Pendidikan Kesetaraan dan Anak Putus Sekolah Wajib Belajar 9 Tahun

Pendidikan merupakan salah satu upaya kita untuk menanggulangi kebodohan dan kemiskinan yang terjadi di negara kita yaitu Indonesia. Dimana kita ketahui bersama bawasannya dengan seseorang mengenyam bangku sekolah maka orang tersebut telah mengetahui berbagai hal yang ada di dunia ini. Menurut UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam upaya menjalankan amanat UUD 1945 pasal 31 berbunyi bahwa setiap negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Berdasarkan alasan tersebut Wajib Belajar Dasar 9 Tahun sebagai salah satu upaya pemerataan pendidikan dasar diusahakan pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Apabila membicarakan masalah pendidikan dasar, sering kali orang memberikan tanggapan yang kurang serius karena menganggap hal itu sebagai masalah yang sepele dan sederhana. Padahal masalah itu sebenarnya merupakan isu sentral dalam kehidupan bangsa dan negara. Salah satu penyebab pendidikan wajib belajar 9 tahun tidak terlaksana adalah putus sekolah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, angka putus sekolah di Indonesia meningkat pada 2022. Kondisi tersebut terjadi di seluruh jenjang pendidikan, baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Secara rinci, angka putus sekolah di jenjang SMA mencapai 1,38% pada 2022. Ini menandakan terdapat 13 dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang tersebut. Persentase tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Angkanya juga tercatat naik 0,26% poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 1.12%. Angka putus sekolah di jenjang SMP tercatat sebesar 1,06% poin dari tahun lalu yang sebesar 0,90%. Lalu, angka putus sekolah di jenjang SD sebesar 0,13%. Persentasenya lebih tinggi 0,01% poin dibandingkan pada 2021 yang sebesar 0,12%.

Menurut Marzuki mengatakan bahwa karakteristik siswa putus sekolah adalah siswa yang putus sekolah bila berada di lingkungan kelas, siswa tersebut tidak tertib dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas. Siswa yang putus sekolah terkesan hanya mengikuti kewajiban saja untuk masuk di kelas, namun dalam kenyataannya siswa tersebut tidak mempunyai usaha dari dirinya untuk mencerna pelajaran dengan baik. Siswa yang putus sekolah biasanya dipengaruhi oleh lingkungan dalam diri siswa dan juga di luar diri siswa tersebut, misalnya pengaruh prestasi belajar yang buruk di setiap semester, pengaruh keluarga yang kurang harmonis atau kurang afeksi (kasih sayang), dan hal yang paling bisa terjadi adalah karena pengaruh dari teman sebaya yang kebanyakan adalah siswa yang putus sekolah dan juga selalu tertinggal dalam kegiatan belajar di sekolah. Kurang dan minimnya proteksi yang ada di dalam lingkungan rumah siswa tersebut. Hal ini dapat diwujudkan dalam kegiatan belajar belajar di rumah yang kurang tertib, tidak disiplin, selain itu kedisiplinan yang kurang dicontohkan dari orangtua. Perhatian yang kurang dalam hal pelajaran yang dialami oleh siswa ketika siswa berada di sekolah, misalnya penemuan kesulitan belajar siswa yang tidak direspon oleh orangtua. Kegiatan diluar rumah yang meningkat sangat tinggi jika dibandingkan dengan belajar di rumah. Misalnya siswa yang lebih dominan bermain dengan lingkungan di luar rumah dibandingkan menghabiskan waktu dengan keluarga. Kebanyakan mereka yang putus sekolah adalah siswa yang dilatarbelakangi dari keluarga ekonomi yang lemah dan dari keluarga yang tidak teratur.

Pendidikan Kesetaraan dan Anak Putus Sekolah Wajib Belajar 9 Tahun

Pendidikan Kesetaraan dan Anak Putus Sekolah Wajib Belajar 9 Tahun

Meningkatnya angka putus sekolah merupakan tanggung jawab dari seluruh elemen dalam masyarakat, pemerintah, dan keluarga. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam usaha mengatasi anak putus sekolah dengan melibatkan semua unsur yang terkait baik instansi pemerintahan maupun organisasi kemasyarakatan. Hal tersebut sebagai perwujudan dari UUD 1945 yang mewajibkan sekolah semua masyarakat dengan tujuan :

  1. Pendidikan yang murah dapat membuat masyarakat dari semua golongan mampu menikmati sekolah. Sehingga dengan adanya pendidikan yang murah tidak akan memberatkan masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh pendidikan.
  2. Menggalang kepedulian masyarakat pada permasalahan pendidikan. Masyarakat tidak akan memiliki kepedulian dengan pendidikan yang murah, tetapi kepedulian dipicu oleh keikut sertaan banyak pihak dalam lembaga pendidikan. Dengan pendidikan yang murah maka kualitas masyarakat dapat ditingkatkan.

Selanjutnya, menurut Suyanto (2010: 348-349) menyatakan untuk mencegah anak putus sekolah dapat dilakukan dua hal berikut yaitu :

  1. Intervensi dini mencegah anak putus sekolah
  2. Pemasyarakatan lembaga pra sekolah. Penelitian membuktikan bahwa anak yang melalui jenjang pendidikan TK rata-rata memiliki kemmpuan beradaptasi dan prestasi belajar yang lebih baik dibanding anak yang tidak melalui jenjang pendidikan TK
  3. Penanganan anak yang bermasalah, khususnya anak yang memiliki prestasi belajar relatif buruk di sekolah. Anak yang tinggal kelas lama-kelamaan akan sering membolos, semakin jauhnya jarak dengan guru dan akhirnya anak putus sekolah.
  4. Memanfaatkan dukungan dari lembaga-lembaga lokal yang sekiranya dapat dimanfaatkan untuk membantu kegiatan belajar anak yang rawan putus sekolah.
  5. Otonomi dan fleksibilitas sekolah

Depertamen Pendidikan Nasional menyediakan pendidikan alternatif untuk anak yang putus sekolah. Adapun program yang dilakukan saat ini untuk mengatasi anak putus sekolah yaitu dengan mengikuti Program Pendidikan Kesetaraan terdiri dari Program Paket A Setara SD/MI, Paket B Setara SMP/MTs dan Program Paket C Setara SMA/MA kelompok usia 15-44 tahun.

Pendidikan kesetaraan ini ditujukan untuk menunjang penuntasan wajib Sembilan Tahun serta memperluas akses pendidikan menengah yang menekankan kepada keterampilan fungsional dan kepribadian professional. Pendidikan kesetaraan adalah pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan, namun kompetensi lulusannya dianggap setara dengan kompetensi lulusan pendidikan formal (persekolahan) setelah melalui ujian kesetaraan. Pemegang ijazah program paket A, Paket B dan Paket C memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SMP/MTs. Jadi, lulusan Paket A bisa mendaftar di sekolah formal seperti MTsN, SMP. Lulusan Paket B bisa mendaftar di Sekolah Formal seperti SMAN, SMKN, Sekolah Kedinasan, SPM, dan sekolah formal lainnya. Sementara lulusan Paket C bisa mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri, Perguruan Tinggi Swasta, AKPOL, AKMIL, dan lain-lain.

Lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan adalah satuan pendidikan nonformal yang berbada hukum dan memiliki izin operasional untuk menyelenggarakan pendidikan kesetaraan program paket A setara SD/MI, program paket B setara SMP/MTs dan program paket C setara SMA/MA. Satuan pendidikan nonformal tersebut adalah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM),  Yayasan,  Majelis Taklim dan lembaga keagamaan lainnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi sosial kemasyarakatan, kelompok belajar, dan lembaga lain yang sejenis.

Pelaksanaan program paket A, Paket B dan Paket C sudah berjalan dengan baik, dimana setiap tutor sudah membuat perangkat pembelajaran agar memudahkan dalam menyampaikan materi. Dalam pelaksanaannya kegiatan ini mata pelajaran yang diajarkan sama dengan pendidikan formal. Untuk melihat bagaimana perkembangan peserta didik dalam memahami materi, tutor memberikan tugas dan melaksanakan ujian. Kegiatan paket A memiliki beberapa kendala yaitu kurang rasa kesadaran dari peserta didiknya, karena dilihat masih banyak perserta didik yang tidak hadir dalam proses pembelajaran, bahkan saat ujian pun tidak hadir, ada peserta didik yang berhenti. Pelaksanaan pembelajarannya program paket B dan paket C hanya dilakukan dua hari dalam satu minggu yang disebabkan karena peserta didik rata-rata sudah bekerja. Untuk melihat bagaimana perkembangan peserta didik dalam memahami materi, tutor memberikan tugas dan melaksanakan ujian. Kegiatan paket A ini memiliki beberapa kendala yaitu kurang taatnya peserta didik terhada aturan, yang seharusnya jadwal masuk mereka tidak masuk. Pelaksanaan program paket C memiliki beberapa kendala yaitu kesadarannya masih kurang, seolah-olah yang butuh itu kita (lembaga) bukan mereka yang butuh. Kehadiran warga belajar itu belum pernah 100%. Hal ini menganggu penyampaian materinya.

Program pembangunan pendidikan merupakan prioritas pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, oleh karena itu pemerintah bersama masyarakat memberikan perhatian yang konsisten dan serius. Hal ini menjadi pilihan strategi pembangunan nasional, karena kualitas pembangunan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas manusianya dan pendidikan menjadi kunci utama percepatan pembangunan nasional. Pendidikan persekolahan yang meliputi sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi telah memberikan layanan pada masyarakat secara optimal, namun masih ada kelompok masyarakat yang belum memperoleh pendidikan yang layak, karena faktor kemiskinan, keterbelakangan, dan keterpencilannya. Untuk itu, pemerintah memberikan program layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang belum beruntung tersebut melalui layanan pendidikan kesetaraan.

 

Oleh:

Novia Purnama Sari, S.Pd.
Lulusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Padang Angkatan 2008
Instagram : @srikandi_nps

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *