Baca Kembali, Mas Pram
Pramoedya Ananta Toer, telinga ini belakangan tak asing mendengar namanya. Seorang tokoh pengarang produktif yang mencetuskan sastra sebagai alat perlawanan. Sempat penulis berpikir, mengapa karya sastrawan ini ditawan pemerintah. Buku beliau sempat menghilang, ditelan kekuasaan represif Orde Baru. Padahal jika ditelusuri mendalam, anda akan menemukan semangat revolusioner bangsa Indonesia. Pikirku, mungkin tulisan beliau terlalu kritis sehingga mengancam eksistensi penguasa.
Semangat perlawanan, kesan itu pertama aku tangkap. Gagasan segar Mas Pram begitu menggoda. Membaca trilogy Pulau Buru, menyisakan sebuah tanya. Apa kabar Indonesia?. Kau begitu menggoda, jelas itu. Bagaimana tidak, tawaran kekayaan alam sangat berlimpah. Tak habis tujuh turunan, tak heran Belanda bernafsu menjajah. Kita dibuat menderita, kompeni (begitu kita menyebutnya) angkuh menjajah kepuluan Nusantara.
Trilogi Pulau Buru Mas Pram, begitu ia disapa menampilkan Minke. Dalam bukunya Sosok Minke, mengajak kita berwacana mendalam. Sikap kritis dan vocal banyak berbicara. Tulisan pena berisi kalimat perjuangan, sehingga banyak melahirkan pertanyaan. Sekolah tinggi buat apa jika gagal berjuang untuk bangsa. Minke digambarkan sebagai sosok generasi terdidik berjiwa pejuang. Belanda sampai repot dibuatnya, sehingga pengawasan diperketat terhadapnya.
Sesungguhnya membaca trilogy Pulau Buru, tak hanya membaca kata. Makna mendalam perjuangan revolusioner mengajak kita berbicara. Pram, kelihatan menyadari banyak kejahatan pemerintah Belanda selama menjajah. Penderitaan, penyiksaan dan hinaan tak menyurutkan semangat merdeka. Bebas dan merdeka dari penjajahan segala sektor kehidupan.
Penjajahan nilai kemanusiaan, dimana pemerintah Belanda memperbudak rakyat Indonesia. Sistem kerja paksa sangat menyakitkan jika harus dikenang. Ribuan manusia mati, hilang tak berbekas. Selembar nyawa dihargai sangat murah. Bahkan dapat dikatakan, biarkan nyawa satu menghilang selama pembangunan terus berjalan.
Penguasaan Belanda, juga menyiratkan persoalan kemanusiaan. Ada diskriminasi mencolok ketika berbicara masalah hukum. Kaum kulit putih (Belanda) merasa lebih layak berdiri menggagahi kaum pribumi. Ketika permasalahan rumah tangga melanda Minke, sang istri harus mengikuti hukum Belanda. Jasadnya tak layak disemayamkan pada bumi tempat dimana dia ditumbuh kembangkan, Indonesia.
Pendidikan Ala Kompeni
Membaca pendidikan zaman Belanda, sebagaimana terungkap dari novel Pram. Setidaknya saya menemukan kasus pendidikan yang memiriskan hati dan perasaan. Betapa penindasan dan kebodohan sangat dekat dalam kehidupan rakyat Indonesia. Pendidikan Indonesia mengalami tidur panjang yang menguntungkan penguasa. Ada dua pelajaran penting mengenai pendidikan yang diungkap mas Pram.
Pertama, pendidikan berjalan diskriminatif. Sekolah bagi kaum pribumi hanya menyisakan Sekolah Rakyat (SR). Tak ada kesempatan pribumi, meskipun cerdas menikmati pendidikan lanjutan. Domain pendidikan pasca SR, sudah dikuasai elit pribumi seperti anak bupati. Pendidikan lanjutan dan tinggi (semisal Sekolah Kedokteran), dikuasai anak anak Belanda.
Perbedaan kesempatan mendapatkan pendidikan melahirkan banyak dampak. Masyarakat pribumi dibiarkan makin bodoh demi kelanggengan kekuasaan Gubermen. Pemerintah kolonial berharap kebodohan pribumi, membuat mereka patuh kehendak penguasa. Jika akses pendidikan dibuka, potensi kecerdasan akan merebak di mana mana. Bukan tak mungkin lahir kaum intelektual yang membahayakan kepentingan penjajah Belanda.
Kondisi itu sekarang masih terjadi, pendidikan berjalan diskriminatif. Sekolah dikuasai orang kaya, sedangkan masyarakat miskin kehilangan hak dasarnya, pendidikan. Pemerintah berusaha menampilkan kepedulian semu, semata memancing simpati masyarakat. Sebagai contoh, kasus terbaru terkait adanya Sekolah bertaraf internasional (SBI). Bagaimana mungkin hak pendidikan terus dipelihara sebagai ladang bisnis. Tak ada usaha pemerintah meluruskan kembali pendidikan sebagai kebutuhan mendasar rakyat Indonesia. Ketika sentilan masyarakat mulai popular, pemerintah baru mau turun tangan. Tak untuk membubarkan sekolah bertarif mahal, melainkan merevisi kesalahan yang terlanjur dibiarkan berkembang.
Kedua, pendidikan tak ubahnya doktrin membelokkan pemikiran. Ketika pertama membaca ada perasaan bergejolak melihat arus pemikiran Minke. Dia sangat menganggungkan pemikiran Barat, menyingkirkan pemikiran ke-Timuran. Lebih spesifik, memunculkan kesan mengenyampingkan pemikiran dan gaya hidup Jawa. Kebanggaan sebagai lulusan Barat sangat besar, seakan Barat segalanya.
Kurikulum Barat mendidiknya sebagai manusia masa depan. Pendidikan Barat mendominasi pemikirannya, ironisnya menafikan spirit pemikiran lokal (ke-Indonesiaan). Dalam perkembangannya, arus pemikiran mulai mengalami perubahan. Kondisi gejolak hati dan berbagai episode peristiwa kehidupan membuatnya berpikir ulang. Jawa (pribumi) tak semuanya jumud, Barat tak selamanya buruk. Semua mengalami proses kelebihan dan kekurangan sebagai fitrah dasar kehidupan.
Pendidikan sekarang, mengalami kesalahan yang sama. Benar rasanya berbicara sejarah, fakta serta polanya memungkinkan sama dengan peristiwa dan pelaku berbeda. Lulusan Barat (tanpa bermaksud menggeneralisir) menderita pembelokkan makna. Hampir dapat dikatakan, penguasa pendidikan Indonesia banyak mengadopsi arus pemikiran Barat. Kurikulum pendidikan menyengsarakan masyarakat dan peserta didik. Setiap hari anak Indonesia dijejali padatnya mata pelajaran sehingga tak mengherankan peserta didik tidak fokus.
Kurikulum pendidikan sekarang banyak mengacu pola pendidikan Barat. Sedangkan kebutuhan lokal sebagai budaya timur dipinggirkan. Dampaknya, manusia Indonesia cerdas secara pemikiran, banyak cacat secara moralitas. Ada distorsi memaknai pendidikan, bukan lagi menghasilkan cerdas bermoral. Produk pendidikan Indonesia mengagungkan kecerdasan intelektual, melupakan kecerdasan spiritual dan emosional. Dapat dikatakan pembentukan afektif, psikomotorik dan kognitif berjalan timpang.
Melihat kisah Minke, merevitalisasi pemikiran kita bahwa dunia pendidikan Indonesia mengulang kegagalan. Bagaimana tidak, kesalahan pada masa penjajahan Belanda nyata sekali terulang. Meski konteks peristiwa dan kemasannya berbeda, namun polanya sama. Pendidikan berjalan diskriminatif dan kurikulum yang membodohan peserta didik.
Di masa mendatang, kita sebagai generasi intelektual terdidik perlu merumuskan perubahan. Pendidikan harus mampu diakses semua kalangan masyarakat, murah berkualitas dan kurikulum yang menyenangkan bukan memberatkan. UUD 1945 (versi Amendemen) , Pasal 31, ayat 3 sendiri menegaskan tujuan pendidikan menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang . Jika masih ada diskriminasi pendidikan, artinya pemerintah merampas hak rakyat dan merobek amanat konstitusi.
Nama | inggar saputra |
genmuslim_100@yahoo.co.id | |
Sebagai | Mahasiswa |
Asal UNIV/Instansi/Daerah | UNJ/JAKARTA |
Tinggalkan komentar