Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun “Ki Hadjar Dewantara: Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya.” [Pusara, Januari 1940]
Pendidikan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 Pasal 31 (1) dan (2) menyatakan bahwa warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Oleh karena itu, pendidikan harus bisa diakses dan dijangkau oleh semua warga negara, melampaui berbagai kendala seperti fisik, mental, jenis kelamin, ekonomi, geografis, dan sosial. Negara memiliki mandat untuk memastikan bahwa semua hambatan tersebut bisa dikikis sehingga pendidikan bisa diakses dan dijangkau semua warga negara.
Selama Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, akses pendidikan telah dibuka sampai 9 tahun melalui program Wajib Belajar. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menginisiasi program wajib belajar 12 tahun melalui program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Meskipun belum sepenuhnya terlaksana, wajib belajar 12 tahun merupakan sebuah kemendesakan agar kualitas pendidikan kita menjadi semakin baik dan pendidikan menjadi pintu bagi pemberdayaan dan pemberi harapan baru bagi anak-anak Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu cara agar peserta didik semakin berdaya dan memiliki harapan baru di masa depan. Pendidikan dipandang sebagai investasi strategis sekaligus kunci untuk meraih perubahan, termasuk perubahan tingkat kesejahteraan ekonomi dan meningkatkan derajat sosial bagi keluarga kurang mampu.
Pendidikan memang bukan segala-galanya. Namun, pendidikan memiliki dampak jangka panjang karena menjadi awal sebuah akses ke berbagai sektor kehidupan yang lain. Pendidikan memungkinkan seseorang memperoleh pekerjaan, mengembangkan dan mengekspresikan diri, dan menjalin komunikasi sosial yang lebih luas. Melalui pendidikan, area hidup akan menjadi lebih lebar dan memberi kesempatan lebih banyak bagi kehidupan berikutnya.
Tiadanya akses pendidikan menyebabkan lingkungan kehidupan menjadi terasa lebih sempit. Tanpa pendidikan, ada banyak keputusan hidup yang demikian penting bisa salah diambil, seperti pernikahan di usia dini. Penyebab utama pernikahan dini adalah pendidikan yang rendah. Pernikahan yang dilangsungkan dalam usia sangat muda menjadi salah satu mata rantai bagi kemiskinan berkelanjutan, rendahnya harapan masa depan pasangan pernikahan, sekaligus rendahnya kualitas generasi masa depan buah pernikahan tersebut.
Akses pendidikan yang terus menerus dan semakin tinggi kualitasnya menjadi demikian penting karena memberi harapan dan pilihan hidup yang lebih leluasa. Menyediakan akses pendidikan setinggi-tingginya dan seluas-luasnya bagi warga negara harus menjadi salah satu prioritas pelayanan negara.
1.1. Kondisi Akses Pendidikan 12 Tahun Saat Ini
Pasal 6 (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberi batasan pendidikan dasar sekaligus sebagai wajib belajar berada dalam rentang usia 7-15 tahun (wajib belajar 9 tahun tingkat SD sampai SMP). Kebijakan tersebut melanjutkan upaya yang telah dilakukan oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1994 yang menekankan Wajib Belajar 9 Tahun.
Tantangan persaingan global membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni dan mampu bersaing. Kualitas SDM yang berdaya saing tentu saja tidak mungkin didapatkan dari lulusan setingkat SMP. Oleh karena itu, akses pendidikan harus ditingkatkan, minimal 12 tahun wajib belajar atau setingkat lulusan SMA. Lulus SMA, tentu saja bukanlah jaminan keberhasilan dalam persaingan, melainkan menjadi tahap awal pencapaian derajat pendidikan yang lebih tinggi. Kenaikan level tersebut dipandang sangat penting. Akses pendidikan yang kita butuhkan adalah sampai 12 tahun atau minimal rentang usia 7-18 tahun (saat usia anak-anak selesai).
Situasi akses pendidikan 12 tahun pada saat ini bisa dilihat dari kenyataan-kenyataan berikut ini.
Pertama, tingkat akses pendidikan untuk level SMA (usia 16-18 tahun) masih dinilai kurang bagus, karena di bawah standar minimal. Pemerintah harus serius melakukan intervensi untuk mendorong anak usia SMA/MA agar bisa sekolah. Alat ukur pemerataan dan akses pendidikan adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) yang menunjukkan berapa jumlah semua yang sudah memperoleh pendidikan dibandingkan dengan jumlah penduduk di suatu daerah. Persentase 85 persen adalah nilai minimal untuk menunjukkan tingkat akses pendidikan yang baik. Pada Tahun Ajaran 2012/2013, APK tingkat SD/MI adalah sebesar 115,88 persen, SMP/MTs sebesar 100,16 persen, sedangkan SMA/MA adalah sebesar 78,19 persen.
Selengkapnya download disini Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun
Oleh: Jumono, Abdul Waidl
Disampaikan dalam kegiatan Pra Simposium Pendidikan
23 Febuari 2015 di Hotel Atlet Centuri, Jakarta
Biodata Penyunting
Nama : Teguh Akbar
Tempat, Tanggal lahir : Batusangkar, 1 Agustus 1992
Nomer HP : 085794106991 / 085274421108
Email : [email protected]
Facebook : https://www.facebook.com/teguh.akbar.94
Line : @teguhdiklus
Tinggalkan Balasan