Di usia saya yang hampir pensiun, baru kali ini berkesempatan mengikuti pelatihan di pusdiklat pegawai kemendikbud, Bojongsari, Sawangan, Bogor. Tidak seperti biasanya, kegiatannya cukup padat dan berlangsung ketat, selama sepuluh hari (mulai tanggal 9 sampai 18 Juli 2018). Tanpa kompromi sebagai implementasi dari upaya peningkatan kompetensi.
Sungguh, baru kali ini saya bisa menapakkan kaki di gedung pusdiklat yang megah dengan segala fasilitasnya. Sementara kawan sekantor saya sudah berkali-kali diberi kesempatan menikmati masakan kantin pusdiklat secara gratis dengan menu apa adanya, yang penting sehat dan tidak kelaparan. Terimakasih diucapkan kepada seorang kawan yang mempunyai kesibukan yang lebih sehingga saya berkesempatan ditunjuk untuk mewakilinya.
Sebenarnya materinya biasa saja. Cuma, karena saya sudah bertahun-tahun tidak diberi kesempatan mengikuti pelatihan, jadinya, ya terheran-heran dengan tampilan nara sumbernya. Lebih khusus lagi kenyamanan ruang kelas pusdiklat yang sejuk berkursi empuk bikin mata kantuk.
Salah satu materi yang cukup menarik adalah tentang paradigma pendidikan nonformal, disampaikan Jayeng Baskoro. Kepala PP PAUD dan DIKMAS Jawa tengah, yang gayanya nyeniman, dan ceplas ceplos kayak pengamat dan komentator yang sering tampil di media televisi.
Diawal paparannya, dikatakan bahwa seorang pemerhati pendidikan bilang, ada 5 keganjilan dalam pendidikan di Indonesia. Yaitu, 1) Siswa harus bisa semua pelajaran, 2) Banyak teori minim praktek, 3) Siswa dididik untuk mencari kerja, bukan menciptakan pekerjaan, 4) Biaya pendidikan mahal, dan 5) kualitas pendidik yang masih rendah dan harus ditingkatkan.
Mantan Kepala BP PAUD dan DIKMAS Makasar ini juga bilang bahwa keberadaan pendidikan nonformal itu diperlukan karena Adanya ketidak cocokan antara kurikulum dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat, Ketidak seimbangan pendidikan dengan dunia kerja, Ketidak mampuan lembaga pendidikan untuk memberi kesempatan pemerataan pendidikan bagi semua kelompok masyarakat, dan biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau oleh rakyat miskin.
Apa yang dikatakan Jayeng itu, hendaknya menjadi perhatian para pegiat PNF untuk semakin tanggap terhadap permasalahan lingkungannya. Sehingga, saat menyusun program, benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran didiknya. Dengan demikian, harapannya, lulusan program PNF benar-benar kompeten dibidangnya, mandiri, dan bisa memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat di sekelilingnya.
Namun, yang terjadi di lapangan, sampai saat ini, peserta didik yang telah lulus menyelesaikan program (baik sekolah formal, apalagi nonformal) masih kurang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, sering ditolak ketika memasuki dunia usaha dan industri. Sehingga mereka menjadi pengangguran yang sibuk mencari kerja dan bekerja apa saja walau tidak sesuai dengan pendidikannya. Yang penting kerja daripada tidak bekerja. Sebuah tantangan bagi pegiat PNF.
Terkait dengan lembaga kursus, pria kelahiran Kota tahu, Kediri, bertanya kepada peserta, bisakah lembaga kursus kuliner membuat program pelatihan memasak soto yang enak. kemudian, setelah peserta didik lulus bisa langsung membuka usaha soto?. Jika tidak bisa, artinya lembaga kursus itu hanya menambah pengangguran bersertifikat tanpa bisa mempraktekkan keterampilannya untuk membuka usaha.
Sementara, idealnya, masyarakat yang belum berdaya itu datang ke lembaga PNF untuk berkonsultasi, mendapatkan solusi melalui program PNF sesuai dengan kebutuhannya, termasuk sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sayangnya, kebijakan yang selama ini ada kurang mendukung program PNF. Bahkan sering kali programnya tidak berkelanjutan, hanya berdasar pada proyek yang bersifat dadakan sesuai kepentingan tertentu.
Sambil berseloroh, Jayeng pun mengatakan bahwa kemunculan pendidikan keluarga itu sangat heboh gaungnya, tapi hasilnya kurang signifikan dengan anggarannya. Sekali lagi, sayangnya beliau sebagai orang yang mempunyai kuasa dan dekat dengan penguasa belum berhasil membantu membenahi pendidikan keluarga ke arah yang lebih baik sesuai celetukan segarnya di depan peserta yang terdiridari tenaga fungsional BP PAUD dan DIKMAS se Indonesia.
Dalam kesempatan itu, muncul pula keprihatinan tentang konsep PKBM sebagai rumah besar PNF, sebagai tempat masyarakat mencari informasi yang pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat sesuai kebutuhan hidupnya, seperti teori Maslow tentang jenjang kebutuhan manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Philip h Coombs, bahwa PNF adalah kegiatan pendidikan yang terorganisir, sistematis, dan dilaksanakan di luar sistem pendidikan formal, yang menghasilkan tipe-tipe belajar yang dikehendaki oleh kelompok orang dewasa maupun anak-anak.
Namun kini banyak PKBM atau satdik nonformal lainnya yang hanya menyelenggarakan program sesuai dengan proposal yang disetujui oleh pemerintah atau karena kedekatan dengan penguasa. Sehingga muncul istilah PKBM sebagai tempat menyalurkan berbagai blokgren/bansos demi daya serap anggaran tanpa melihat kelayakan mutu program. Begitulah adanya. Memprihatinkan.
Tampaknya, melalui materi paradigma PNF, Jayeng ingin mengajak peserta pelatihan bisa mengimplementasikannya ke dalam program yang disajikan kepada masyarakat yang menjadi sasarannya. Termasuk upaya memanfaatkan halaman SKB yang luas itu untuk mengajari peserta didik praktek berwirausaha dengan belajar bercocok tanam sampai bagaimana mengelola pasca panen.
Sekali lagi, sayangnya, gagasan cerdas dari Jayeng itu tidak selamanya bisa diimplementasikan di lapangan. Hambatan yang sering muncul adalah, adanya kebijakan politik lokal yang kurang mendukung pelaksanaan program.
Belum lagi munculnya sikap Like and dislike diantara pejabat dan penguasa setempat. Serta adanya faksi-faksi dalam barisan pegiat PNF sendiri. Apalagi jika sudah bicara anggaran dan proyek, maka disitu akan terjadi sikut-sikutan antar teman yang membuka peluang kecurangan. Hal ini ada dan terjadi namun sulit dibuktikan.
Diakhir paparannya, Jayeng menggumam, apakah sepulang pelatihan ini peserta, termasuk saya, bisa melakukan perubahan dalam penyusunan dan pelaksanaan programnya?. Apa yang dikatakan Jayeng itu bisa terlaksana, jika pejabatnya mendukung dalam bentuk pemberian fasilitas yang memadai.
Tanpa itu, jelas tidak mungkin bisa melakukan upaya perubahan. Seperti saya ini, atas kebijakan pimpinan bisa “dolan” ke pusdiklat pegawai kemendikbud sebagai pemain pengganti. Salam Literasi untuk menginspirasi. [edi Basuki/bojongsari, sawangan, bogor, minggu legi-15/7]
Sumber https://nonformalvoices.blogspot.com/2018/07/implementasi-pendidikan-nonformal.html?showComment=1531620383944