Pendidikan Bagi Suku Primitif di Pedalaman Taman Nasional Bukit Dua Belas

Setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam,  bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah  dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan. Definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan   operasional, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman suku, budaya dan adat istiadat. Salah satunya di Pulau Sumatra terdapat berbagai  macam suku. Satu diantaranya yaitu Suku Anak Dalam yang terkenal berkat kunjungan Bapak Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 silam. Suku ini berada di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun tepatnya di Provinsi Jambi. Suku Anak Dalam (SAD) atau yang sering disebut Orang Rimba merupakan suku minoritas yang tinggal di pedalaman Taman Nasional Bukit Dua Belas. Suku Anak Dalam (SAD) oleh masyarakat sekitar juga disebut Suku Kubu. Sebutan ini ditujukan karena suku ini merupakan kelompok masyarakat yang dianggap primitif, kuno, dan terbelakang. Namun sebutan Suku Kubu ini dianggap kasar dibandingkan dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba. Suku Anak Dalam berarti orang yang terbelakang, tinggal di pedalaman dan jauh dari modernisasi. Menurut sejarah lisan yang beredar dimasyarakat setempat, leluhur dari Suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarganya dan lari ke dalam hutan sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas di Air Hitam. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.

Suku ini hidup secara sederhana dan tinggal di dalam hutan. Dalam kehidupannya, mereka terbagi kedalam beberapa kelompok dan masing-masing memiliki pemimpin yang disebut Tumenggung. Kebiasaannya sehari-hari yaitu berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menggantungkan seluruh hidupnya kepada sumber daya alam yang tersedia di sekitar. Pendidikan bagi mereka masih sangat sangat asing, membaca dan menulispun bukanlah hal yang lazim bagi mereka. Hakikatnya, berinteraksi dengan orang luar saja merupakan sebuah pelanggaran adat, apalagi mendapat pendidikan, dan berasal dari dunia luar. Baca tulis bukan hal yang menarik bagi mereka. Mereka paham bahwa hanya alamlah yang paling dekat dengan mereka.

Pendidikan bagi suku anak dalam dinilai sebagai ancaman, karena dapat merusak adat mereka secara keseluruhan dan juga takut mendapat bencana karena kutukan dari Tuhan. Namun seiring berjalannya waktu mereka mulai menerima masuknya pendidikan kedalam adat mereka. Terlebih lagi ketika masukknya Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi kedalam lingkungan adat mereka. Lembaga KKI Warsi sebagai salah satu lembaga yang memfasilitasi pendidikan maupun pemberdayaan bagi masyarakat suku anak dalam. Tahap awal yang memperkenalkan pendidikan Orang Rimba adalah melalui pendampingan Warsi. Definisi pendidikan disini adalah proses pemberdayaan dengan memberikan pedidikan membaca, menulis dan berhitung dan peningkatan wawasan kepada Orang Rimba untuk mendukung upayanya dalam membela dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan minortasnya terhadap dunia luar (pemerintah dan masyarakat).

Sejak hadirnya KKI Warsi pendidikan pada masyarakat suku anak dalam mulai berkembang. Perlahan mereka pun mendapat pendidikan sebagaimana mestinya. Ini terbukti sudah adanya salah seorang suku anak dalam yang menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yaitu Pratu Budi Hartono. Kemajuan ini sudah sangat jauh dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Suku Anak Dalam masih sangat menjunjung dan menghormati nilai-nilai adat. Suku ini pada umumnya juga masih tetutup dengan dunia luar. Sebagian dari mereka tidak perduli dengan perkembangan zaman ataupun modernisasi yang terjadi. Meskipun suku ini terbelakang dan tertinggal, namun mereka juga membutuhkan pendidikan selayaknya masyarakat lain.

 

Penulis  Siska Widiani ( Dept. Kominfo)

STKIP YPM Bangko

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *