Siswa atau Warga Belajar dalam Prespektif Kebudayaan

Siswa atau Warga Belajar dalam Prespektif Kebudayaan

 Oleh Uswatun Hasanah
Jurusan Pendidikan Luar Sekolah

Universitas Negeri Malang

Konsep peserta didik

                      Pengertian peserta didik adalah proses menuju tercapainya kedewasaan atau tingkat yang lebih sempurna pada suatu individu dan bersifat kualitatif. Perkembangan merupakan proses yang berjalan sejajar dengan pertumbuhan, faktor “ faktor yang mempengaruhinya yaitu factor internal dan factor eksternal (ligkungan). Faktor lingkungan bisa saja di dapatkan dari dalam rumah dan sekolah melalui interaksi social. Hubungannya dengan pendidikan, sekolah merupakan pusat pengembangan peserta didik, guru dan ainnya, artinya sekolah berfungsi sebagai tempat pemberdayaan masyarakat dan sekolah juga harus dapat melakukan pengembangan dan perubahan transformasional kurikulum diharapkan dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar dan mengajar. Tetapi keluhan tentang lemahnya minat belajar anak juga dapat ditimbulkan ketika anak berhadapan dengan guru dan biasanya yang sering terjadi di lingkungan sekolah berkaitan kriteria guru yang mereka sukai yang dapat meningkatkan minat belajar mereka.

                      Peserta didik merupakan suatu komponen masukan dalam system pendidikan, yang selanjutnya di proses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuia dengan tujuan pendidikan.Pendekatan sosial peserta didik adalah anggota masyarakat yang sedang di siapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Pendekatan psikologis peserta didik adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapisitas, fungsi dan afisiensi. Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan intelegensi, sosial, emosional, sepiritual, yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pedekatan Edukatif yaitu pendekatan pendidikan menempatkan peserta didik sebagai unsur penting yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan menyeluruh dan terpadu.

                      Aspek Perkembangan Peserta Didik :

Pengajaran konvensional menitik beratkan pada perkembangan intelektual melalui cara belajar ingatan mengenai hal-hal yang telah dibaca dan tugas-tugas yang telah dikerjakan. Pengetahuan yang telah diperoleh langsung dapat ditranferkan ke dalam situasi kehidupan. Perencanaan belajar dan perkembangan aspek ketrampilan, sosial, sikap dan apresiasi.

Pengajaran baru tidak hanya bertujuan mengembangkan aspek intelektual tetapi juga meliputi perkembangan aspek jasmania, sosial, dan emosional.

Konsep Minat dan Motivasi Belajar Pesrta Didik

                      Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa factor yang turut andil untuk menentukan berasil atau tidaknya suatu lembaga pendidikan dalam hal ini disebut sekolah. salah satu factor pendidikan yang terdapat di sekolah adalah minat belajar peserta didik, kerena minat sebagai penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan. Dari beberapa pengertian tentang minat tersebut, dapat disimpulkan bahwa minat dalam pendidikan dapat diartikan sebagai dorongan-dorongan dari dalam diri peserta didik secara psikis dalam mempelajari sesuatu dengan penuh kesadaran, ketenangan dan kedisiplinan, sehingga menyebabkan individu secara aktif dan senang untuk melakukannya.

Ditegaskan lagi bahwa korelasi antara minat belajar dengan pendidikan adalah suatu hal yang   tidak dapt dipisahkan, karena minat belajar merupakan sebagian dari faktor pendidikan yang sangat penting dan juga sebagai kunci pokok keberhasilan untuk mencapai tujuan   pendidikan, dengan kata lain minat belajar yang tinggi adalah faktor pendukung pendidikan yang sangat penting.Dari pendapat itu sehingga muncul anggapan bahwa orang yang benar-benar terdidik ditandai oleh adanya minat belejar yang besar terhadap hal-hal yang bernilai atau bermanfaat bagi dirinya.

Kuatnya motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi memiliki daya tarik bagi kalangan pendidik terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja prestasi dan profesionalisme seseorang.

Motivasi pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi suatu keinginan atau kebutuhannya. Perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan, yaitu dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi meliputi pengarahan perilaku, berkaitan dengan perilaku dan kinerja, pengarahan kearah tujuan, faktor-faktor fisiologi, psikologi dan lingkungan sebagai faktor-faktor yang penting.

Sekolah yang berkualitas akan menjadikan tempat berkembangnya minat belajar peserta didik ketika telah diciptakan lingkungan belajar yang efektif oleh sekolah itu sendiri. Sekolah yang inovatif dan kreatif bisa menciptakan kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru. Guru juga harus berperan sebagai fasilitator dengan cara memotivasi peserta didik dengan mencontohkan model keterampilan penyelidikan sains agar peserta didik memiliki keingintahuan, kesibukan terhadap gagasan baru dan data serta skeptisme sains. Kalau tidak dapat, dipastikan peserta didik akan cepat bosan dalam mengikuti proses pembelajaran hal itu   jika:

  1. Yakin bahwa apa yang dipelajarinya bermanfaat bagi dirinya
  2. Yakin akan mampu memahami/menguasai pelajaran sains
  3. Situasi belajar yang menyenangkan

Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya

Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.

Kemandirian dalam belajar

Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih didorong oleh kamauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Konsep kemandirian dalam belajar bertumpu pada perinsip bahwa individu yang belajar akan sampai kepada perolehan hasil belajar.

  ­Alasan yang menopang

Conny Semiawan, dan kawan-kawan (Conny S. 1988; 14-16) mengemukakan alasan sebagai berikut:

  • Perkembangan iptek berlangsung semakin pesat sehingga tidak mungkin lagi para pendidik(khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.
  • Penemuan iptek tidak mutlak benar 100%, sifatnya relatif.
  • Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan wajar sesuai dengan situasi dan kondidi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekannya sendiri.
  • Dalam proses pendidikan dan pembelajaran pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan penanaman nilai-nilai ke dalam diri peserta didik.

Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.

Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:

  • Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
  • Individu yang sedang berkembang.
  • Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
  • Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.

Kewajiban Siswa :

  1. Taat pada guru, karyawan serta kepala sekolah.
  2. Menghormati guru, karyawan, kepala sekolah serta saling menghargai sesama teman.
  3. Membantu kelancaran pelajaran baik di kelas maupun di sekolah pada umumnya.
  4. Melengkapi diri dengan alat-alat belajar yang diperlukan.
  5. Ikut menjaga nama baik sekolah, guru, dan pelajar pada umumnya, baik di dalam maupun di luar sekolah.
  6. Ikut terlibat dan bertanggungjawab atas program sekolah.
  7. Ikut bertanggungjawab atas kebersihan dan pemeliharaan gedung serta               fasilitas sekolah lainnya.
  8. Menyelesaikan administrasi (uang sekolah) selambat “lambatnya tanggal sepuluh (10) pada setiap bulan yang bersangkutan.
  9. Setiap siswa wajib memakai seragam yang telah ditentukan sekolah.
  10. .Siswa yang menggunakan kendaraan wajib menempatkan kendaraan pada tempat  yang telah ditentukan dalam keadaan terkunci.
  11.    Ikut membantu agar tata tertib sekolah dapat berjalan dan ditaati.

Hak-hak Siswa :

  1. Menerima pelajaran selama tidak melanggar tata tertib sekolah.
  2. Meminjam buku “buku dari perpustakaan sekolah sesuai dengan persyaratan yang diberlakukan.
  3. Menggunakan alat “alat laboratorium dengan pengawasan guru pembimbing.
  4. Menyampaikan pendapat , usul dan saran terkait kemajuan sekolah melalui sarana yang ada.
  5. Mendapatkan pelayanan kesehatan sekolah (UKS) dalam batas jangkauan sekolah.
  6. Mengikuti bimbingan belajar/tambahan pelajaran yang diperlukan.
  7. Mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program remidi.
  8. Menggunakan fasilitas sekolah dengan pengawasan guru selama jam pelajaran.

Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan

        Sebuah program pendidikan mencerminkan kehidupan dan kondisi-kondisi suatu masyarakat, program pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sosial-budaya, sejarah, dan filosofis, yang semuanya akan memberikan arah kepada pendidikan.

Sosial dan cultur prespektif mengatakan bahwa kajian mengenai dasar-dasar dan budaya dari pendidikan bertujuan untuk membekali tenaga kependidikan dengan pengetahuan yang mendalam tentang masyarakat dan kebudayaan dimana mereka hidup, dan untuk membantu calon-calon tenaga kependidikan untuk melihat bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan sangat penting artinya guna memahami tentang masalah-masalah kependidikan.

Beberapa pokok fikiran yang menjadi alasan bagi pentingnya kajian tentang dasar-dasar sosial budaya dari pendidikan itu:    

  1. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan belum secara eksplisit menghubungkan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan dengan kependidikan sebagai institusi untuk memelihara kesinambungan dan pengembangan masyarakat dan kebudayaan.
  2. Telah menjadi kepercayaan umum didunia pendidikan, bahwa para pendidik harus memahami isu-isu dan masalah-masalah sosial budaya dalam masyarakatnya.
  3. Pengembangan berbagai tujuan khusus mata kuliah tertentu baru akan relevan, kalau para guru memahami kebudayaan masyarakatnya dengan bai
  4.  Dalam masyarakat yang kebudayaanya mengalami perubahan yang cepat, orang sering kehilangan pegangan. Pemahaman tentang kebudayaan dan proses perubahan kebudayaan dalam mana dipelajari paham-paham tentang kebudayaan alternatif, akan menolong para calon pendidik untuk mempertahankan kesehatan mental mereka, hingga bisa pula membantu pengenbangan kesehatan mental dikalangan generasi muda
  5.  Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan yang akan memungkinkan guru berfungsi lebih baik sebagai pembentuk generasi muda.

Kebudayaan dan Pendidikan dalam siswa

Diskusi tentang pengertian budaya atau kebudayaan terus mengalir di berbagai forum sampai saat ini. Tentang pedefinisian kebudayaan di Indonesiatidak dapat dilepaskan dari tokoh antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Sebagian ahli membedakan antara pengertian budaya dengan kebudayaan. Budaya sering diartikan sebagai konsep pemikiran , sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan produknya. Koentjaraningrat tidak membedakan itu. Secara etimologis, Budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama (Koentjaraningrat, 1980:81-82). Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarati mengolah atau megerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia, juga tidak terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan. budaya diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi . Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia , seperti kepercayaan, kesenian, dan atat istiadat (Pusbinbangsa, 1983).

Dalam kajian lebih jauh, Irianto (1997: 56-57) , setidaknya ada dua aliran dalam pendefinisian kebudayaan, yaitu positivisme dan interpretivisme. Perbedaan mendasar pada kedua aliran tersebut terletak pada paradigma tentang hubungan manusia dengan alam sekitar. Aliran positivisme memandang manusia sebagai bagian dari alam yang tunduk pada hukum-hukum sosial, perilakunya dapat dipelajarai melalui pengamatan dan diatur oleh sebab-sebab eksternal. Sebaliknya aliran interpretivisme memandang manusia sebagai anggota-anggota masyarakat yang saling membagikan suatu system social dan system makna. Manusia mendiuduki posisi sentral, kenyataan dan relaitas social merupakan hasil ciptaan manusia yang diatur melalui sistem makna. Koentjaraningrat dikelompokkan ke dalam aliran positivisme yang mengartikan budaya atau kebudayaan sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan mesayarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar.

Sementara Parsudi Suparlan disebut sebagai wakil dari golongan intepretivisme yang mendefenisikan budaya atau kebudayaan merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk bio-sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan dalam mewujudkan perilaku. Dalam pengertian ini kebudayaan merupakan mekanisme kontrol bagi semua perilaku manusia. Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana, dan strategi, yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. (Parsudi suparlan, dalam Soerjani,M 1983 : 72).

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, batasan antara pengertian budaya dengan kebudayaan tidak terlihat dengan tegas. Terlepas dari perdebatan itu, dalam tulisan ini pengertian budaya lebih kepada sistem nilai dan norma yang mendasari perilaku manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daoed Joesoef (1982), budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun tertentu . Sementara kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkit dengan budaya. Dalam konteksi tinjauan budaya dilihat dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan niliai-nilai universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi. Kedua, budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya local yang eksis dalam kehidupan masayarakat setempat. Ketiga aspek ini terkait erat dengan sistem pendidikan sebagai wahana dan proses pewarisan budaya.

Kebudayaan merupakan konsep dasar dalam ilmu-ilmu sosial, kebudayaan adalah milik manusia yang membedakannya diri makhluk lainnya di muka bumi ini, hanya masyarakat manusialah yang punya kebudayaan. Proses pembudayaan melalui masing-masing anak, yang dilahirkan dengan potensi belajar yang lebih besar dari makhluk menyusui lainnya, dibentuk menjadi anggota penuh dari suatu masyarakat, menghayati, dan mengamalkan bersama-sama anggota lainnya suatu kebudayaan tertentu. Menurut siswa yang telah mempelajari kebudayaan dapat di artikan seperti budaya yang mewakili nilai, norma, hukum dan peraturan-peraturan. Berhubungan dengan penyampaian kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya ditemui berbagai istilah yang sering dipakai secara bergantian, tumpang tindih, dan secara khusus. Sejalan dengan pemikiran ini, maka fungsi dari enkulturasi adalah merobah respon-respon biologis anak-anak menjadi baentuk bentuk tingkah laku budaya yang secara sosial.

Semua masyarakat membudayakan unsur-unsur budaya universal ini, tetapi bagaiman caranya, dan media apa yang dipakai terdapat perbedaan-perbedaan. Hal ini tergantung pada perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Makin berkembang suatu masyarakat, maka makin diperlukan formalisasi pendidikan bagi generasi mudanya. Warisan sosial budaya menjalani hidupnya sendiri, dikuasai oleh hukum-hukum yang unik, tidak dipengaruhi oleh orang yang hanya merupakan pendukung kebudayaan tersebut. Tetapi meskipun individu tidak mempengaruhi kebudayaan masyarakat, sebaliknya kebudayaan mempengaruhi individu yang membentuk suatu masyarakat.

Pendidikan dan Proses Budaya

Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat berdaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).

                  Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah kelseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukansebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai maklhuk bio-sosial.

Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Ibnu Khaldun mempertegas lagi bahwa pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu gejala sosial yang memberi ciri masyarakatnya-masyarakat maju.

Lebih jauh, Ibnu khaldun membagi ilmu dan pengajaran ke dalam berbagai kategori, yaitu (1) ilmu Naqli yang bersumber pada Kitab Alqur ™an dan Sunnah, (2) ilmu Aqli (ilmu yang berhubungan dengan otak) terdiri dari ilmu fisika (ilmu tentang benda), ilmu ilahiyat (ketuhanan atau metafisika), ilmu matematika, ilmu musik pengetahuan tentang asal-usul ritme, ilmu hay ™ah (astronomi), (3) ilmu logika yaitu ilmu yang memilihara otak dari kesalahan. Sejalan dengan ini, konsep agama tentang pendidikan pada hakekatnya upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif seperti kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien, emosional, dsb. Ke sifat-sifat yang positif seperti cerdas, tenggang rasa, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak atas dua dasar aturan yaitu hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah.

Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetathuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing.Kecakapan hidup merupakan tujuan dari seluruh mata pelajaran yang mencakup ketiga ranah kemampaun yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pendidikan kecakapan hidup memiliki tiga dimensi tujuan yaitu;

Dimensi pertama, adalah penguasaan dan kepemilikan konsep-konsep dasar keilmuan dengan prinsip-prinsip utamanya. Konsep dasar tersebut dibangun berdasarkan materi esensial yang merupakan bagian integral dari keilmuan (body of knowledge). Konsep dasar ini umumnya bersifat general sehingga dapat digunakan atau terkait dengan disiplin ilmu yang lain (transferable). Konsep dasar ini harus dukuasai sebagai pondasi untuk menuju ke kecakapan hidup yang diinginkan.

Dimensi kedua adalah penguasaan atau kepemilikan kecakapan proses atau metode. Kecakapan ini merupakan kecakapan generic yang dipersyaratakan bagi setiap siswa untuk semua jenjang pendidikan yang mmeungkinkan setiap siswa memiliki kemampuan beradaptasi (adaptability) dan kecakapan menanggulangi (cope ability) serta kecakapan untuk mempelajari (learning to learn). Dengan dimensi ini siswa dibiasakan dan dimotivasi unuk menggunakan pengetahuannya dalam praktek kehidupan di dunia nyata yang didasari oleh kaidah-kaidah pengembangan (proses) keilmuan. Kedua dimensi ini tidak diperoleh secara terpisah, ataupun secara berurutan, melainkan diperoleh secara simultan. Karena konsep-konsep dasar (dimensi pertama) tidak akan dapat diperoleh siswa jika dengan hanya menghafal tanpa ada upaya melakukan inquiry melalui dimensi kedua.

Dimensi ketiga adalah kecakapan penerapan konsep dan proses dalam kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran berlangsung dengan berwawasan lingkungan (kontekstual). Dengan demikian, siswa akan terbiasa dengan perilaku yang didasari oleh berbagai kecakapan yang diperoleh melalui belajar. Artinya tidak ada jarak antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku sehari-hari. Proses ini akan membangun perilaku dan sikap manusia sebagai cerminan dari sikap dan perilaku makhluk yang berbudaya.

Masalah Dalam Peserta Didik di dalam Kebudayaan

                      Permasalahan yang dialami para siswa di sekolah seringkali tidak dapat dihindari, meski dengan pengajaran yang baik sekalipun. Hal ini telebih lagi karena disebabkan karena sumber-sumber permasalahan siswa banyak terletak di luar sekolah. Dalam kaitan itu, permasalahan siswa tidak boleh dibiarkan begitu saja. Apabila misi sekolah adalah menyediakan pelayanan yang luas untuk secara efektif membantu siswa mencapai tujuan-tujuan perkembangannya dan mengatasi permasalahannya, maka segenap kegiatan dan kemudahanyang diselenggarakan sekolah perlu diarahkan kesana. Disinilah dirasakan perlunya pelayanan bimbingan dan konseling di samping kegiatan pengajaran. Dalam tugas pelayananyang luas, bimbingan dan konseling di sekolah adalah pelayanan untuk semua murid yang mengacu pada keseluruhan perkembangan mereka yang meliputi empat dimensi kemanusiaannya dalam rangka mewujudkan manusia seutuhnya.

Latar belakang psikologis berkaitan erat dengan proses perkembangan manusia yang sifatnya unik, berbeda dari individu lain dalam perkembangannya. Implikasinya dari keragaman ini ialah bahwa individu memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih dan mengembangkan diri sesuai denngan keunikan atau tiap-tiap potensi tanpa menimbulkan konflik dengan lingkungannya dari sisi keunikan dan keragaman individu, diperlukan bimbingan untuk membantu setiap individu mencapai perkembangan yang sehat di dalam lingkungannya

Keluhan di dalam peserta didik yaitu lemahnya minat belajar anak yang ditimbulkan ketika anak berhadapan dengan guru dan biasanya yang sering terjadi di lingkungan sekolah berkaitan dengan kreteria guru yang mereka sukai yang dapat meningkatkan minat belajar mereka.

                      Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar diantaranya sebagai berikut:

  1. Kurang waktu yang tersedia untuk bermain.
  2. Sedang punyak masalah dirumah.
  3. Bermasalah di sekolah.
  4. Sedang sakit.
  5. Sedang sedih.
  6. Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang bermain, hanya memang malas.

Kependidikan belum eksplesit cara menghubungkan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan dengan kependidikan sebagai institusi untuk memelihara kesinambungan dan pengembangan masyarakat dan kebudayaan warisan sosial budaya menjalani hidupnya sendiri, di kuasai oleh hukum-hukum yang unik, tidak di pengaruhi oleh orang yang hanya merupakan pendukung kebudayaan tersebut.

Tata krama yang semakin memudar karena terkikis dengan modernisasi yangsekarang ini, sudah di tinggalkan. Remaja khususnya para warga belajar dituntut mengunakan bahasa Indonesia yang baik dalam berbicara dengan orang lain agar bahasa persatuan tersebut dapat berkembang, karena mereka banyak menggunakan bahasa gaul. Semakin banyak imitasi (peniruan) dari manca negara dalam pendidikan, seperti pakaian, pola pikir dll.

Solusi pada permasalahan tersebut

                      Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk memanusiakan manusia tepatnya memanusiakan manusia muda (meminjam istilah Dick Hartoko). Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya.

                              Semua sifat positif yang diharapkan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara kita sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat, serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa dan negara. Semua ini merupakan unsur pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh kedamaian.

Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya “yang diperoleh selama proses belajar “ sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini bahwa dalam dunia kehidupan nyata, antara kehidupan akademis dan non akademis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu seharusnya, program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi (memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.

Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (developmental) yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri. Tugas pendidikan adalah memotivasi agar setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi.

Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis terikat dengan hubungan yang kontinum. Tidak satupun dari komponen ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan norma budaya.

                      Nurihsan (2006 ; 9), mengemukakan bahwa pelaksanaan bimbingan perlu memperhatikan beberapa prinsip, yaitu sebagai berikut :
1. Bimbingan adalah suatu proses membantu individu agar mereka dapat membantu dirinya sendiri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
2. Hendaknya bimbingan bertitik tolak (berfokus) pada individu yang dibimbing.
3. Bimbingan diarahkan pada individu memiliki karakteristik tersendiri. Oleh karena itu, pemahaman keragaman dan kemampuan individu yang dibimbing sangat diperlukan dalam pelaksanaan bimbingan.
4. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tim pembimbing di lingkungan lembaga pendidikan hendaknya diserahkan kepada ahli atau lembaga yang berwenang menyelesaikannya.
5. Bimbingan dimulai dengan identifikasi kebutuhan yang dirasakan oleh individu yang akan dibimbing.
6. Bimbingan harus luwes danfleksibel sesuai dengan kebutuhan individu dan masyarakat.
7. Program bimbingan di lingkunganlembaga pendidikan tertentu harus sesuai dengan program pendidikan pada lembaga yang bersangkutan.
8. Hendaknya, pelaksaan program bimbingan dikelola oleh orang yang memiliki keahlian dalam bidang bimbingan, dapat bekerja sama dan menggunakan sumber-sumber yang relevan yang berada di dalam ataupun di luar lembaga penyelenggaraan pendidikan.
9. Hendaknya, pelaksanaaan program bimbingan dievaluasi untuk mengetahui hasil dan pelaksanaan program.

Terkait dengan proses pewarisan budaya, ketiga aspek budaya (universal, nasional, dan lokal), sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, di desain dalam suatu kurikulum dengan memberikan prosi yang seimbang di antara ketiga aspek tersebut. Keseimbangan yang dimaksud adalah, nilai budaya universal dalam kurikulum dirancang mengacu pada perkembangan IPTEK, sementara kurikulum nasional mengacu pada nilai-nilai nasional yang terwujud sebagai aplikasi IPTEK dan kehididupan berbangsa dan bernegara(wawasan kebangsaan dan nusantara). Budaya lokal menjadi isi dan wahana pembelajaran melalui pemanfaatan lingkungan (sisial, alam, dan budaya) sebagai sumber belajar. Ketiga aspek tersebut diususun secara sinergis sehingga muatan ketiga aspek tersebut tidak berpengaruh pada beban belajar siswa.

Daftar Pustaka

Abdul Haling, dkk, 2007, Belajar dan Pembelajaran, Makassar: Badan Penerbit UNM

Sudjana, 1992, Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Nusantara Press.

Sudjana, 2005, Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Falah Production

Hamalik,O (2001) kurikulum dan pembelajaran. Jakarta. Bumi aksara

                Imran Manan, 1989 Dasar-dasar Soial Budaya Pendidik, Jakarta: Departemen

                Pendidikan

Comments

Satu tanggapan untuk “Siswa atau Warga Belajar dalam Prespektif Kebudayaan”

  1. Avatar belajar bahasa inggris online

    I was recommended this blog by means of my cousin. I am not certain whether or not this post is written by means of him as no one else understand such distinct approximately my difficulty. You are incredible! Thanks!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *