dari Universitas Negeri Surabaya, yang kedua dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, yang ketiga dari Universitas Negeri Padang, yang keempat dari Universitas Pendidikan Indonesia, yang kelima dari Universitas Negeri Yogyakarta, yang keenam dari Universitas Malang, dan yang ketujuh dari Universitas Negeri Makassar. Tepat hari ini, IMADIKLUS kembali menunjukan bahwa kepemimpinan bukan hanya berorientasi pada kekuasaan semata, namun pada kebersamaan tujuan, sehingga terpilihlah Ketua Umum untuk periode 2022-2024 dari Universitas Muhammadiyah Bulukumba. Yang menarik lagi adalah, ketua umum kali ini berasal dari universitas swasta, setelah 7 periode sebelumnya dipimpin oleh universitas negeri.
Saya kembali mendapatkan wawasan kebangsaan ala IMADIKLUS walaupun tidak hadir dalam kongresnya. Kelegawaan masing-masing universitas dan juga kesiapannya untuk mendukung pemimpin baru patut menjadi contoh. Setidaknya, IMADIKLUS bisa membuktikan bahwa kekuasaan atau jabatan bukanlah tujuan, selain itu, semua memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin di IMADIKLUS, karena yang utama adalah, persatuan dan kesatuan dalam mencapai tujuan organisasi.
Selamat untuk Ketua Umum terpilih, semoga dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
Panji Bahari
Serang, 22/01/2022