STRATEGI MENGARUSUTAMAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL

STRATEGI MENGARUSUTAMAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL[1]

Oleh: Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog[2]

images

Pengantar

Dalam sistem pendidikan nasional kita, sebagaimana dirumuskan dan diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikenal tiga jalur pendidikan, yaitu jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.  Dimanakah garis batas dari ketiga jalur tersebut? Ketiganya merupakan sebuah kontinum yang batasnya didasarkan atas kesepakatan. Jika diibaratkan sebuah garis, maka pendidikan formal berada di satu ujung dalam bentuk program pembelajaran yang paling terstruktur sementara pendidikan informal di ujung yang lain dalam bentuk pembelajaran yang paling kendor (tidak terstruktur).  Sedangkan pendidikan nonformal berada di tengah, di antara kedua ujung ekstrim tersebut dalam bentuk pembelajaran yang tersrtuktur tetapi luwes/fleksibel yang selalu dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.  Dalam praktiknya, ada jenis pendidikan formal yang memiliki ciri-ciri seperti pendidikan nonformal dan sebaliknya.  Demikian pula ada juga jenis pendidikan nonformal yang memiliki ciri-ciri seperti pendidikan informal dan sebaliknya.  Dengan demikian klasifikasi sebuah program atau satuan pendidikan masuk dalam kategori jalur formal, nonformal, atau informal tergantung dari kesepakatan kita.

Sebelum terbitnya UU N0. 20 Tahun 2003, pendidikan nonformal dan informal masuk dalam jalur pendidikan luar sekolah.  Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang membagi jalur pendidikan menjadi dua, yaitu jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah, sehingga yang tidak termasuk pendidikan sekolah tentu merupakan pendidikan luar sekolah.  Setelah 10 tahun UU No. 20 Tahun 2003 diundangkan, Prodi pada peguruan tinggi masih menggunakan istilah Pendidikan Luar Sekolah.  Hal ini tentu merupakan otoritas perguruan tinggi, karena perubahan nama memiliki implikasi yang luas, apalagi mungkin terkait dengan disiplin ilmu.

Seminar yang dilanjutkan dengan lokakarya dan diikuti oleh seluruh Prodi PLS ini sungguh merupakan momentum yang sangat tepat untuk melakukan evaluasi diri dan merancang masa depan Prodi PLS yang mampu menjawab tantangan zaman.  Melalui Semiloka ini kami berharap agar kemitraan antara birokrasi dalam hal ini jajaran Ditjen PAUDNI dengan Prodi PLS dapat semakin erat.  Kami sangat membutuhkan pemikiran para akademisi dalam rangka memajukan dunia pendidikan khususnya PNFI atau PLS ke depan. Merupakan suatu kehormatan bagi kami untuk turut memberikan sumbangsih pemikiran.  Mudah-mudahan kami dapat memberikan pemikiran yang berguna, khususnya dari sudut pandang birokrasi yang membidangi pendidikan nonformal dan informal yang merupakan pengganti dari istilah pendidikan luar sekolah pada masa sebelumnya.



[1] Disampaikan  dalam “Seminar dan Lokakarya Nasional Kurikulum Program Studi PLS” di Universitas Negeri Malang  tanggal 10 Mei 2013.

[2] Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Download meteri selengkapnya sisini

[download id=”158″]

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *